Pengganti Bujang

73 21 1
                                    

Kuusap bahu Rindu pelan. Mood Rindu itu naik turunnya terjal sekali macam jurang di area Puncak. Yang aku tahu hanya daerah di seputar Bogor itu yang jalannya buat jantung ketar ketir. Belum pernah ke luar kota lainnya. Minim sekali pengalaman staycation, kalau istilah anak sekarang. Mau bagaimana lagi? aku banyak yang harus diurus di Jakarta termasuk menjaga adikku satu-satunya; Livia.

Kembali lagi pada Rindu, yang mana matanya memerah serta ada isak di sana. Aku tak tega jadinya. Hamdallah, siang ini tak banyak kendala seputar area kerja. Semuanya balance, uang yang disetorkan tak ada masalah, dan yang terpenting tak ada nasabah yang membut kisruh.

"Aku sedih saja, sih, Yun." Rindu menghela panjang. "Kalau aku kangen gimana?"

Mana aku tahu! Aku belum pernah merasakan menikah dan terpisah. Yang ada baru bertunangan sudah dimiinta berpisah! Sial sekali hidupku. Untung tak ada yang tahu kisah lama yang sangat kusimpan rapat ini. Bukan tak percaya dengan teman-teman yang baru kumiliki ini. Semakin hari berlalu dengan pengamatanku pada mereka, tak ada yang tidak tulus memberi perhatian.

Termasuk Dio yang kadang sarkas.

Aku bisa rasakan itu walau ... ada Andre di dalam SFAM. Titah Rindu adalah keharusan yang wajib dilakukan.

"Memang, sih, Aa' bilang enggak ada yang berubah kecuali kantor. Bahkan makan siang saja diusahakan untuk bersama. tapi tetap saja, kan ..." Rindu mendesah pelan.

"Takut apa, sih, Kak?"

Bukan apa, ya. Aku malah senang mendukung seseorang yang meluncur demi karir. Sebisa mungkin kudampingi eksploitasi keahliannya di satu bidang. Karena kepuasan batin itu tak bisa tergantikan dengan apa pun. Aku pernah ada di sisi orang yang naik terus karirnya. Bisa dibilang melejit. Sayang ... aku dilupakan segampang itu demi memuluskan langkah terakhirnya.

Oh, mendadak aku lupa. Aku ini siapa? Hanya Leilah Ariyuni Tevea. Gadis biasa yang keberuntungannya timbul tenggelam macam Senin Kamis.

"Takut aja kalau Aa' selingkuh," kata Rindu dengan lugasnya. Mengusap air mata yang hampir jatuh di pipi, lalu tersenyum sembari menepuk wajahnya. "Kalau Aa' selingkuh, aku juga bisa selingkuh."

"Adu mekanik, ya, Kak?"

"Apa itu adu mekanik?"

Aku tepuk jidat. Kupikir Rindu ini tahu beberapa istilah keren yang tengah in di media sosial. Ternyata wanita yang memutuskan menikah muda ini, memang sepolos tisu. Banyak hal yang tak ia mengerti. Makanya aku agak heran juga. Penampilannya cukup berani tapi bisa-bisanya tak memahami beberapa kondisi?

"Ehm ... dari yang aku baca itu seperti adu kelihaian dalam berselingkuh. Berbohong. Pamer selingkuhan gitu."

"Nyeremin amat." Rindu bergidik ngeri. "Tapi kalau Aa' berani seperti itu, aku enggak segan buat balas."

Aku tertawa. "Lagian, Kak, sepertinya itu hanya pemikiran kamu saja. Bapak enggak mungkin melakukan hal itu. Kita semua tahu, sebucin apa Pak Bujang ke Kakak."

Meski masih cemberut, tapi sudah ada senyumnya. Lumayanlah hiburanku ini ada gunanya.

"Eh, tapi aku penasaran. Kamu dan Andre benar-benar pacaran, kan?"

Aku tak tahu harus membalas ucapannya seperti apa. Aku sendiri bingung. Kapan kami jadian resmi? Yang aku sadari, tiap pulang kerja aku selalu duduk manis di motornya. Sesekali menimpalinya bicara. Atau mengikuti arah laju kendaraan yang ia setir ke mana pun yang Andre suka. Begitu juga saat pagi hari, walau tanpa agenda melipir ke sana sini.

Kalau keinginan Andre tak dituruti, aku yang tak enak hati. Pemuda itu tanpa sungkan membuntuti laju motorku. Mengantarkan sampai aku benar-benar tiba di rumah. Aku tak bisa menghitung sudah berapa kali ia lakukan itu selama di Senayan.

CINTA LEILAHWhere stories live. Discover now