Kenyataan yang ada

186 22 17
                                    


"Enak?"

Aku yakin sudah mendengar pertanyaan ini ratusan, oke ... aku berlebihan. Mungkin sekitar lima atau enam kali Andre menanyakan hal yang sama. Apa sebagai bentuk validasi khusus lantaran makanan yang ia bawa habis tak bersisa? Livia makan sampai dua porsi, selain lapar katanya juga lezat macam di restoran bintang empat.

"Jangan terlalu sering buatin gue makanan seperti ini. Nanti ketagihan."

Andre tergelak. Kotak makan yang semula ingin kucuci, dia rampas begitu saja. "Biar aku saja, Kak."

"Eh!" Aku mendelik tak terima. "Lo sudah susah payah buatin kita makan malam. Gantian. Gue yang cuci piring, biar Livia bereskan meja makan."

Livia merengut tapi tak lama karena melihatku yang melotot garang ke arahnya. Adikku respon dengan dua acungan jempol juga tanpa bantahan lagi. Sementara Andre tersenyum lebar.

"Wah ... kita kayak keluarga bahagia saja."

Ucapan Andre barusan sukses, lah, buat aku terjungkal. Apa pemuda itu makan terlalu banyak udang jadi berhalusinasi? Ketimbang meladeni dirinya lebih baik aku segera mencuci piring. Biar unitku kembali rapi sebelum pergi tidur. Besok masih hari kerja, jangan sampai meninggalkan unit dalam keadaan kacau balau. Aku tak suka.

Sebagai rasa terima kasih, secangkir teh melati kubuatkan untuk Andre. Melirik sekilas jam yang ada di ruang tengah—Andre duduk santai. Di pangkuannya ada toples keripik kentang. Tontonannya membuat aku mengerutkan kening; DreameWorks Dragons-Race to the Edge—yang sudah menunjukkan pukul Sembilan malam. Aku yakin kenapa Andre bisa segampang itu menjajah ruang tamu.

Livia yang mengizinkan. Tapi di mana adikku tersayang itu, ya? Aku tak melihatnya. Apa dia sudah masuk kamar?

"Mana Livia?" tanyaku penasaran.

Jawaban Andre hanya kedikan bahu. Mulutnya masih mengunyah keripik kentang yang ia sandra.

"Lo ... nonton ini?"

Andre menoleh dengan cengiran lebar. "Seru, Kak." Pun duduknya ia geser dengan sengaja. "Habiskan film ini dulu, ya, baru pulang."

"Eh, ini ada 6 episode. Lo gila saja kalau sampai habis." Aku merengut. "Lo belum nonton memangnya?" Kuletakkan perlahan cangkir teh dan tanpa perlu dipersilakan, Andre sudah menyambar dengan cepat.

"Ini keempat kalinya. Aku suka banget sama Toothless." Ia pun menyeruput pelan. "Ehm ... enak banget. Pakai es batu lebih enak."

"Minum saja enggak usah banyak request."

Dia nyengir makin lebar. Setelahnya kembali fokus menikmati tontonannya seolah aku tak ada. Tak jadi masalah untukku sebenarnya. Hanya saja ... mataku ini kenapa berkhianat, sih? Bukannya ikut menikmati tontonan yang ada, malah menatap Andre tanpa jeda.

Aku setuju dengan pujian sebagian besar karyawan BBRI Senayan mengenai wajah tampan Andre

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Aku setuju dengan pujian sebagian besar karyawan BBRI Senayan mengenai wajah tampan Andre. Berkali-kali lipat setuju saat memandanginya dari sisi ini. Sisi di mana Tuhan pahat sempurna sekali bentuk wajah Andre. Kulitnya putih bersih untuk ukuran pria. Alisnya rapi macam semut berjajar apik membentuk barisan. Rambutnya agak panjang, sebagian hampir menyentuh ujung matanya. Hidungnya mancung. Bibirnya ... sudah, sudah. Aku tak mau membahas bagian wajah Andre yang itu. Lebih baik yang lainnya.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: May 16, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

CINTA LEILAHWhere stories live. Discover now