Duapuluh

5.6K 488 6
                                    

Aeris baru saja pulang dari toko bunga milik mamanya ketika melihat seorang gadis sedang duduk di lobi apartemennya dengan kepala ditundukkan ke bawah.

Concierge tersenyum ke arahnya, dengan mata menunjuk ke arah sosok gadis yang Aeris yakini pastilah Emilie.

"Emilie?" suaranya terdengar ragu- ragu di telinganya sendiri. Bertanya- tanya apa penyebabnya hingga sudah selarut ini gadis itu malah berada di lobi apartemennya, alih- alih di rumahnya sendiri.

Aeris nggak keberatan didatangi oleh Emilie, hanya saja dia malas berurusan dengan ayah gadis itu. Pertemuan di antara mereka akan selalu berakhir tidak baik. Banyak salah pahamnya.

Ketika kepala Emilie terangkat menengadah ke arah Aeris, gadis itu hampir memekik. Muka Emilie memerah dan matanya sembab--- seolah- olah gadis SMP itu menghabiskan seharian ini untuk menangis. Segera saja Aeris mendekatinya dan mendaratkan bokong di sofa ruang tunggu di samping Emilie. "Kamu kenapa, Sayang?"

"Papih, Kak..." Gadis itu menjawab dengan suara sesunggukan. Isak tangisnya masih tersisa.

Tangan Aeris secara refleks terulur untuk mengelus punggung gadis kecil itu. Dia pernah membaca artikel entah di mana, bahwa usapan di punggung dapat menenangkan orang yang tengah dilanda semacam kegelisahan.

Sementara punggung gadis itu terguncang- guncang. Entah berapa lama dia menumpahkan air matanya.  Aeris akhirnya mengajak gadis itu untuk naik ke unitnya.

Setelah mengganti membersihkan diri dan berganti pakaian, serta meminjamkan pakaian pada Emilie yang masih mengenakan seragam sekolahnya, Aeris menawari gadis itu makan malam.

"Kamu mau makan pasta? Kak Aeris cuma punya itu. Pasta instan, sih soalnya kakak nggak jago masak juga,"

Emilie mengangkat sebelah sudut bibirnya yang tipis. Matanya tampak sayu, seperti sedang mengantuk. "Kamu sambil nunggu pastanya matang, mendingan istirahat saja. Nanti aku bangunin,"

"Nggak usah, Kak. Aku bantuin saja,"

"Nggak perlu,"

Dalam balutan kaus putih oversized sepanjang setengah pahanya, serta celana pendek warna cokelat moka, Aeris berkutat di dapur mungilnya. Merebus pasta dan membuat saus carbonara instan. Dia hanya menambahkan bawang putih, bawang bombay, oregano dan daging cincang yang secara ajaib ada di dalam freezernya dalam kondisi masih bagus. Alias belum menjadi fosil dalam kulkasnya.

Duapuluh menit kemudian, keduanya menyantap pasta sembari duduk di sofa di depan televisi yang menanyangkan acara dokumenter tentang kehidupan zaman pra- sejarah.

"Aku kira Kakak nggak makan malam. Badan kakak ramping sempurna kayak model. "

Emilie melirik malu- malu pada Aeris yang memangku piring lebarnya. Gadis itu membalas dengan senyuman kecil. "Ini harus ditebus dengan pergi ke gym besok pagi- pagi banget, tahu."  Jawab Aeris.

Dengan garpu, ia menggulung pasta dan memasukkannya ke dalam mulut. Pasta memang nggak pernah salah. Dan karena kemampuan memasaknya masih sebatas itu, dia cukup puas dengan rasanya..

"Jadi ada apa?" Aeris memancing, "aku tahu papihmu memang nyebelin. Tapi kelihatannya dia sayang banget sama kamu lho, " gurau Aeris. Mencoba memecahkan gelembung kesedihan yang masih menyaput wajah belia gadis itu.

"Yah," Emilie menyahut enggan. Kemudian hening.

"Kalau kamu masih belum siap untuk membicarakannya sama aku, it's okay. Nggak perlu buru- buru. Tapi kelihatannya berat, ya?"

Emilie menarik bibir menjadi satu garis lurus, sebelum menghadapkan tubuhnya ke arah Aeris. Gerakannya tampak serba salah. "Kalau ternyata orangtua yang selama ini ngerawat kakak sejak kecil ternyata adalah orang lain gimana, Kak?"

A Little Bit SweetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang