12. Kehilangan

710 122 4
                                    

[Extra part 7 udah tayang di Karyakarsa, ya. Silakan mampir.]

Jalan setiap manusia selalu berbeda. Tergantung setiap individu menjalaninya seperti apa. Sejatinya bahagia beriringan dengan duka, tidak pernah ada yang bertahan selamanya di dunia. Jemima juga seharusnya sudah mengerti dengan hal ini. Namun, dia menyangkalnya dengan kuat. Dia tak mau begitu saja menerima dengan lapang dada kepergian putrinya. Dia berbagi duka dan siksaan bersama. Pernah ada satu makhluk kecil yang berbagi kehidupan di tubuh yang sama dengannya. Jadi, jika ada banyak pihak yang menyuruhnya untuk ikhlas begitu saja. mana bisa? 

Sudah sewajarnya menghabiskan waktu berhari-hari, bahkan tahunan, untuk bisa bersikap seperti biasa pasca kehilangan yang mendalam. Justru aneh jika bersikap tegar dan kembali melakukan aktivitas tanpa rasa sedih. Selain menimbulkan banyak pertanyaan, bagaimana bisa? Apalagi jika membicarakan seorang ibu yang mengandung dan tidak pernah menjadikan kehamilannya sebagai beban? 

"Makan dulu, Jemima."

Entah sudah berapa kali Aryan memintanya untuk makan. Ini sudah hari ke berapa? Jemima juga tak mengingatnya. Ya, dia sibuk meratapi kehilangan Kamala hingga tidak lagi peduli dengan sekitar. Dia juga tidak tahu harus bersyukur atau apa dengan sikap Aryan yang sangat jauh berbeda. 

"Saya nggak lapar."

Jemima masih menggunakan panggilan 'saya', sedangkan Aryan sudah meminta untuk mengubahnya. Namun, pria itu tidak berusaha memaksakan kehendaknya pada Jemima. 

"Aku suapi," ucap Aryan yang masih berusaha membuat Jemima mau makan."Meskipun sedikit kamu harus makan. Kamu udah janji akan ke makam Kamala lagi besok. Jadi, jangan sampai kamu sakit atau lemas untuk jenguk Kamala."

Jemima tak suka dengan cara pria itu menggunakan Kamala sebagai senjata untuk membujuk. Namun, Jemima juga tak ingin kehilangan kesempatan untuk bisa mengunjungi makam Kamala nantinya. Jadi, meskipun dia tak bernafsu makan, memikirkan kesempatan yang dimilikinya untuk bisa sering ke makam Kamala adalah hal terbaik. 

Aryan menyuapi perempuan itu dengan perlahan. Memastikan tidak ada sebutir nasi yang terjatuh dan terbuang. Jemima harus dihadapi dengan pelan, bukan dengan kekerasan yang kemungkinan besar malah membuatnya memiliki niatan pergi dari Aryan. Walau sebenarnya Katrina lebih mendukung Jemima pergi, tapi Aryan tak bisa. Dia mempertahankan Jemima bukan hanya karena rasa bersalah. Justru Aryan sudah merasakan sendiri sesuatu di dalam hatinya berubah drastis entah sejak kapan. 

Apa pun alasannya mempertahankan Jemima, perpisahan bukanlah hal yang diinginkan. Aryan akan mempertahankan Jemima bagaimana pun rintangannya. 

*** 

Pada malam hari, Aryan akan menyendiri. Dia membiarkan Jemima untuk terlelap lebih dulu. Sebab Aryan tak ingin mengganggu waktu yang perempuan itu punya untuk menangis. Malam hari memang selalu menjadi waktu ternyaman untuk menangis, dan Aryan juga mengakui demikian. Bukan hanya Jemima yang menangis di kamar, tapi Aryan juga. Bedanya, pria itu akan menggunakan kamar tamu dan tidak berharap ada orang lain yang tahu. 

Sayangnya, meski dia tak ingin ada orang yang mengetahui, ibunya selalu memantau kegiatannya itu. Terkadang Katrina akan muncul dan memberikan usapan di bahu, terkadang juga memilih seolah tak tahu. Namun, malam ini, wanita itu memilih untuk memberikan kalimat sinis yang menunjukkan betapa muaknya wanita itu mendapati Aryan dan Jemima yang sudah tak seperti sedia kala. 

"Mama nggak peduli dengan perempuan itu. Mau dia nangis atau dia pergi dari sini. Tapi mama nggak nyangka kamu akan sebegini menyedihkannya, Aryan."

"Memangnya aku harus apa, Ma? Aku kehilangan seorang anak. Sudah menjadi hal yang wajar kalo aku menangis karena sedih. Aku bukan mama yang nggak punya perasaan. Mama nggak menangis berhari-hari saat papa meninggal. Mama bisa kuat karena mama nggak mencintai papa dan nggak ada rasa kehilangan yang mendalam."

Her Wings / TAMAT Where stories live. Discover now