3. Do You Get Deja Vu?

169 14 5
                                    

★Selamat membaca★
(Beri vote dan komen, ya!)

★Selamat membaca★(Beri vote dan komen, ya!)

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"I was waiting for you without knowing it."

┐⁠(⁠‘⁠~⁠'⁠;⁠)⁠┌

Raungan seseorang terdengar di seluruh penjuru gedung yang petang. Gelombang suara tersebut tiga kali lipat lebih tinggi dari ratarata. Tubuhnya memberontak tidak keruan dengan penampilan kacau-balau. Tambang yang melilit dirinya pada sebuah tiang membuat dadanya sesak tiada tertahan. Sela bibirnya mengeluarkan batuk berat disertai aliran darah yang membasahi dagu, lantas turun menodai kaus bernuansa biru. Sorot matanya terus-terusan menatap nyalang pada beberapa orang yang tengah tertawa lancang menikmati erangan kesakitan.

Ia mengepal tangan kanan yang sudah berlumuran darah. Dua kukunya hilang sebab dicongkel menggunakan pisau boning. Di lengannya terdapat beberapa sayatan memanjang. Pelipisnya terluka usai dihantam dengan balok besar sebelum tubuhnya diseret paksa dalam keadaan setengah sadar, keluar dari kerumunan.

Kala itu, lelaki tanggung yang masih menyandang status sebagai mahasiswa FISIP mendadak kena setrum hawa politik pengap dan bau bacin. Bersamaan dengan Aliansi Mahasiswa Indonesia, berduyun-duyun mereka keluar dari kampus negeri maupun swasta. Membentangkan spanduk bertuliskan #ReformasiDikorupsi! dan mengusung panji-panji. Berteriak dekat kuping penguasa sampai yang diteriaki merah dan tipis daun telinganya.

Kericuhan bermula saat mahasiswa mencoba menerobos ke dalam gedung DPR dengan berusaha merobohkan pagar. Polisi mengurai massa dengan menembakkan gas air mata dan water canon. Mahasiswa di depan gerbang, terdorong keluar. Sampai di situ, demonstrasi anarki pun terjadi. Pelemparan batu-batu secara sembarang, pembakaran ban, serta perusakan fasilitas umum di pinggir jalan menuai kontra. Tak ayal banyak korban jiwa berjatuhan setelahnya.

"Demonstrasi adalah kuliah politik yang nyata, yang mengajarkan materi dasar tentang warga negara, yaitu hak buka mulut di depan umum. Apalagi, di alam demokrasi Pancasila, konon, Anda tak selamanya harus manggut-manggut tersenyum di muka penguasa. Menggeleng juga dipersilakan. Tapi tanggung sendiri akibatnya." Itu perkataan seorang pria yang tak lain merupakan rektor dari universitas tempatnya berkuliah.

Lelaki yang masih menggeram menahan amarah, akhirnya bersuara juga. "SANGKUNI BIADAB!" serunya dengan rahang tegas, mencetak urat-urat kontras.

Alih-alih menanggapi dengan emosi, pria itu malah tersenyum penuh arti. Dengan kedua tangan menelusup pada masing-masing saku celana, tubuhnya membungkuk guna memperhatikan raut wajah mahasiswanya. "Selamat datang di ganasnya dunia kepolitikan, Keledai!"

Ia tahu, para anggota DPR telah melayangkan uang kepada rektor-rektor dan aparat sekitar untuk membungkam mulut para mahasiswa dengan cara kasar, adapula yang sampai tewas mengenaskan, namun bekasnya tak terlihat di khalayak umum, bahkan bangkainya pun tak tercium. Petinggi-petinggi ini benar-benar keji. Bermain di belakang layar tanpa mengindahkan nyawa seseorang.

Samudra untuk Muara [Sequel MUA-RAY]Where stories live. Discover now