5. Kemarahan Tuan Rumah

506 125 6
                                    

[ Kalian dapet notif Karyakarsa nggak, sih? Aku kok update gak ada notif🥲. Bab 11 HER WINGS sudah tayang duluan di Karyakarsa, ya. Silakan mampir.]

Jemima tidak tahu kenapa ada kemarahan yang dikeluarkan oleh Aryan. Dia tidak merasa melakukan kesalahan dengan berbicara dengan tukang kebun rumah itu. Bahkan Jemima memang belum bisa dikatakan keluar rumah karena sudah lebih dulu ditahan dengan percakapan yang pak Ujang bawa.

Sekarang dia malah harus susah payah mencari dimana berkas yang Aryan maksud. Ada cukup banyak berkas di dalam laci, dan Jemima jelas tidak tahu mengenai semua berkas tersebut. Jika dia salah membawa berkas yang Aryan suruh, pria itu pasti kembali marah. Rasanya telinga Jemima sangatlah lelah mendengarkan banyak ucapan tak manusiawi hari ini. Cukup saja dia tadi mendengarkan percakapan Katrina dan teman-teman arisannya, jangan sampai Aryan menambah ketidaknyamanan bagi Jemima.

"Aku bawa semuanya aja, deh. Kalo berkas yang dia maksud beda, nanti aku juga yang kena marah."

Jemima turun dari kamar dengan langkah hati-hati. Dia tak mau jika harus terjadi sesuatu pada kehamilannya dan membuat semua orang kembali heboh. Untung saja ruang pertemuan arisan teman-teman Katrina bukan yang dekat dengan tangga, jadi wanita bermulut kejam itu tidak akan banyak melayangkan pertanyaan menyulitkan karena Jemima bisa keluar masuk kamar Aryan dengan mudah.

Melihat Aryan dari kejauhan yang entah bicara apa kepada pak Ujang, mata Jemima menyipit. Dia bingung kenapa pak Ujang terlihat takut dan tidak berani menaikkan kepalanya. Dan kenapa pula Aryan bersikap seperti itu? Apa karena pak Ujang mengobrol dengan Jemima tadi? Apa Jemima tidak diizinkan mengobrol dengan tukang kebun juga? Apa selamanya berurusan dengan Jemima bisa membuat orang lain merugi?

"Tuan, ini berkasnya."

Aryan yang merasa terpanggil langsung menoleh. Diberikannya semua berkas yang Jemima lihat di laci kamar. Dia tidak akan mau disalahkan karena hanya membawa satu berkas saja.

"Ini lagi, kenapa kamu bawa semuanya?!"

"Saya nggak tahu mana yang harus saya ambil karena Tuan nggak bilang dengan jelas, jadi saya bawa semua supaya nggak perlu naik turun tangga dalam kondisi begini."

Aryan langsung menatap perut Jemima saat mendengar kalimat 'dengan kondisi begini'. Diliriknya tukang kebun yang sepertinya masih menjadi pelampiasan kemarahan pria itu.

"Kamu nggak lihat? Kondisinya udah berbadan dua, dan kamu berniat mengenalkannya sama anakmu?!" ucap Aryan pada pak Ujang.

Jemima langsung panik dengan apa yang Aryan sampaikan pada tukang kebun itu.  Dia sudah menyembunyikan kehamilannya, dan hanya pria itu saja yang kemungkinan besar tahu soal perutnya. Kenapa pula Aryan malah memberitahu pak Ujang dengan santainya?

"Tuan ... kenapa bicara seperti itu?" Jemima menekankan setipa kata tapi dengan nada serupa bisikan.

"Kenapa? Kamu masih tanya kenapa? Pak Ujang ini berniat mendekatkan kamu sama anaknya. Apa kamu nggak mikir untuk menolaknya? Kamu seneng kalo bisa menjebak anak orang lain untuk kondisi kamu?? Bagaimana bisa kamu malah diem aja selama diberi kode pak Ujang mengenai anaknya? Kamu itu harusnya sadar diri dan bilang dengan jujur kalo kamu bukan gadis lagi!"

Jemima menelan ludahnya yang terasa seperti batu. Dia tidak tahu kenapa dia harus dimarahi dengan kalimat yang menyakitkan itu. Padahal dia tidak mengatakan apa-apa pada pak Ujang karena tak mau menyela ucapan orang tua. Dia juga akan menolak, tapi tidak harus dengan alasan bahwa dirinya bukan gadis lagi atau sudah berbadan dua hingga mempermalukan dirinya sendiri di depan pak Ujang.

Melindungi diri sendiri adalah hal yang wajar, apalagi kasusnya seperti Jemima ini. Usianya yang sangat muda dipaksa untuk bisa menghadapi seluruh kondisi tak menyenangkan. Bahkan dia sedang hamil, dan tidak ada bagian menyenangkan sama sekali yang dirasakan selama kehamilan.

"Pak Ujang, saya minta maaf. Tadi saya nggak langsung bilang soal kondisi saya karena saya menghormati pak Ujang. Saya diajarin buat nggak menyela ucapan orang yang lebih tua. Saya memang nggak berniat menikah dengan siapa pun. Maaf juga kalo kesannya saya menjebak pak Ujang dengan penampilan saya yang nggak keliatan hamil. Lain kali, saya akan ajak bicara siapa pun di sini. Saya nggak mau membuat masalah baru bagi orang lain. Saya minta maaf, Pak Ujang."

Jemima tidak tahu bagaimana reaksi Aryan saat itu. Dia memilih untuk mengambil berkas yang masih bertumpuk dan salah satunya sudah berada di tangan tuan rumahnya yang lain.

"Permisi, Tuan. Saya bawa kembali berkas yang nggak akan Tuan bawa."

***

Jemima masih saja mengingkari keinginannya untuk menangis. Dia harusnya tak boleh melakukan hal semacam ini. Menangis adalah hal yang sangat dilarang oleh Katrina, karena wanita itu tak suka dengan tangisan Jemima yang dianggap mengganggu. Namun, memangnya tangisan bisa dilawan? Ini adalah salah satu bentuk emosi yang tidak bisa begitu saja ditahan.

Masih bagus Jemima tidak berpikir untuk mengakhiri hidupnya. Jemima setidaknya masih bisa berpikir waras dan tidak menyiakan kesempatan hidup yang Tuhan berikan. Dia korban dan hanya semakin menjadi korban dengan masuk ke dalam rumah Katrina dan Aryan.

"Siapa yang suruh kamu sembunyi dan sibuk nangis di sini?"

Ah, lagi-lagi Jemima ketahuan. Katrina sepertinya memang sangat pandai mencari jejak keberadaan Jemima.

"Udah, hapus tangisan kamu yang nggak penting itu. Saya di sini nggak akan mau capek-capek nunggu kamu selesai nangis. Cepetan berdiri dan beresin bekas makanan tamu saya! Kamu bisa lanjutin tangisan kamu kalo udah selesai ngerjain tugasmu!"

Jemima tidak membalas ucapan Katrina. Dia langsung berdiri dan menuruti semua perintah wanita itu tanpa banyak kata.

"Makanya kamu itu jangan kebanyakan omong, Kalo anak saya marah kamu nangis. Padahal kamu sendiri yang salah. Sibuk ngobrol sama tukang kebun dan nggak bilang jujur soal kehamilanmu. Kamu malah sibuk pakai baju yang longgar. Keliatan banget kalo kamu nggak mau ada orang yang tahu soal kehamilan kamu. Niat pergi kamu, ya? Kalo saya, sih, seneng kamu pergi. Tapi anak saya bisa aja dalam masalah karena kelakuan kamu. Gimana kalo kamu sibuk berbagi cerita miring soal keluarga saya? Apa lagi kalo anak yang kamu lahirkan mirip sama Aryan. Bisa jadi masalah besar nanti! Udahlah, kamu nggak usah mikir macem-macem! Selama kamu di sini mengandung anak Aryan, kamu nggak bisa kemana-mana."

Masih tidak menanggapi ocehan Katrina, wanita itu terlihat tak senang dengan diamnya Jemima.

"Kamu denger atau nggak, sih?"

"Iya, Bu."

Katrina menghela napasnya dan tidak meneruskan kalimat apa pun. Wanita itu masuk ke dalam kamarnya sendiri dan meninggalkan Jemima sibuk membersihkan semuanya sendiri. Wanita itu pasti sibuk merebahkan dirinya di atas ranjang empuk dan mengabaikan kesulitan Jemima yang harus bersih-bersih dengan perut yang menonjol.

"Semoga kamu nggak membenci mereka yang memperlakukan ibu seperti ini, ya. Ibu janji, begitu kamu lahir, ibu akan pergi dari sini dan bawa kamu. Ibu akan cari kerjaan di tempat lain dan kita hidup bertiga aja sama mbah kamu."

Ya, Jemima akan pergi setelah anaknya lahir. Dia tak mau sang anak mendengar lebih banyak ucapan kasar yang tidak manusiawi. Jemima hanya butuh dibiayai persalinan, dan setelah itu dia akan pergi dari rumah itu membawa bayinya. Semoga saja rencananya ini bisa berjalan dengan baik dan tidak ada kendala. Sebab Jemima sudah tidak tahu harus melakukan apa lagi jika rencana yang diinginkannya ini gagal.

Her Wings / TAMAT Where stories live. Discover now