Part 3.

14 4 0
                                    


*Part 3*

Berkumpul bersama keluarga adalah momen yang membahagiakan, seperti ada kepuasan tersendiri ketika melihat orang-orang yang kita sayangi bisa tertawa gembira. Setelah melaksanakan acara syukuran atas kepulangan Senja ke kampung halaman, keluarga abah Koswara beserta ayah Pramudya serombongan pergi bersama ke tempat wisata. Tak tanggung-tanggung, atas permintaan Senja pun mereka menyewa sebuah villa di kawasan resort pemandian air hangat di kabupaten Subag, Jawa Barat. Mereka pun akan menginap selama dua malam di sana, Senja tengah berbahagia karena kini dapat menikmati buah manis dari perjuangannya selama bekerja di luar negeri.

Mereka duduk beralaskan tikar, disuguhkan api unggun yang setia hingga menghangatkan suasana di tengah dinginnya udara pegunungan malam hari. Sambil menikmati jagung bakar, sosis bakar, lengkap dengan minuman khas lain seperti bandrek, kopi dan juga susu. Si kecil Aradhana tampak gembira menyaksikan proses pembakaran jagung bakar yang dilakukan oleh Jay, Sigit serta ayah Pramudya. Tingkahnya yang lincah tak ayal membuat Senja tertawa.

"Aa', awas jangan dekat-dekat takut kena api!" seru Jay berusaha menegur Aradhana yang memang kerap dipanggil Aa' itu secara halus.

"Aa', nanti disunat nih kalau nggak nurut," seru Sigit disertai tawa hingga anak itu kembali berlarian.

"Aradhana! Sini, Nak, sama Mama," seru Senja sambil mendekati anaknya itu secara perlahan.

Namun, anak laki-laki itu lantas berlari ke arah Shailendra karena malu. Maklum saja, Aradhana masih segan pada ibu kandungnya. Kendati demikian, Senja tak mudah menyerah untuk terus berusaha agar putranya itu bisa dekat dengannya.

"Aa' itu suka naik motor, Neng. Lain kali neng Senja ajakin Aradhana momotoran, pasti dia seneng banget," ucap Elang memberi saran.

"Oh ya?" Senja menyahut dengan heran sampai Elang mengangguk.

"Jangan diajakin naik motor terus, nanti bisa masuk angin," pungkas bunda Kartiwi.

"Ah, Bunda mah gitu, Elang suka ngajakin Aa' malah dilarang-larang katanya nanti masuk angin," ujar Elang yang tengah menggerutu, membuat Senja dan yang lainnya mengulum senyum.

Aradhana kembali berlari di sekitar Senja, dengan sigap wanita itu pun berhasil menahannya dan mendekap dengan erat.

"Ahh, kena deh, mau ke mana sih anak Mama?" serunya dengan gemas.

Anak itu pun tertawa meski berontak ingin melepaskan diri dari Senja. "Nggak bakalan dilepasin, anak Mama yang lucu ini." Senja menciumnya beberapa kali di bagian wajah yang gembil serta sesekali menggelitiknya sampai Aradhana tertawa lepas.

Anak laki-laki itu pun merengek, memanggil teh Herlina dengan sebutan Mama.

"Ma .... " serunya, membuat yang lain mulai tertawa.

"Mau ke mana? Ini juga Mama loh," ucap Senja yang tak henti memberinya ciuman.

"Mau ke Ma ... ma," ucap Aradhana yang sudah semakin lancar berbicara.

"Mama yang mana?" Senja meledeknya, masih mendekapnya serta enggan untuk melepaskan meski anaknya terus merengek.

"Neng Senja, nanti si Aa' ngompol loh kalau dibercandain terus," seru teh Herlina.

"Mama .... " Aradhana kembali merengek.

"Muach ... muach ...." Senja mendaratkan beberapa kali kecupan sebelum akhirnya melepas Aradhana dari dekapannya.

Senyumnya sempat tertahan ketika anak itu berlari ke dalam pelukan kakak iparnya—teh Herlina. Jauh di lubuk hati, ia pun bersedih karena anak semata wayangnya belum mau menganggapnya sebagai ibu.

"Besok kita naik kuda, Aa' mau ikut nggak sama Abah?" seru abah Koswara pada Aradhana sampai anak itu mengangguk.

Aradhana pun kembali bermain bersama Syakiel, anaknya Shailendra yang sudah beranjak remaja. Senja memundurkan duduknya kemudian bersandar pada umi Rasti yang tengah merebahkan diri beralaskan tikar.

"Neng di sini saja, sama Bunda," pinta bunda Kartiwi.

Senja menurut lantaran ibunya hendak tertidur dengan pulas. Saat itu juga Elang bergegas menggantikan posisinya dan bersandar pada umi Rasti. Kebiasaan pemuda itu memang tidak berubah, sering gelendotan manja pada Abah dan Umi.

"Elang udah lulus, 'kan kuliahnya?" Senja merebahkan diri di pangkuan bunda Kartiwi, melihat Elang yang mengangguk.

"Udah, Neng, udah lama juga," sahutnya seraya sibuk mengunyah jagung bakar.

"Nggak kerasa, ya. udah jadi Sarjana aja," ujar Senja yang kini tampak termenung.

Ayah Pramudya mendekat dengan membawa beberapa jagung bakar yang sudah matang, lalu menyuguhkanya pada Abah serombongan.

"Sok, Bah, mangga!_" serunya.

"Elang mau ikut kerja ke Korea, nggak?" celoteh Senja.

"Nggak boleh, si bontot nggak boleh jauh-jauh," sahut bunda.

"Tuh, Neng denger sendiri 'kan, Bunda nggak ngebolehin terus," ucap Elang terdengar ketus.

"Neng Senja juga nggak boleh pergi lagi, iya 'kan, Bah?" seru Bunda.

"Muhun. Nggak boleh pokoknya," sahut Abah terdengar tegas.

"Iih ... enak, Bah, di sana gajinya gede," seru Senja.

"Lah, udah cukup, Neng. Kalau mau kerja di sini saja, kalau yang jauh-jauh Abah nggak akan mengizinkan," seru Abah.

"Mending Neng kuliah lagi, bagaimana?" saran ayah Pramudya.

"Nah bener, tuh. Kalau si Neng kuliah, Elang juga mau kuliah lagi, ngejar S2," seru Elang tampak antusias.

"Udah-udah, jangan banyak nyuruh ini itu ke si Neng. Mau kuliah mau kerja juga, mending nanti saja. Sekarang mending neng Senja makan yang banyak, Bunda mau masakin yang enak setiap hari. Tuh lihat, capek kerja, ya, badannya saja jadi kurus begini," papar Bunda yang selalu perhatian.

"Iih ... Bunda, aku malahan udah nyiapin lamaran lagi, mau melamar ke pabrik," ungkap Senja dengan serius.

"Ya ampun, bukannya diem dulu di rumah. Istirahat, badannya udah kurus begini juga," tukas Bunda sedang menggerutu.

"Segini mah nggak kurus atuh, Bund, si Neng udah mirip girl band. Jadi perawan lagi, ya, Neng?" Elang berceloteh disusul oleh tawa.

"Apaan sih." Senja memprotes dengan halus, kemudian mencubit paha Elang hingga si empunya mengaduh.

"Aduh, ahh ..." lirihnya.

"Rasain!" Senja mencibirnya, dan mereka pun saling tertawa.

"Terus, sekarang si Jay kerja nggak, Bund?" tanya Senja merasa penasaran pada kerabatnya itu lataran belum juga menikah.

"A' Jay udah kerja, udah lama dia di Bank," papar Elang.

"Wah ... enak dong, Jay? Betah nggak?" seru Senja.

"Butuh," sahut Jay seketika.

"Terus Elang, kerja apa?" tanya Senja.

"Elang masih pengagguran, kadang-kadang nyablon sama Lingga," ujar Elang.

Senja pun kini duduk di hadapannya. "Elang jadi guru honorer di sekolah SMA," ungkap bunda.

"Wah, yang bener, Bund?" sela Senja.

Elang pun mengagguk. "Coba kalau neng Senja dulu kuliah sama Elang, mungkin kita bisa jadi partner kerja," ucapnya.

Senja kemudian terdiam, mengingat masa lalu yang mengharuskannya memilih pernikahan bersama Arjuna daripada meneruskan pendidikan bersama dengan Elang. Walaupun demikian, ia tidak pernah menyesal atau pun kecewa atas jalan yang sudah ia pilih selama ini. Karena itu semua sudah menjadi suratan takdir dari Sang Maha Kuasa.

"Kita masih bisa jadi partner, kamu bermain musik dan aku yang bernyanyi," ujar Senja hingga mengukir senyuman.

Elang pun kini terdiam memandangi raut wajah Senja yang tengah berseri.

Senja pun beranjak, berlama-lama duduk membuatnya kesemutan. Ia menghampiri Jay dan memandang cara pria yang begitu telaten mengurus prosesi jagung bakar itu.

"Neng Senja belum kebagian, ya?" tanya Jay sambil mengipasi arang.

Senja hanya mengangguk, tak lama kemudian Jay memberinya satu jagung bakar.

"Jay, ada salam dari Widuri," ucap Senja terdengar lirih. Jay sontak menoleh, menatapnya dalam keheningan. "Awas, Jay, jagungnya nanti gosong," ucap Senja yang ingin mengalihkan suasana.

Senja dan Jay kemudian menjauh dari rombongan, duduk beralaskan matras di atas rumput. Menyambung kembali obrolan tentang Widuri yang sudah lama membuat Jay mati rasa.

Hampir 10 tahun, wanita itu tak memberi kabar dan hanya hampa tanpa temu atau pun sebuah harapan yang selalu Jay inginkan.

"Apakah kamu masih mencintainya, Jay?" Senja menatapnya, memberinya perhatian lebih agar Jay tidak lagi berpaling untuk menghindari pembahasan tentang perasaannya pada Widuri.

"Entahlah." Jay menggeleng secara perlahan.

"Apakah selama ini tidak ada wanita lain?" Senja hanya ingin memastikan bahwa pria itu tidak jatuh terlalu dalam.

Jay kemudian terpaku, selama ini hanya ada Widuri di relung hatinya bahkan untuk memikirkan wanita lain menjadi penggatinya saja ia tak mampu.

"Widuri sudah bahagia, tak sekalipun ia menyinggung tentang pernikahan denganku. Dia sangat sibuk dan aku harap, kamu tidak perlu sibuk untuk terus memikirkannya, Jay. Kamu boleh mencari wanita lain. Kamu berhak bahagia, Jay," ujar Senja yang berharap penuh agar kerabatnya itu bahagia.

"Neng Senja. Kenapa neng Senja bicara seperti itu?"

"Aku ini keluargamu, aku ingin kamu bahagia. Aku tahu kamu masih menginginkanya, tetapi dia tidak sekalipun memberimu harapan. Cukup, Jay. Kuharap kamu berhenti menggantungkan cintamu padanya. Widuri tidak akan berubah, ia akan tetap mengejar apa yang sudah berada di dalam list-nya selama ini. Dan tidak ada dirimu di sana, Jay." Jay kini terpaku dengan tatapan nanar.

"Maafkan aku, Jay. Aku tidak bermaksud menyakitimu," ucap Senja dengan sepenuh hati.

Penuturan Senja mungkin membuat Jay terluka, tetapi memang demikianlah kenyataan yang harus Jay terima. Meski pahit, ia akan mencoba untuk melupakan Widuri, entah sampai kapan ia bisa melewati masa patah hatinya ini. Senja merangkul salah satu lengannya, berusaha meyakinkan Jay Pramudya bahwa ia akan baik-baik saja tanpa adanya Widuri di hatinya.

"Jangan patah," ucap Senja.

"Neng Senja juga," sahut Jay hingga mengusap salah satu pipinya.

Senja pun mengangguk, memberinya sebuah senyuman yang begitu tulus. Jay meraih kedua tangan Senja dan meragkul jemarinya, menggenggamnya begitu erat sampai menghangatkan malam yang sepi.

Elang menghampiri keduanya, pemandangan itu membuatnya terpaku hingga menghadirkan pikiran lain di benaknya.


Jay Pramudya.

Jay Pramudya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Sagara Senja🌸Where stories live. Discover now