Buanglah mantan pada tempatnya

77 18 5
                                    


"Terus apa yang mau lo lakuin, Kak?"

Aku mengerang penuh stres. Bagaimana tidak? Teman curhat yang paling akrab untukku hanya Livia. Adik satu-satunya, yang bisa kuandalkan dari berbagai macam lini kehidupan. Terutama masalah asmara. Aku belum lupa cara Livia memberi pria itu pelajaran. Walau dimarahi orang tuaku, tapi Livia paling berani mendebat.

Katanya, "Bapak dan Mama enggak tahu kecewanya Kak Yuni!"

Mama saat itu mau bicara tapi sepertinya kalah dengan tangis. Sebenarnya bukan hanya aku yang punya kecewa, Mama juga. Dan besar. Karena Mama, orang pertama yang mendadak menentang hubungan kami padahal lamaran sudah terjadi. Tak habis pikir kenapa Mama seperti itu. Mungkin itulah yang dinamakan feeling seorang ibu. Aku saja yang tak memahaminya lebih jauh.

Aufar mendapat bogem mentah tepat di depan kampus. Mana ramai para mahasiswa hilir mudik di sekitar koridor yang mengarah ke kantin. Aku tak tahu cara Livia masuk ke kampusku kala itu. Yang kutahu, aku dipanggil karena ada keributan di depat kelas ekonomi. Melibatkan tunangan, ehm ... mantan tunanganku itu. Saat aku tiba, Livia berteriak memaki, sumpah serapah tanpa bisa dikendalikan. Ada dua orang yang menahannya, tapi tenaga Livia besar sekali. Entah dari mana.

Kesurupan mungkin.

Aku sendiri ngeri dengan nyali adikku. Untungnya, keributan itu berakhir damai. Walau wajah Aufar babak belur dibuat Livia. Sontak saja, keadaan itu menyudutkanku. Tapi Aufar masih punya hati ternyata. Ia membelaku sampai meniadakan gosip mengenai pemukulan yang menimpanya.

Apa itu cukup bagiku menebus kecewa? Tidak sama sekali. Malah yang ada, aku semakin membencinya. Karena setelahnya, Aufar menghilang.

"Gue cuma butuh ACC percobaan produk dan test alergi saja, Kak. Sedikit lagi semuanya beres." Livia bangun dari duduknya. Berkas yang tengah ia pelajari, diletakkan begitu saja. "Andai lo mau resign, basic kita sudah cukup kok."

"Cukup dari mana, Liv?" Aku berdecak. Tak menepis tepukan bahunya, sih. Livia tumbuh menjadi gadis dewasa yang mandiri. Otaknya cerdas bin encer. Jurusan Farmasi menjadi tujuannya dan kini, tengah mengembangkan satu set produk kosmetik yang ramuannya bisa diterima masyarakat umum terkhusus anak remaja. Pangsa pasar sudah kami bidik lewat survei pengguna media sosial.

"Paling enggak sampai rencana gue teralisasi, lah, gue baru mengajukan resign." Aku mendesah pelan. "Kita enggak bisa memungkiri, kita butuh banyak uang."

"Iya, sih." Livia nyengir. "Ya ... satu-satunya hal yang bisa gue bilang, lo harus kuat-kuatin hati."

Aku terdiam.

"Lo masih suka sama orang itu?"

Bahuku terkulai lemah.

"Payah, ah." Livian mencebik. "Buanglah mantan pada tempatnya, Kak. Kalau lo bukan prioritasnya, berarti lo enggak ada artinya di hidup dia yang enggak seberapa itu. L o ingat, kan, pesan Bapak? Jangan selalu menatap masa lalu. Kita harus bergerak untuk meraih masa depan yang cemerlang."

"Lo pikir gampang?" Aku mendengkus tak terima.

"Apa yang buat susah?" Livia bersidekap dengan tatapan meremehkan. "Lo itu enggak dianggap sama Aufar. Mau lo agungkan cinta putih kalian, buat gue, lo enggak ada apa-apanya di mata Aufar, Kak. Sadar, dong. Berapa tahun sudah berlalu?"

Apa yang Livia katakan itu benar, sih. Berupaya banget aku untuk melupakan sosok Aufar termasuk terus menerus memunculkan keburukannya. Terutama saat terakhir kami bertemu. Saat di mana dirinya membatalkan apa yang tengah kami─aku rancang. Memang benar, setelahnya aku membenci Aufar setengah mati. Tapi itu hanya bertahan beberapa waktu. Sisanya, tak bisa kumungkiri sosok itu kembali menggerayangi.

CINTA LEILAHWhere stories live. Discover now