Part 7

9 4 0
                                    


Part 7


Malam hampir larut, Senja tengah gelisah menunggu Aradhana yang belum dikembalikan oleh Arjuna. Seharusnya ia tak perlu khawatir karena anak itu sedang bersama ayahnya, tapi justru sebaliknya Senja sdikit menyesali hari ini. Seharusnya ia tidak membawa Aradhana bersamanya, agar Arjuna tidak mengajak anak itu ke rumahnya.

Senja bisa saja berdiam diri di rumah Elang untuk menunggu Aradhana pulang, tetapi Arjuna tidak akan semudah itu memberikan anaknya sebelum ia benar-benar akan kembali ke Jakarta. Seperti yang sudah-sudah, Arjuna kerap bersama putranya berapa lama pun sesuai hari liburnya di kampung.

Tepat jam 10 malam, ketukan pintu membuyarkan kegelisahan Senja hingga ia pun bergegas membukanya.

Senja terpaku lantaran Arjuna berdiri di hadapannya.

"Neng Senja," sapanya.

"Kenapa ke mari malam-malam begini?" tanya Senja.

Arjuna pun melenggang masuk ke dalam rumah Senja tanpa perlu ditawari terlebih dulu oleh yang punya.

"Aku sudah mengantarkan anak kita pada A' Shailendra," pungkas Arjuna.

Senja menjadi lega mendengarnya, dengan begitu ia tidak lagi berpikiran macam-macam pada Arjuna yang bisa saja mengambil hak asuh Aradhana.

"Apakah neng Senja merasa khawatir kalau aku akan mengambil Aradhana?" celoteh Arjuna tepat seperti apa yang sedang Senja pikirkan.

"Ini sudah malam, sebaiknya A' Juna segera pulang," ucap Senja seraya menggeleng pelan.

"Aku masih ingin di sini, tenang saja, aku sudah minta izin pada Abah dan Umi untuk menemui neng Senja," tukas Arjuna hingga Senja tertetegun.

"Aku hanya ingin berpamitan, malam ini aku akan kembali ke Jakarta," ujar Arjuna membuat Senja semakin tertegun.

Arjuna mulai mendekat secara perlahan. "Bagaimana kabarmu selama ini?"

Senja sontak menatapnya dengan intens. "Aku baik-baik saja," pungkasnya yang kemudian berpaling karena tidak sanggup bila harus terus menatap Arjuna.

Ada getaran yang masih sama besarnya seperti dulu, seperti saat mereka masih bersama. Senja tidak ingin perasaan cinta di hatinya kembali tumbuh pada Arjuna, sedangkan dulu dengan susah payah ia menguburnya dalam-dalam.

"Neng Senja."

Suaranya yang begitu candu mampu membuat siapapun tak dapat berpaling. Arjuna semakin mendekat memandangi pundak Senja yang dulu menjadi tempatnya bersandar, untuk mencurahkan duka lara dalam penatnya perjuangan.

"Apakah tidak ada kesempatan untuk kita agar bisa kembali bersama?" ucap Arjuna dengan lirih.

Senja seketika berbalik menatapnya, raut wajahnya berubah sedih memikirkan apa yang Arjuna ucapkan barusan.

"Jika bukan untukku, setidaknya lakukan untuk putra kita Aradhana," ucap Arjuna.

Pria itu pun semakin mendekat sampai menangkup wajah Senja yang penuh air mata.

"Katakan sesuatu, apa yang harus aku lakukan agar kita bisa kembali bersama?" Arjuna melirih.
"Ceraikan mereka!" tukas Senja membuat Arjuna terpaku.

Pandangan mata yang nanar membuat Senja mengerti satu hal, bahwa Arjuna memang tidak akan pernah melupakan janjinya. Bahkan pria itu kini memilih mendua, membuat cinta bercabang pada beberapa wanita.

Perlahan, Senja menjauhkan kedua tangan kekar Arjuna lalu memundurkan langkahnya.

"Pergilah, biarkan aku di sini, biarkan aku hidup tenang dan bahagia bersama anak kita." Senja pun terisak menangisi takdir cintanya.

Bagaimanapun juga, perpisahan itu masih belum sepenuhnya ia terima tetapi apa mau dikata karena nasi sudah menjadi bubur. Arjuna pun mendekat dan memeluknya dengan erat.

"Kumohon, pergilah!" gumam Senja yang masih melirih.

"Maafkan aku, neng Senja!" gumam Arjuna hingga mengeratkan pelukannya.

Perpisahan memang selalu meninggalkan bekas yang mendalam. Walaupun demikian tak seharusnya terus disesali, karena hidup akan tetap berjalan dengan semestinya.

🌸🌸🌸

Senja kembali menjalani hari-harinya, meskipun kadang tenggelam dalam sepi tapi ia akan terus berjuang untuk mencari kembali sebuah bahagia hingga menghadirkan tawa ceria yang akan terus mengisi waktu senjanya nanti.

Sesuai dengan yang sudah dibicarakan kemarin sore, pagi ini Senja mendatangi pabrik tempat Maya bekerja. Mengenakan outfit hitam putih untuk memenuhi salah satu syarat mereka. Senja melakukan apa yang telah diarahkan oleh Maya dan menuruti prosedur dari pihak security yang menerima beberapa berkas lamaran dari para pencari kerja.

Senja dan yang lainnya lolos pada tahap pertama. Mereka pun diarahkan untuk menuju gedung dan menjalani interview pertama, setelah itu mereka diarahkan masuk ke ruang personalia untuk melakukan interview tahap berikutnya.

Tak banyak basa-basi, pihak di sana segera menghubungi Maya untuk mengambil Senja yang telah dijanjikan. Maya pun masuk ke ruangan personalia, dengan sumringah ia mengucapkan banyak terimakasih pada beberapa staf di sana karena telah memberikan kelancaran pada temannya, Senja.

Beberapa staf itu kerap memberikan kode-kode yang nantinya akan berakhir dengan sebuah nominal. Tidak perlu dihiraukan, karena hal demikian seakan sudah lumrah adanya.

Senja diterima bekerja, kemudian dibawa oleh Maya ke bagian Cutting di garment, ia pun diarahkan di bagian Adm./Administrasi.

Senja bersyukur dan merasa bahagia atas diterimanya bekerja. Ia tak lantas berbangga hati, karena ke depannya harus mengemban tugas dan tanggung jawab yang cukup berat.

Salah satu tugasnya mengecek, memastikan barang keluar masuk, melakukan input dan output di data komputer. Serta menampung beberapa pendapat dari supervisior dan cheaf dalam menyetujui jam kerja di bagian itu.

Senja menandatangi masa training selama tiga bulan, yang apabila lolos ia akan menjadi karyawan tetap di sana.

Yang namanya bekerja di mana pun tidak ada selalu enak. Bohong jika orang berkata bahwa bekerja itu menyenangkan. Karena sejatinya, segala pekerjaan akan terasa ringan apabila dikerjakan dan akan terasa berat apabila dibiarkan saja.

Itu hanya sebuah kata penenang disela realita yang mampu membuat penat suasana. Senja Prameswari akan bekerja dengan sepenuh hati dan melakukan tugasnya dengan sebaik mungkin.

Menjadi karyawan baru juga tidak begitu menyenangkan, ada beberapa hal yang kerap membuat canggung. Mulai dari suasana dan raut wajah orang yang berbeda-beda terhadapnya. Yang namanya hidup memang penuh warna tergantung bagaimana kita akan menyikapinya.

Waktu terasa lebih cepat berlalu apabila kita menikmatinya dengan penuh ikhlas dan rasa syukur. Seperti Senja yang kini selalu bersyukur karena telah bisa melewati masa-masa sulit di dalam hidupnya.

3 bulan sudah Senja melewati masa training sebagai bagian administrasi di bagian Cutting. Hari ini tiba saat untuknya menerima tanda tangan sebagai karyawan tetap dan menjadikannya sebagai tingkat staf di atas karyawan biasa.

Senja bukanlah karyawan yang hanya mengandalkan tampang, karena kemampuannya dalam bekerja cukup diacungi jempol. Apalagi ia kerap beberapa kali menjadi translator perbincangan antara Mr. dan staf lain dalam berdiskusi soal bahan ataupun kebutuhan produksi lainnya.

Sebenarnya, ia tidak sekalipun mengungkap masa lalu apalagi pernah bekerja di luar negeri, tetapi temannya yakni Maya membeberkan semuanya. Pengalaman Senja selama lima tahun bekerja di Korea mampu membuatnya meringankan beberapa pihak, terutama pihak Mr. ataupun Mrs. yang baru datang dari Korea dan minim kemampun berbahasa Indonesia.

Waktu semakin cepat berlalu hingga tak terasa setengah tahun sudah Senja bekerj, menjadi seorang admin memang tidak semudah membalikkan kertas. Perlu ketelitian dan konsentrasi serta keberanian, apalagi untuk menghadapi orang-orang tertentu yang menyebalkan kerap menghambat proses untuk bagiannya dalam bekerja.

Hari ini saja Senja didesak untuk meminta satu mesin pemotong bahan ke ruangan mekanik. Kang potong ataupun Maya selaku supervisior merasa enggan melakukannya. Bagi mereka, masuk ke ruangan mekanik sama persis seperti masuk ke kandang harimau. Mereka hanya akan mendapat gaungan dan kembali tanpa membawa yang diinginkan. Bahkan, Senja baru mengetahui bahwa admin sebelumnya kabur lantaran sehabis meminta satu mesin yang justru diberi caci maki.

Senja kini berada dalam siatuasi yang membuatnya dilema, antara bersedia atau tidak meminta barang yang mereka butuhkan. Jika ia menolak, maka bagian tempatnya bekerja akan terhambat dalam melakukan produksi, tetapi jika ia pergi ke ruangan mekanik dan meminta satu mesin pada supervisiornya maka ia harus siap menerima caci maki. Yang membuat heran, memangnya orang seperti apa supervisior mekanik itu? Mengapa orang itu sampai meninggalkan citra buruk di sana?

Senja pun mengambil keputusan dan membulatkan tekadnya. Diawali dengan Bismillah, ia pun memberanikan diri untuk masuk ke dalam ruangan mekanik membawa lampiran permohonan.

"Permisi ...." Senja melangkah dari arah pintu yang disambut langsung oleh beberapa laki-laki di dalamnya.

Mereka sontak melemparkan pandangan yang cukup sengit membuat Senja serasa berada di sebuah arena pertarungan.

"Mau ngapain, Neng?" celoteh salah satu pria yang kini melangkah ke arahnya.

"Ini, A', aku mau minta satu mesin buat di cutting_," ujar Senja sambil melambaikan lampirannya.

"Oh, rusak lagi?" cetus pria lainnya yang kini juga mendekat ke arah Senja.

Wanita itu merasa tidak nyaman, salah satu pria itu pun memandangnya sampai berani mengambil id card yang berada di saku baju Senja dan membaca namanya.

"Baru ya?" Senja mengangguk. "Udah berapa bulan?"

"Baru enam bulan, A'," sahut Senja.

"Oh, ya udah. Tuh mintanya ke Bapak aja noh, orangnya sedang ngebangke," ujar pria itu.

Senja seraya mengangguk dan mulai mendekat pada seseorang yang tengah duduk membelakanginya di hadapan satu mesin jahit yang rusak. Mengenakan earphone di kedua telinganya, pantas saja ia tidak bergeming sedikit pun.

Brakkk!

Pria itu menggebrak meja kerjanya sampai Senja terkejut.

"Anjing! Kenapa sih mereka gampang banget merusak mesin, aing susah benerinnya!" ketus pria yang menjabat sebagai supervisior mekanik itu.

"Sabar, Pak!" seru beberapa laki-laki itu. "Tuh tanda tangan dulu ada yang minta mesin baru," serunya.

"Minta-minta saja, nanti dirusak lagi?" sahutnya dengan nada tinggi.

Supervisior itu pun kini berbalik hingga ia tercengang dan terpaku.

Sagara Senja🌸Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang