Makan karena Kewajiban

104 26 15
                                    


Rasa gila kalau aku membiarkan Aufar terus menyantroniku tanpa jeda. Bayangkan saja, sudah ditolak mentah-mentah ia masih membuntutiku. Jauh lebih menyeramkan dari Andre yang serupa lintah di dekatku. Andre masih punya batas aman. Tak melulu menarikku agar terkikis jarak kami.

Aufar?

"Bisa lepas?" kataku dengan sinisnya. Senayan City itu menggunakan pendingin ruangan yang membuat seantero mall dingin. Tapi karena ulah Aufar, aku merasa kesal dan marah. Jadinya panas yang menjalari tubuh membuat mukaku agak memerah. Aku yakin itu.

"Kalau dilepas, kita enggak bisa makan siang bersama."

Bukannya sadar diri, malah tersenyum lebar seolah tindakannya itu tanpa beban juga dosa.

"Kamu masih suka Nasi Goreng Sapi Cabai Ijo-nya Solarea?"

Aku diam. Bayang nasi goreng beraroma menggugah selera itu mengusik. Tujuan makan siangku kali ini memang Solarea. Terkenal dengan menunya yang banyak dan cukup ramah di kantong. Tapi makan siang bersama Aufar itu tak ada dalam planning siang ini.

"Atau Fuyung Hai?"

Sampai kaki ini melangkah masuk ke dalam PujaSera yang terletak di lantai lima, aku sama sekali tak bicara. Terserah Aufar mau anggap aku mendadak bisu atau tak punya rasa sopan. Memangnya ia sendiri punya perasaan itu? Kurasa tidak.

"Bisa tolong jangan buat selera makan saya ambrol?" Aku menghela panjang. mataku menatap Aufar dengan tajam.

"Kita makan bersama, Yun, sekalian ada yang mau aku bicarakan."

"Saya butuh makan dengan tenang. Bicara sama Bapak terutama berkaitan sama masa lalu itu buat saya enggak punya selera makan lagi. Bapak tahu saya masih harus bekerja di bawah tekanan telitinya BBRI? Kalau slip setoran saya salah sepuluh juta hari ini, Bapak mau tanggulangi?" Aku agak tersengal setelah bicara sepanjang itu. Wah ... keajaiban terjadi.

Jarang sekali aku bicara panjang lebar seperti ini. Mungkin saking kesal serta kenapa, sih, Aufar melakukan ini? Kurang puaskah beberapa waktu lalu mempermainkanku? Dipikir aku ini perempuan yang bisa seenaknya ia perlakukan?

Aufar tampak gusar menatapku. Tapi tak lama, ia menyugar rambut tebalnya. Wajahnya terlihat jauh lebih frustrasi dibanding sebelumnya. Aku tak mau peduli. Habis sudah caraku memperhatikannya dulu. Sedikit saja ia merasa tak nyaman, aku yang pontang panting memberikan terbaik. Dirinya? Biasa saja.

Ah ... jikalau bayang masa lalu seenaknya melintas, membuat perutku terasa mulas.

"Saya permisi." Aku memilih untuk menjauh. Demi menjaga warasku tetap ada di tempat. Lagi pula waktu berjalan dengan cepat. Jangan sampai aku kembali ke meja kerja dengan terlambat.

Sekeliling PujaSera ini cukup ramai. Pilihanku jatuh pada resto cepat saji saja. Beef Teriyaki dengan nasi juga salad adalah pilihan yang terbaik. Kuambil sisi meja yang tak terlalu ramai meski sulit. Sekali mengedarkan pandangan demi memastikan pria itu tak lagi ada di dekatku.

"Kamu harus coba nasi goreng ini." Kutaruh satu sendok bagianku di piringnya. Besar harapan agar ia menyantapnya sama sepertiku. Lahap.

"Aku sudah makan nasi tadi, Yun." Ia tersenyum manis. "Kamu saja yang makan, ya." Rambutku diusap pelan. "Habiskan. Ini nasi goreng kesukaanmu, kan? Aku lihat jadwal kelas kamu hari ini agak padat?"

Lalu meluncurlah tanpa kusadari, betapa memang menjadi mahasiswa itu beban tersendiri. Kendati begitu, masih kuselipkan banyak rasa syukur karena masih diberi kesempatan mengenyam pendidikan lanjutan. Banyak kawan SMA-ku dulu yang memilih bekerja karena tuntutan ekonomi.

CINTA LEILAHWhere stories live. Discover now