Pesawat kertas

62 4 0
                                    


Part 1


Pesawat kertas.

Panen padi adalah musim yang paling ditunggu oleh para petani jatuh sekitar bulan Maret-April, yang biasa disebut panen rendeng. Panen kali ini tidak begitu meyakinkan hingga hasilnya pun kerap kali tidak sesuai dengan harapan. Tingginya curah hujan dan cuaca buruk yang tidak menentu, menjadi salah satu faktor yang dapat merugikan bagi para petani. Namun, mereka tidak pernah menyerah untuk dapat menghasilkan padi yang menjadi sumber makanan pokok sehari-hari.

Kita tidak akan membicarakan tentag panen itu, tetapi kita akan membicaraka tentang seorang pria yang sudah berusia matang dengan penghasilan yang cukup. Bahkan, ia terbilang mapan di usianya saat ini yang entah kapan akan memanen buah cintanya bersama dengan wanita yang dicintai dalam hidup.

Sagara yang mempunyai nama lengkap Agus Sagara, tidak pernah ambil pusing untuk memikirkan banyak pertanyaan yang kerap kali dilontarkan oleh kerabatnya. Kapan menikah adalah satu pertanyaan yang klise di setiap momen besar dalam keluarga, tetapi rasanya pertanyaan itu juga kerap terdengar dari orang-orang yang sudah dirasa cukup umur untuk melangsungkan pernikahan. Masih belum mempunyai calon mempelai, alias jomlo-- single.

Pria berkulit bersih itu sedang menghubungi seseorang di pekarangan rumah orang tuanya yang tak pernah sepi oleh beberapa seniman terkhusus seni Sunda, Jaipongan. Sagara pun menyudahi pembicaraannya dengan menutup telepon.

"A' Saga ... coba lihat tuh, hasil panen kita. Alhamdulillah!" seru bu Nengsih tampak sumringah.

Beliau pun menghampiri suaminya yang tengah sibuk mengamati timbangan padi bersama beberapa orang, Saga ikut bahagia karena ibunya juga sedang bahagia. Sepertinya hasil panen kali ini memang terbilang cukup bagus, bila dibandingkan dengan hasil panen punya tetangganya yang terkena hama tanaman.

"Telepon dari siapa, A'?" tanya bu Nengsih seraya mendekat ke arah Saga.

"Dari Jona, Mah," sahutnya.

"Oh, si ujang Jona, kirain dari calon menantu Mamah," ujar bu Nengsih sengaja meledek.

Saga berdecak, ia merasa malas mendengar ledekan itu yang bukan untuk pertama kali. Jika mengaca pada usia, Sagara masih terbilang muda karena masih 30 tahunan. Namun, untuk tinggal di perkampungan, hal itu memang kerap menjadi sebuah pertanyaan adakah alasan kenapa belum menikah.

"Ayo ikut sama Mamah, anterin Mamah ke sawah. Kita lihat yang sedang panen," ajak bu Nengsih.

"Nggak, ah, males. Mamah sama A' Sam aja tuh, aku mau tidur nih ngantuk," celetuk Saga yang kemudian hendak berlalu.

"Eh ... ya, nggak boleh tidur atuh Aa'. Anterin Mamah dulu ke sawah," seru bu Nengsih.

"Sama bapak aja, Mah," ujar Saga.

"Bapak, 'kan, sedang sibuk nimbangin padi, Aa'," pungkas sang ibu. "Si Aa' mah selalu susah kalau diajak ke mana-mana, sekalinya ada di rumah selalu nggak mau." Bu Nengsih pun menggerutu.

Orang tua terhadap anaknya memang kerap kali demikian, tapi bukan berarti itu membenci lantaran kecewa. Hanya saja, yang namanya orang tua selalu berharap agar anaknya bisa dengan senang hati melakukan apa yang diinginkan oleh mereka.
Dari dulu, Sagara terbilang sebagai anak yang patuh pada orang tua, meskipun ia nakal di sekolah karena sering bolos dan pernah terlibat beberapa kenakalan remaja pada masanya. Namun, baktinya pada orang tua jarang sekali ia tentang.

"Ayo, Mamah!" seru Saga sambil membunyikan klakson mobilnya.

"Eleuh ... ai A' Saga mau ke mana?" seru bu Nengsih yang melangkah ke arah mobil.

"Katanya mau diantar ke sawah?" sahut Saga.

"Pakai mobil?" tanya bu Nengsih dengan tatapan heran.

"Iya, ayo!" seru Saga hendak masuk ke dalam mobilnya.

"Atuh Aa', cuma ke sawah nggak usah pakai bawa mobil," pinta bu Nengsih.

"Emangnya kenapa, Mah?"

"Ya, sayang aja mobilnya, nanti kotor bagaimana?"

"Ya nggak apa-apa, kalau kotor nanti tinggal distem, 'kan?" pungkas Saga.

Bu Nengsih menggeleng. "Nggak, jangan, kita pakai motor saja, ya? Mamah takut mabok."

"Yaelah, Mamah. Nggak bakalan mabok, mobilnya 'kan wangi. Percaya deh, bikin nyaman nanti Mamah bisa tiduran di dalam," papar Saga.

"Nggak, ah. Sayang mobil baru masa ditidurin, udah ah kita naik motor saja."

"Ya, sekali-kali dong Mah, naik. Ini mah takut mabok terus," cetus Saga.

"Udah, lain kali, kalau A' Saga udah punya anak. Mamah pasti mau naik mobil, maksain buat jagain cucu, ya." Bu Nengsih kembali berceloteh hingga Saga berdecak.

"Udah, ah, terserah Mamah," pungkasnya.

Tak ingin berdebat lagi, akhirnya anak dan ibu itu kini dalam perjalanan menuju ke sawah yang cukup jauh dari rumahnya.

"Sudah sampai!" seru bu Nengsih yang kini turun dari boncengan.

Sementara Saga sedang memarkirkan motornya di bawah pohon mangga yang tak jauh dari pinggir jalan.

"Mah, aku nungguin di sini, ya!" seru Saga.

Bu Nengsih mengangguk, tidak akan memaksanya untuk ikut serta menelusuri kotakan sawah. Mau mengantar saja itu sudah lebih dari cukup. Saga pun memandangi ibunya yang kini mulai melangkah menjauh, menuju kotakan sawah milik keluarga. Sawah yang berhasil ditebus kembali setelah beberapa tahun tergadaikan untuk menebus kebebasan Saga di penjara dulu akibat dari kenakalan remaja yang kerap kali ia lakukan. Sagara menjadi karyawan teladan di salah satu garment di kabupaten Subang, Jawa Barat dan sudah menjabat sebagai supervisor selama beberapa tahun bekerja. Selama itu, ia tidak pernah diam selain bekerja siang dan malam, otaknya juga tidak berhenti untuk menciptakan peluang dalam menghasilkan uang. Ia sosok yang berani mengambil resiko dengan menguras habis rupiah di rekeningnya demi mewujudkan bengkel impian selama ini.

Di bengkel itu, terdapat tempat stem kendaraan, tambal ban, service motor bahkan service elektronik pun kerap ia kerjakan semampunya dengan hasil yang jarang mengecewakan hingga kemahirannya kini semakin tersohor. Namun, Saga tidak bisa fokus pada bengkel dan service lainnya karena ia juga harus memprioritaskan pekerjaan sebagai supervisor mekanik di garment. Sesekali ikut bersama rombongan ayahnya serta Samiawan kakak laki-laki Sagara satu-satunya untuk pentas Jaipongan.

Baru-baru ini, setelah melunasi cicilan mobil selama dua kali angsuran/tahun. Sagara juga membangun toko klentongan di halaman rumah orang tuanya, untuk mempermudah ibunya dalam mencari kebutuhan sehari-hari membuat wira usahanya itu semakin ramai dikunjungi banyak orang. Ada yang sekadar nongkrong di bengkel dan memudahkan suguhan terhadap orang-orang yang kerap membuat janji untuk bertemu dan membicarakan pentas jaipongan.

Angin berhembus menyejukan suasana di sekitar pesawahan, Sagara menghela napas memikirkan kembali titik balik hidupnya selama ini. Hidup seseorang memang tidak mudah diterka. Siapa sangka, Sagara yang dulu sering membuat keributan, kini sangat bermanfaat bagi lingkungan sekitar terutama keluarga. Semua itu tak lepas dari kerja kerasnya selama ini, serta tanggung jawab dan kejujurannya. Klakson motor membuyarkan lamunannya, Saga menoleh memandangi siapa gerangan yang datang ke tempatnya berpijak. Pria bertubuh kekar beserta anak laki-laki itu turun dari motor dan memarkirnya dengan sembarang. Membuka helm yang dikenakan, hingga tampak mengukir senyuman sampai lesung pipinya membentuk sempurna.

"Jona," gumam Saga.

"Hallo, Bro!" seru Jona sembari melambaikan kedua tangannya.

"Mamang!" Anak laki-laki itu pun berlari ke arah Saga.

Saga sontak membungkuk. "Raden, ngapain ke sini?" tanya Saga pada keponakannya itu. "Bawa tas segala," tuturnya.

"Aden mau menggambar di sini," tukas anak kecil itu sambil duduk beralaskan rumput.

"Raden pengen ikut, katanya mau nyusulin nininya ke sawah. Terus A' Sam bilang, ajakin aja ke sini," ujar Jona yang kini berdiri di samping Saga.

"Lu barusan dari rumah aing?" tanya Saga sampai Jona mengangguk.

"Libur, Bos!" serunya sambil menepuk pundak Sagara.

"Bas bos, bas bos, lu tuh bos Pertamina, tumben ada di kampung. Sejak kapan balik dari Cilacap?" tanya Saga.

"Baru kemarin, dari banyaknya teman. Cuma lu yang bisa dihubungi, soalnya yang lain pada sibuk," ujar Jona.

"Emangnya si Aerlagga ke mana?"

"Dia sedang sibuk persiapan mau kawin," tukas Jona.

"Oh, si Aer udah mau serius ternyata," cetus Saga.

"Iya, Aer aja yang ceweknya banyak udah mau nikah. Lu kapan mau, Saga? Keburu kiamat, tahu," celoteh Jona sambil meledeknya.

"Tai, lu," protes Saga sambil berpaling, Jona lantas tertawa. "Ngapain lu ke mari?" ketus Saga.

"Aing cuma mau ngasih tahu sesuatu," sahut Jona.

"Ngasih sesuatu, ngasih uang dong sekali-kali," tutur Saga.

"Lah, aing ke mari justru mau minta uang, jangan lupa datang, ya. Ke acara nikahan," ucapnya.

"Niikahan si Aer?"

"Bukan, beda lagi."

Saga mengernyit, "Siapa?"

"Aing." celetuk Jona.

"Lu mau nikah lagi?" Saga tercengang, Jona mengangguk dengan mengulum senyum.
"Bangsat lu, udah dua kali menikah, sekarang malah mau nikah lagi," cetus Saga.

"Haha ... memangnya kenapa? Iri ya, Pak?" seloroh Jona, Saga menggeleng dengan memberi seringai. "Makanya lu buruan nikah, aing aja udah mau tiga kali. Lah lu sekali pun belum pernah, kagak kesepian lu?" desak Jona kembali meledeknya, Saga menggeleng.

"Biarkan aing jadi bujang bahagia," balasnya.

Jona lantas terbahak. "Bujang apaan lu? Bujang lapuk? Bujang-bujang ... ngakunya aja bujang, bujang hidung lu," cibirnya dengan puas.

Sagara tak lantas menghiraukan. "Emangnya lu nggak capek, ya? Hidup sendirian terus, coba luh nikah, kalau nikah pulang kerja enak tahu, ada istri yang menunggu di rumah. Terus nyajiin minuman dan makanan, habis itu luh ditanyain kabar, Aa' capek nggak? Gimana kerjaannya hari ini? beuh ... mantap pokoknya," ujar Jona.

Saga pun memperhatikanya dengan tatapan remeh. "Terus, lu sendiri kenapa? Aa' capek, ya, rumah tangga, kok cerai lagi cerai lagi?" sindirnya hingga Jona sontak mematung.

"Sialan lu, bisa aja deh jawabnya," protes Jona.

"Coba sini cerita?" tambah Saga.

Jona menggeleng. "Aing bosan, soalnya cewek mana pun nggak ada yang punya anak."

"Alah, yang pertama ada anak juga malah diceraikan," cibir Saga.

"Sialan lu, itu bukan anak aing." Sanggah Jona sampai Saga mengulum senyuman apabila mengingat pengkhianatan istri pertama Jona waktu itu.

"Najis, aing selalu berdoa semoga kalian tidak bernasib sama, punya istri tapi ngandung anak selingkuhan. Berasa ketipu aing," ucap Jona.

"Kayak judul lagu, ya? Orang lain makan nangkanya, lu makan getahnya," celoteh Saga.

"Semoga, lu nggak seperti Lingga, ditinggal di saat sayang-sayangnya hanya karena tergoda oleh laki-laki yang lebih kaya. Amit-amit mending kalau ganteng, cuma aki-aki," ujar Jona dengan penuh kata umpatan.

"Udah, jangan ngomongin aib yang lain," sela Saga.

"Iya, aing lupa, aing juga nggak ada bedanya, istri yang kedua doyan selingkuh," tutur Jona.

"Sabar," pungkas Saga yang kini tampak serius.

Jona menoleh seraya mengangguk. "Mudah-mudahan yang sekarang menjadi pelabuhan terakhir, aing udah capek sebenernya. Capek jatuh cinta dan ujung-ujungnya sakit hati," paparnya.

Saga pun menepuk pundak temannya itu dan meminta untuk kembali bersabar, pria bertubuh tinggi itu kini menatap Saga dengan intens.

"Kenapa?" tanya Saga merasa heran.

"Aing heran deh, sama lu."

Saga pun mengernyit. "Heran kenapa?"

"Kenapa sih, lu nggak nikah-nikah sampai sekarang? Lu patah hati? Kayak si Jay sama Widuri? Lu nunguin siapa sih sampai betah banget menjomlo?" cecar Jona tampak penasaran.

Sagara mengatup bibir, menggeleng lalu berpaling. "Belum nemu yang tepat," tandasnya.

"Nggak mungkin," sanggah Jona. "Sebenarnya bukan nggak ada yang tepat, cuma lu nggak mau aja buka hati untuk yang lain. Siapa sih yang lu harepin? Lu nggak pecun 'kan, masa lu nggak bisa ngomong ke cewek. Lu pengen nikahin dia gitu," ujar Jona dengan raut gemas.

"Nggak ada, aing belum pengen nikah, aing masih pengen fokus sama kerjaan," ujar Saga dengan lantang.

"Fokus, tai," celetuk Jona.

Saga sontak menatapnya. "Lu tuh, fokus meki," balasnya sinis.

"Biarin, dari pada lu aplikasi tiap minggu, paling mentok sabunan, bener, 'kan lu?" cecar Jona.

Saga tercengang hingga menoleh ke sana ke mari. "Anjing lu, diam nggak lu? Ada anak kecil juga."

"Haha, biarin, si Raden nggak dengar, sedang fokus menggambar," seloroh Jona.

Saga pun menggeleng mengabaikan ocehan Jona saat ini. "Raden, sedang menggambar apa?" seru Saga.

"Pemandangan, Mang," seru anak kecil itu, Saga pun mendekat ke sampingnya untuk melihat gambar apa yang sedang keponakannya buat.

"Bagus nggak, Mang?"

Anak yang berusia delapan tahun itu menunjukkan gambarnya pada Saga.

"Ini gunung dan ini tenda perkemahan, Aden kepengen ikut Pramuka biar bisa camping di hutan dan pegunungan," ujar anak kecil yang bernama Raden itu.

Sagara pun tersenyum seraya mengusap kepalanya. "Mamang pernah ikut camping belum?" celotehnya.

"Pernah," sahut Saga.

"Kalau mamang Jona udah pernah camping belum?" seru Raden. "Mamang Jona juga pernah, kita sering camping waktu muda dulu," ujar Saga menimpali.

"Nanti Raden camping sambil bawa pacar, terus di sana main gitar," seru Jona.

"Jonathan!" Saga sontak menoleh dan menyuruhnya untuk menutup mulut.

"Memangnya camping boleh bawa pacar?" tanya Raden dengan polosnya.

"Boleh, kalau sudah nikah," sahut Saga dengan lembut.

Jona kini melangkah mendekati keduanya. "Raden bisa nggak menggambar tendanya?' tanya Jona yang kini berjongkok di hadapannya.

Raden menggelang. "Sini coba, mang Jona ajarin, ya."

Jona pun meraih buku gambar itu beserta pensilnya, mulai menggambar tenda disertai dua sejoli yang sedang bermain gitar.

"Mang Jona, ini siapa?" seru Raden sambil menunjuk pada gambar dua sejoli itu.

"Ini Raden dan ini pacar Raden," papar Jona menunjuk pada gambar, hingga anak itu tersipu malu.

"Iihh ... masa Aden masih kecil udah pacar-pacaran," selorohnya.

"Udah jangan didengerin, mang Jona cuma bercanda," tukas Saga, lalu menjauh memandangi ibunya yang tak kunjung kembali.

"Ini tuh neng Senja dan ini mang Saga," celetuk Jona dengan kembali menunjuk pada gambar kemudian berpaling mengulum senyuman, membuat Saga jadi tercengang.

"Mang Saga, neng Senja itu siapa?" tanya Raden merasa penasaran.

"Ah, itu teman Mamang!" seru Saga menjadi bimbang.

Jona terdiam dengan memperhatikan Saga.
"Apa?" ketus Saga seraya berpaling muka.

Jona berdecak. "Jangan-jangan lu masih mikirin neng Senja, ya?" celetuknya sedang mencoba menerka.

Saga mengernyit mengendikkan bahunya. "Kalau neng Senja ada di sini, mungkin aing akan nikahin dia," celoteh Jona.

"Lu ngomong apaan sih?" Saga memprotes karena tidak suka bila membawa Senja ke dalam obrolanya.

"Gimana, ya, kabarnya sekarang? Pasti makin cantik. Arjuna saja susah banget dihubungi, lu denger nggak sih kabar mereka?" tanya Jona, tapi Saga hanya berpaling karena tidak ingin mendengar pembahasan tentang Arjuna Senja.

"Yeeh ... dasar si kulkas, orang diajak ngobrol malah diem aja," protes Jona dengan kesal.

Saga memilih diam sampai Jona juga ikut terdiam, menikmati angin sepoi-sepoi di bawah pohon mangga yang rindang. Mereka mengobrol sampai tidak terasa hampir sore hari.
Raden yang sudah selesai menggambar kini membuat pesawat dari kertas dan menerbangkannya ke udara, tapi pesawat kertas itu tersangkut pada gundukan ranting.

"Mamang!" seru Raden memanggil.

Saga bergegas mendekat untuk mengambil pesawat kertas dari gundukan ranting itu secara hati-hati, merapihkannya kembali dan memandang pesawat kertas yang kini berada dalam genggamannya. Ia kemudian menerbangkanya seiring dengan angin yang berhembus di sore hari. Pesawat kertas itu pun terbang hingga mampu membawanya pada satu kenangan, ketika dirinya bersama dengan Senja di tepi perkemahan. Sedang menerbangkan pesawat kertas seperti saat ini.



Sagara.

Sagara

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Sagara Senja🌸Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang