34. Di Bandara

90 20 5
                                    

Penerbangan pada hari itu banyak yang sesuai jadwal. Hal itu terlihat pada jadwal keberangkatan yang ada di setiap sudut bandara.

Ruang tunggu terminal yang melayani penerbangan ramai lalu-lalang penumpang. Nyaris seluruh kursi di dekat pintu garbarata terisi penuh. Para penumpang duduk di bangku-bangku panjang yang ditata berderet. Tak hanya di ruang tunggu umum, banyak orang terlihat di tenant-tenant yang menjajakan makanan atau minuman.

Layar informasi yang menyajikan jadwal keberangkatan pesawat terus bergerak. Penumpang dengan berbagai tujuan tampak mencocokkan lembar tiket yang mereka pegang dengan jadwal teranyar di layar. Kalau-kalau, jadwal penerbangan mereka mengalami keterlambatan terbang.

Di area terminal keberangkatan, penumpang ke berbagai kota atau negara masih terlihat lalu lalang mencari gate keberangkatan masing-masing. Aktivitas lainnya menjelang keberangkatan juga terpantau masih sibuk mulai dari kegiatan wrapping koper sampai check in dan penukaran tiket, hingga ada juga yang sekadar tanya jadwal.

Ailin bersama beberapa anak buah Charlotte masih duduk menunggu di ruang tunggu umum. Ailin diawasi layaknya presiden yang hendak berangkat. Beberapa penumpang bertanya-tanya apakah gadis itu orang penting sehingga banyak bodyguardnya?

Ailin duduk dengan meremas-remas jari-jarinya. Ia masih memikirkan bagaimana keadaan Gafir. Rasanya ingin sekali ia mendapat kabar tentang kondisi Gafir. Dalam diamnya tak berhenti ia berdoa untuk keselamatan Gafir. Harap-harap Gafir mendapat pertolongan. Ailin duduk diam tetapi tampak gelisah.

"Geht es dir gut?" tanya Jerry.

Ailin tidak menjawab, ia hanya membuang muka. Rasanya tidak sudi ia melihat wajah orang yang membuatnya kesal. ingin sekali ia memukul wajah tampan milik lelaki yang duduk di sampingnya itu.

"Jelas aku gak baik-baik saja lah. Pake nanya lagi," batin Ailin.

Jerry tahu Ailin sangat marah padanya hingga gadis itu malah memalingkan wajah. "Gafir tidak bisa lagi melindungimu. Bahkan dia tidak bisa lagi melindungi dirinya sendiri. Itupun jika dia masih hidup."

Ailin menahan emosi mendengar kata-kata Jerry. "Gafir pasti akan selamat," bantah Ailin.

"You yakin?"

"Yes." Ailin tidak mau kalah. Meskipun tidak yakin Gafir akan selamat, ia tetap berusaha terlihat yakin bahwa Gafir pasti akan baik-baik saja.

Jerry tertawa sinis. "Sayang sekali. Kenanglah Gafir sebagai pahlawanmu yang telah gugur," ejeknya.

"Brengsek! Sialan! Dasar bajingan!" batin Ailin. Ingin sekali ia mengata-ngatai keras pada Jerry. Tapi ia mencoba menahan mulutnya agar tidak mengeluarkan kata-kata kasar. Ia menggenggam kuat menahan emosi.

Seorang lelaki mengenakan topi dan masker yang menutupi setengah wajahnya datang mendekat ke arah tempat duduk Jerry. "Permisi. Mau beli minum bang?" tanya lelaki itu.

"Tidak," jawab Jerry. Lelaki yang menjual air mineral itu pun bergeser ke arah Ailin.

"Beli minum mba?"

"Tidak," jawab Jerry mewakili Ailin. Gadis itu menatap Jerry dengan kening yang dikerutkan. Ia tidak suka karena Jerry selalu saja mengaturnya.

"Saya mau beli kok." Ailin menatap sinis Jerry sebelum pandangan ramahnya dipalingkan ke penjual. "Satu minumnya mas," tuturnya.

"Ini mba." Lelaki itu memberikan sebotol air mineral kepada Ailin. Baru saja Ailin ingin menerima pemberian penjualan, ia merasakan sesuatu. Ailin memerhatikan baik-baik mata penjual. Mata dan wangi parfum ini milik seorang yang ia kenal. Penjual itu memberi kode isyarat kepada Ailin dengan kedipan mata. Detik itu juga ia mengenali pemuda dihadapannya itu.

COBRAWhere stories live. Discover now