09꒷꒦˖PADA LAUT YANG MEMELUKNYA ERAT

9.9K 961 226
                                    

Mereka menyebutku sebagai manusia lemah, disaat kesulitan terus menikamku tanpa jeda.

09. PADA LAUT YANG MEMELUKNYA ERAT.

Genap satu Minggu kepergian Samudra Agra Devantara.

Gibran dan Mentari sudah berusaha mencoba untuk bangkit dari segala keterpurukannya, dan memaksakan diri agar tidak terlalu hanyut dalam kesedihan yang mendalam. Tetapi, tidak dengan Dermaga. Laki-laki itu masih berada pada ruang laranya. Dermaga masih selalu merasa ada yang janggal di hatinya, ia masih dihantui oleh rasa bersalah setiap waktu.

Sejak kejadian hari itu, Dermaga lebih sering melamun, mengurung diri didalam kamar dan ditemani oleh kegelapan serta keheningan. Dermaga begitu enggan untuk sekadar berbicara, tatapan matanya pun selalu saja kosong.

Dua malam terakhir ini, Mentari dan Gibran mulai menyadari bahwa Dermaga selalu berbincang seorang diri. Sesekali ia tertawa, atau bahkan marah-marah tanpa alasan.

Pagi ini, sepasang suami istri itu menghampiri putra sulungnya yang berada didalam kamar. Mereka berniat mengajak Dermaga untuk pergi ke tempat dimana pesawat Sahara Airlines terjatuh. Namun, ketika Mentari dan Gibran masuk kedalam kamar Dermaga, mereka justru dikejutkan dengan kondisi Dermaga yang tengah mencengkram selimut yang menutupi sebagian tubuhnya. Keringat dingin bercucuran di pelipisnya, bibir ranumnya pun pucat pasi. Dermaga juga menggigit ujung selimut untuk meredam suara tangisannya.

“Dermaga, kamu kenapa, sayang?” wanita paruh baya itu menunjukkan ekspresi khawatir.

Tidak langsung menjawab. Dermaga justru menghamburkan pelukannya kepada sang Mama.

“Samudra, Ma...” lirih Dermaga pilu.

Gibran yang berdiri di samping istrinya pun ikut mengusap kepala Dermaga yang tenggelam di lekukan leher Mentari.

“T-tubuhnya... Tubuh Samudra terhimpit oleh badan pesawat dan terumbu karang,” suara Dermaga semakin memilih pelan, sesekali ia tercekat oleh ludahnya sendiri, serta napasnya yang tertahan di rongga dada.

“Kamu ngomong apa? Jangan ngelantur.” Mentari melepas paksa dekapan dari Dermaga. Ia lantas kembali berbicara, “Habis mimpi buruk?”

Kepala Dermaga menggeleng kecil, air matanya terus berderai membasahi pipinya. “Aku lihat sendiri, Ma. Aku lihat dengan mata kepalaku sendiri. Aku melihat Samudra dengan kondisi yang sangat mengenaskan. Kenapa cuma aku yang selamat? Kenapa adekku nggak?”

Pandangan Mentari dan Gibran bertemu pada dimensi yang sama selama beberapa detik. Mereka sama-sama kebingungan. Sebenarnya, kemana arah pembicaraan Dermaga saat ini?

“Papa nggak paham apa maksud kamu.“ Gibran ikut mendudukkan dirinya dihadapan Dermaga. Mereka menatap penuh tanda tanya kepada Dermaga yang sedang menundukkan kepalanya.

“Aku ada didalam pesawat itu, aku ikut jatuh kedalam air laut.” Perkataan Dermaga semakin ngelantur kemana-mana, serta pandangannya pun menatap kosong pada satu objek.

Mentari mengangkat tangannya untuk menyentuh kening Dermaga dengan punggung tangannya. Kemudian Mentari menarik wajah Dermaga secara perlahan untuk menoleh ke arahnya. “Kamu cuma mimpi, sayang. Kamu nggak pernah naik pesawat itu.”

“Nggak!” kepala Dermaga menggeleng cepat—menyangkal ucapan Mamanya. “Aku baru bangun dari koma, kan, Ma?”

Lagi-lagi Mentari dan Gibran saling melempar tatapan yang sulit untuk diterjemahkan. Diam-diam Gibran melirih dalam batinnya, “Cobaan apa lagi ini, Tuhan?”

DERMAGA: Kekasih Dalam IlusiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang