Part 6

7 4 0
                                    


Part 6

Senja menggeliat, terdengar suara riuh saat menjelang subuh. Merasa penasaran, ia pun lantas membuka gorden kamarnya. Mobil Sagara masih terparkir di depan pagar rumahnya.

Senja enggan keluar rumah, karena di sana ada Abah dan Shailendra yang sedang mengobrol bersama Saga.

Sebaiknya Senja bergegas mandi untuk kemudian menunaikan sholat Subuh.

Menjelang siang, saat Senja mengobrolkan perihal keinginannya untuk bekerja ke salah satu pabrik yang berada di Purwadadi. Ia kerap gelisah lantaran mengkhawatirkan kalau abah Koswara tidak akan memberinya izin untuk bekerja lagi.

Kedua orang tuanya membeberkan uang pengeluaran dari biaya membangun rumah yang Senja tempati sekarang ini, segala rincian hingga bon belanjaan material telah terkumpul dan diberikan pada Senja oleh abah Koswara.
Senja kemudian tercengang memperhatikan semua itu.

"Ini maksudnya apa sih, Bah?" Wanita itu merasa heran.

"Ini tuh laporan untuk neng Senja. Mungkin saja neng Senja mau tahu, ke mana uang neng Senja selama ini. Hasil jerih payah selama di Korea," ujar Abah sambil merapihkan rinciannya. "Ini semua Neng boleh periksa," sambung abah Koswara.

"Umi juga udah pakai uang neng Senja buat menggadai beberapa kotak sawah. Biar nanti hasil panennya buat neng Senja, supaya uangnya ada sisa," tutur Umi.

Senja semakin heran lantas menoleh ke sana ke mari memperhatikan kedua orang tuanya.

"Abah dan Umi kenapa, sih? Aku kerja buat nyenengin kalian, buat Aradhana juga makanya setiap bulan ngirim uang. Jujur sebenarnya aku kaget loh Umi, kok Abah dan Umi malah bikin rumah baru buat aku. Terus, selama ini Abah dan Umi nggak gunain uang dari aku?" tanya Senja menjadi hawatir kalau usahanya itu akan sia-sia karena tidak bisa membahagiakan orang tuanya.

"Alhamdulillah, Abah dan Umi juga menikmati hasil dari kerja keras neng Senja. Makasih, ya, Neneng cantik. Udah ngasih duit banyak setiap bulannya, jadi Abah dan Umi udah memutuskan kalau uangnya dibikinin rumah buat neng Senja pribadi," ujar Abah yang kemudian meminta pada istrinya untuk menunjukan buku tabungan.

"Ini sisa uang neng Senja," ujar Umi seraya memberikan buku tabungan itu.

Senja sontak berkaca-kaca ketika melihat nominal saldo di dalamnya.

"Masya Allah... abah dan Umi kenapa harus seperti ini, sih?"

Saldonya masih terbilang banyak, Senja merasa bersyukur karena mempunyai orang tua yang menjaga penuh hasil kerja kerasnya selama ini.

"Abah dan Umi juga mau minta maaf, kalau rumah yang dibangun nggak sesuai dengan selera neng Senja," ujar Abah.

Senja kemudian menggeleng dan menyeka air matanya yang menetes. "Itu udah cukup, Bah, lagian kalau terlalu gede nanti neng nggak mau. Takut dan capek juga bersihinnya," ucapnya yang kini merengek.

"Itu yang gambar denah rumahnya si Bontot," ungkap umi.

Senja pun sontak terpaku, pantas saja rumahnya minimalis dan terkesan elegan untuk seukuran rumah di perkampungan. Senja tak henti bersyukur dalam hati, karena bangunan berukuran 45 itu kini sudah dapat ia tempati meskipun kerap seorang diri.

Sigit dan istrinya tak sengaja mendengar obrolan itu dan kemudian ikut bergabung duduk di samping adiknya Senja.

"Neng, mau beli mobil nggak? Nanti Aa' temanin," tawar Sigit.

Senja tertegun. "A' Sigit dan Abah butuh mobil?"

"Yeeh, malah nanya ke kita lagi," seloroh Sigit merasa gemas pada adiknya itu.

"Abah dan Umi boleh pake sisa uangnya, terserah buat apa aja," ucap Senja.

"Iya, 'kan kita nanya, Neng mau mobil nggak?" tanya Sigit untuk kedua kalinya.

"Emangnya harga mobil berapa duit sih, A'?" tanya Senja dengan polosnya.

"Ya macam-macam, tinggal liat mau mobil seperti apa? Kalau seperti punya Arjuna itu harganya mahal banget," ujar Sigit yang keceplosan karena menyinggung mantan suami adiknya itu. Senja pun mengernyit di hadapannya.

"Eh, salah ngomong, ya?" cetus Sigit dengan datar.

"Udah nggak apa-apa, itu cuma masa lalu," sela Abah yang kini lebih bijaksana.

"Iya-iya, kalau mobil yang seperti si Saga, itu juga cakep, Neng," yukas Sigit.

Senja kini terpaku mendengar Sigit menyinggung Sagara.

"Ciiee ... ada yang main malah dianggurin," celetuk Sigit dengan sengaja menggoda adiknya.

Senja pun mengernyit. "A' Sigit, kenapa sih?"

"Neng, kalau ada yang bertamu harus disuruh masuk dong. Ini malah dianggurin saja di luar. Untung Abah dan Aa' meriksa ke luar, kirain siapa yang markir mobil di depan rumah neng Senja. Ternyata a' Saga," ujar Sigit dengan gelagat heran.

"Iya, Neng, lain kali nggak boleh gitu. Nggak sopan itu namanya," ucap Abah dengan halus.

Senja pun kini tertegun. "Suruh masuk, jangan dibiarin di luar, kasihan anak si Bambang," pungkas Abah.

"Iya, Neng minta maaf," gumam Senja.

"Udah minta maaf ke si Saga?" tanya Sigit.

"Buat apa?" bengong Senja.

"Karena udah membuatnya menunggu ciiee ... kayak judul lagu," seru Sigit dengan meledek. "Bah, si Saga kalau datang lagi, mending tangkap saja, Bah. Nikahin sama neng Senja," tuturnya.

"Apaan sih, orang cuma nganterin doang." Senja menjadi tidak nyaman karenanya.

"Haha ... si Aa' mah bisa saja," pungkas Abah, sampai mereka pun tertawa.

Sigit mengambil map berwarna coklat di samping Senja. "Neng, mau melamar ke mana? Mending ke pabrik Aa' aja, banyak lowongan," tukasnya.

Senja sontak sumringah. "Tuh, Abah, Umi. Neng mending kerja di tempat a' Sigit, ya? Di Cikarang, boleh, ya?" pintanya.

"Nggak boleh, Neng, jauh," tukas Umi. Abah pun mengangguk.

"Di Purwadadi saja yang dekat, selain itu mending diam di rumah. Buat apa kerja terus? Abah saja masih mampu ngasih duit buat neng Senja. Udah mending diam di rumah."

Senja kini cemberut. "Padahal di pabrik motor gajinya lumayan, Bah," gumamnya.

"Neng ... nggak boleh membantah," ucap Abah dengan lemah lembut.

"Yaudah sih, Neng, mending istirahat aja dulu di rumah, emangnya kenapa sih?" tukas Sigit.

"Bosan tahu, A'," sahut Senja.

"Galau, ya?" cetus Sigit sampai Senja berdecak dan berpaling darinya.

"Mending nikah lagi aja, Neng?" tawar Sigit, membuat Senja beranjak dari duduknya.

"Nggak mau!" ketusnya kemudian pergi meninggalkan ruangan itu.

Senja tidak ingin terpengaruh oleh ucapan kakaknya. Mumpung hari masih terang, sebaiknya ia bergegas untuk menemui temannya--Maya, karena sebelumnya mereka sudah membuat janji untuk membicarakan masalah lamaran ke pabrik.

Maya sendiri yang memberi rekomendasi pada Senja, wanita itu mengatakan bahwa di pabrik tempatnya bekerja sedang membuka banyak kowongan. Termasuk untuk mengisi bagian yang kosong di bagian yang Maya tempati.

Senja berpamitan pada Abah dan Umi, mereka pun meminta Senja agar berhati-hati. Sebelum berangkat, Senja mampir ke rumah Shailendra terlebih dulu, sekadar ingin melihat anaknya, Aradhana. Benar kata Elang, bahwa anak itu kerap menyukai jalan-jalan menggunakan motor. Melihat Senja dengan membawa motor, Aradhana pun ingin ikut serta bersamanya.

Senja merasa bahagia karena akhirnya Aradhana ingin bersamanya, hingga anak itu menangis lantaran dicegah oleh Shailendra karena mengingat Senja akan melakukan sebuah urusan.

Senja yang merasa tidak terbebani akhirnya mengajak serta Aradhana bersamanya, setelah teh Herlina membekali beberapa kebutuhan anak itu dalam tas kecil yang di diisi satu botol susu formula beserta camilan serta air mineral dan pakaian ganti, lengkap dengan tisu basah dan kering karena cuaca di luar cukup terik meski menjelang sore hari.

Untuk pertama kalinya Senja mengasuh anaknya tanpa bantuan orang lain. Sepanjang perjalanan, Senja terus berinteraksi dengan Aradhana, mengajaknya berbicara dan bertanya apakah anak itu menyukai pemandangan di sekitar. Aradhana pun sesekali mengangguk dan menjawab bahwa ia menyukai perjalanan itu.

Setelah mengendarai motor selama kurang dari satu jam, Senja akhirnya sampai di tempat tujuan.

Maya yang sudah menunggunya di Situ Citapen kini menyambut Senja dan Aradhana.
Maya juga mengajak kedua anak kembarnya, mereka perempuan berusia 7 tahun.

Untung saja Aradhana tidak rewel dan bersedia turun dari motor dengan melangkah bersama di samping ibunya, anak laki-laki itu tidak manja karena jarang ingin digendong. Senja patut bersyukur karena Teh Herlina dan Shailendra memang tidak pernah gagal mendidik anak.

Senja dan Maya saling berpelukan, merasa bahagia karena sudah sekian lama baru bertemu lagi.

"Senja, lu apa kabar? Kangen banget tahu!" seru Maya yang kini tampak meneteskan air mata.

"Aku baik, kamu sendiri gimana kabarnya, May? Anaknya cantik-cantik lagi," ucap Senja yang juga berkaca-kaca.

Kedua anak kembar itu kini bergantian menyalami Senja dan menyapanya dengan penuh sopan santun.

"Ini anak kamu?" seru Maya sambil mengulurkan tangan bagusnya pada Aradhana, hingga anak itu sontak meraihnya untuk sun tangan.

Senja mengangguk. "Mirip banget sama bapaknya, ganteng, ya, seperti papa Juna," ujar Maya sambil mengajak Aradhana bercanda hingga anak itu tersenyum sumringah.

"Aa' seneng, ya, disebut mirip Papa?" celoteh Senja sambil mengulum bibir.

Mereka pun bersantai di salah satu warung di pinggir Situ Citapen, Situ yang menyimpan banyak kenangan bagi Senja dan Arjuna.

Senja mengingat betul bagaimana dulu ia dan mantan suaminya hang out bersama untuk pertama kali, mereka makan bakso di salah satu kedai di pinggiran Situ.

Mereka pun membicarakan masalah pekerjaan, sesuai yang sudah direncanakan sebelumnya. Senja menyerahkan berkas lampiran identitas dirinya kepada Maya.

"Ini udah lengkap, 'kan? Kalau begitu, besok lu udah bisa datang ke pabrik. Jam 9, ya, soalnya aku udah rekomendasiin ke pihak personalia," ujar Maya sambil merapihkan kembali berkasnya.

"Jangan-jangan nanti aku disuruh menjahit? Aku nggak bisa jahit," ucap Senja terlihat ragu.

"Nggak, tenang saja. Aku udah minta supaya lu jadi Admin aja, soalnya admin lama kabur," ujar Maya.

"Kok kabur sih?" sela Senja.

"Nggak tahu, nggak betah kali. Maklum di pabrik, 'kan, orangnya pada galak-galak," papar Maya yang memberi sedikit gambaran situasi di dalam pabrik tempatnya bekerja. "Udah lu jangan dipikirin, nggak semuanya kok begitu," sambungnya.

Senja mengangguk, ia tidak begitu peduli dengan sikap orang lain terhadapnya karena ia percaya pada ilmu tanam tuai. Bahwa apa yamg ditanam maka itu yang akan dihasilkan.

"Ngomong-ngomong bagaimana kabar Widuri?" tanya Maya.

"Dia baik-baik saja, tambah sukses di sana," ujar Senja.

"Lu tambah bening aja, Senja, makin cantik sekarang langsing gitu. Apalagi si Widuri, makin putih aja mungkin?" sambung Maya.

Senja mengangguk sambil menyedot teh botol. "Si Widuri makin uwow pokoknya, kemana-mana bawa kamera udah mirip wartawan dia tuh," tutur Senja.

"Dia belum nikah juga, ya, sampe sekarang?" celetuk Maya hingga Senja mengangguk.

"Aku kira bakalan jadi sama kerabat lu, si Jay," ucap Maya.

Senja lantas terdiam merasa enggan untuk menyambung pembicaraan itu. Mereka sedang menikmati waktu temu yang santai. Tiba-tiba satu motor berhenti membuat Aradhana yang tadinya anteng kini beranjak hendak berlari ke arah pengunjung yang baru saja sampai.

"Aradhana, mau ke mana, Nak?" Senja merasa heran dan bergegas mengikutinya.

"Aradhana!" Seruan itu membuat Senja terpaku.

Ia tidak menyangka bahwa Arjuna akan ke tempat itu. Rupanya Aradhana sudah mengenal betul siapa ayahnya, sampai anak itu menghampiri dengan antusias meski Arjuna belum singgah seutuhnya.

Arjuna pun menggendong anaknya dan memandang Senja yang kini mematung di hadapan, Maya pun menyapa Arjuna walau merasa canggung.

"Kalian sudah lama di sini?" sapa Arjuna.

"Iya, ini kita bentar lagi udah mau balik," seru Maya.

Senja menoleh pada Maya, kemudian menoleh pada Arjuna yang memberinya tatapan intens.

"Aa', sedang apa di sini? Aa', sedang main sama Mama?" ucap Arjuna pada Aradhana.

"Aa' mainnya ke rumah papa, yuk! Papa punya banyak mainan," tuturnya.

Senja hanya terdiam tidak dapat mencegah ataupun melarang Arjuna untuk berinteraksi dengan anaknya.

Arjuna pun duduk dengan membiarkan Aradhana di pangkuannya, menoleh pada Senja dan memintanya untuk duduk di sampingnya. Namun, Senja kini duduk di sebrang meja yang menjadi penghalang mereka.

Sagara Senja🌸Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang