Alien bernama Andre

120 20 12
                                    


"Morning, Kak," sapa Andre dengan senyuman lebar.

Aku baru saja melepas helm, menoleh dan agak heran dengan pria yang mulai mendekat ini. Sejak kapan dia ada di parkiran? Tak mungkin sejak tadi menunggu kedatanganku, kan? Seperti biasa, wajahnya ceria seperti anak magang yang baru terima bonus pertama. Hanya kubalas dengan senyum tipis, tak mungkin heboh menanggapinya, kan? sayangnya justru yang heboh itu Andre.

"Pagi," sahutku singkat. Melepas jaket dan berusaha untuk merapikan ujung kemeja. Aku masih mengenakan celana panjang biasa. Nanti selepas sarapan, aku ganti dengan rok sebatas lutut yang menjadi seragam karyawan di BBRI Senayan.

Pemuda itu dengan cepat menghampiriku. Menggamit tanganku tanpa permisi. Membuat aku mendelik tak suka tapi dibungkam lewat tawaran sarapan penggugah selera. Lontong sayur. "Pakai telur semur, Kak. Aku jamin enak."

"Siapa yang masak?"

"Mami, lah." Dia tertawa riang. "Hari ini Mami ada pesanan lontong sayur lima puluh porsi."

"Catering Nyokap lo besar juga, ya?" Aku berusaha melepaskan diri dari Andre walau susah. Serius. Yang ada, Andre makin menempel macam lintah. "Ndre," kataku memberi peringatan.

"Lumayan bisa buat kami kuliah sampai lulus."

Apa kubilang, Andre pasti mengabaikanku. Bicara tentang bisnis ibunya, aku setuju dengan satu pemikiran. Seni berniaga itu berbeda dengan orang kerja. Ada saat di mana puncak berniaga bisa dijadikan ladang uang yang benar-benar bergelimangan. Ada saat surut di mana semua aspek harus mendapatkan jatah irit. Tapi yang jelas, ada kepuasan tersendiri kalau memilih jalur berbisnis. Seperti yang aku inginkan nanti.

Baru saja langkah kami menuju koridor penghubung ke area lobby gedung, seseorang memanggilku. Tadinya aku tak ingin menoleh, tadinya juga aku ingin segera mempercepat langkah. Tapi aku sadar, siapa dia di kantor kali ini. Atasanku. Tak sopan rasanya kalau aku mengabaikan panggilan barusan.

"Kalian berangkat bersama?" tanyanya tanpa basa basi. Ada senyum simpul terpajang di wajahnya yang masih kuingat jelas ini. Tak ada yang berubah. Masih sama menyebalkan berikut ... oke, aku kalah. Aku rindukan.

"Eng—"

"Iya, Pak." Andre semakin melebarkan senyum juga tangannya tak lagi menggamit lenganku. Tapi turun menyusup sela jemari ini. Pun satu ucapannya yang membuat aku seolah ditembak sinar beku. "Ayo, Sayang. Nanti sarapannya keburu dingin."

Bodohnya, aku mengimitasi langkah pemuda itu menyusuri area lobby. Meninggalkan Aufar yang tak tahu menatapku seperti apa pagi ini. aku juga tak menoleh barang sedetik tapi justru memerhatikan bagaimana rupa pemuda yang kurang ajar sekali mengatakan ... apa tadi? Sayang? Wah ... Andre benar-benar mengibarkan perang.

"Lo gila?" desisku tak suka. Belum, aku belum ingin memberinya serangan balasan. Entah itu pukulan, cubitan, toyoran di kepala, atau kalau perlu lehernya kucekik sekalian biar tahu rasa. Aku masih memikirkan kalau tindakan bar-bar itu merugikanku. Aku bisa jadi pusat perhatian, kan? Memangnya aku Rindu!

"Apa yang gila?" tanya Andre dengan kernyitan heran. "Aku masih normal, kok."

"Ngapain lo bilang gitu di depan Aufar?"

"Bukan Bapak, ya?" Andre melipat senyumnya. "Jadi benar tanya yang aku punya, kalau Kak Yuni masih ada something yang tersisa?"

Andre keterlaluan, ya. Pintar sekali memutar balikkan keadaan. Di bawah tatapannya yang terkesan ramah, ada intimidasi yang cukup besar bersarang di sana. Entah dari mana hal itu ada di dalam dirinya. Yang membuatku menghela pelan. "Gue sudah cerita sama lo, kan? Masih belum puas?"

CINTA LEILAHWhere stories live. Discover now