Sagara Senja 11

15 5 0
                                    


Part 11


Perseteruannya dengan Sagara membuat Senja ingin pulang lebih awal. Bukannya tidak profesional dalam bekerja, tetapi pusing di kepalanya kerap melanda akibat hati dan pikiran yang terusik oleh candaan Sagara dan kawan-kawannya.

Beruntungnya si Senja yang langsung ditawari cuti oleh pihak personalia, lantaran ia memang belum mengambil cuti tahunan selama bekerja dalam kurun waktu satu tahun lebih. Hal itu akan ia pergunakan sebaik mungkin, untuk menikmati waktu libur kurang lebih dari satu minggu lamanya.

Si tsundere yang kerap kebingungan mencari keberadaan Senja yang tidak ia temui di manapun, bahkan ketika waktu makan siang hingga akhirnya menanyakan Senja pada Maya.

"Senja udah pulang lebih awal, waktu mau istirahat tadi dia hampir muntah katanya lambungnya kumat," ujar Maya.

"Lambungnya kumat?" sela Saga terlihat heran.

"Iya, makanya jangan suka nyakitin neng Senja nanti kepikiran lambungnya kumat lagi loh," ucap Maya sedikit ketus.

"May, emangnya neng Senja ngomong apa sama kamu?" tanya Saga ingin mendengar lebih jelas.

Maya kemudian mendelik dan menatap pada Saga. "Pak, kalau bercanda tuh lihat tempat dong, lihat situasi. Kenapa juga harus bercandain neng Senja? Mentang-mentang dia janda anak satu, bukan berarti bisa dibercandain begitu aja, dong. Coba pikirin bagaimana perasaannya? Dia itu teman aku!" cecarnya dengan menggerutu.

Sagara bergegas pergi tanpa mendengarkan lebih lanjut ucapan Maya padanya.

"Yeeh ... dasar si kulkas!" seru Maya melemparkan umpatan pada Saga yang kini sudah berlari menjauh dari pandangannya.

Saga mencoba menghubungi Senja beberapa kali, tetapi nomor yang dihubungi sedang tidak aktif.

Hari ini hati dan pikirannya kembali terganggu, tidak tenang memikirkan tentang Senja. Sagara memutuskan untuk tidak lembur demi menghampiri Senja ke rumahnya.

Di rumah, Senja sedang terbaring di atas kasurnya. Sehabis maghrib tadi ia langsung meminum obat sakit kepala yang membuatnya sedikit lebih baik, sampai ia ingin beristirahat dengan tenang. Untung saja besok sampai beberapa hari ke depan ia sudah mengambil cuti tahunan, sehingga bisa lebih santai dalam menjalani hari-hari.

Umi Rasti memintanya untuk memeriksakan diri ke dokter, tetapi Senja enggan menuruti. Khawatir kondisi Senja semakin menjadi, Umi berinisiatif menghubungi bunda Kartiwi agar keluarga itu dapat membujuk Senja.

Menjelang Isya', seruan salam terdengar disertai ketukan pintu.

"Assalamualaikum."

"Walaikumsalam." Umi Rasti bergegas meninggalkan Senja di kamarnya untuk melihat siapa gerangan yang bertamu malam-malam begini.

"Siapa Umi?" seru Senja terdengar lirih.

Ia kemudian bangun dan meraih minyak angin roll on untuk memijat keningnya.

"Neng, ada A' Saga di luar, sekarang sedang duduk di ruang TV katanya mau nengokin neng Senja," ujar Umi yang kini berdiri dekat pintu kamar.

"Malam-malam begini, Umi?" Senja kian terpaku memikirkan si tsundere yang satu itu.

"Temuin, gih, kasihan orang jauh-jauh datang ke mari," pinta umi sampai Senja mengangguk.

Senja terpaksa harus menemui Sagara, meskipun sebenarnya ia sama sekali tidak ingin bertatap muka dengannya. Kesal dan marah apabila mengingat guyonannya ketika di pabrik bersama dengan anggotanya yang lain.

Sagara kini tertegun ketika melihat Senja menghampirinya, raut pucat disertai bau minyak angin mengiringi kehadirannya.

"Mau ngapain ke sini?" tanya Senja dengan ketus, tetapi atensinya teralihkan oleh penampilan Sagara malam ini. Begitu rapih dan mengagumkan.

Sagara beranjak dari duduknya untuk memastikan apakah Senja benar-benar sakit atau tidak. Ia tercengang lantaran merasakan hawa panas saat menyentuh keningnya, meski si empunya hendak menghindar.

"Neng Senja, beneran sakit?" Senja menepis tangan Sagara lalu menjauh dari hadapannya.

"Emang ada, ya yang sakit bohongan?" sahutnya masih terdengar ketus.

Saga termangu memandang ke arahnya. "Waktu di pabrik, itu cuma bercanda!" pungkasnya.

Saga tidak peduli seberapa marahnya Senja padanya, yang penting ia ingin memastikan bahwa Senja baik-baik saja. Walaupun pada kenyataannya wanita itu kini sakit dikarenakan ucapan Sagara yang sudah menyinggung hatinya.

"Udah bercandanya?" celetuk Senja dengan menatap nanar. "Kalau udah silahkan pergi!" tukasnya.

Ucapan Senja mungkin sederhana, tetapi mampu membuat Saga terkesiap dan terpaku.

"Aku tahu, neng Senja sakit hati oleh candaan kita tapi itu benar-benar nggak sengaja. Itu cuma bercanda!" ujar Sagara mencoba menjelaskan soal candaan itu.

Senja mengatup bibir, otaknya sedang berpikir kenapa ia harus menjadi sesakit itu menanggapi guyonan yang ada. Lalu untuk apa pula ia harus terbebani dengan status janda anak satu yang memang demikian faktanya.

"Iya, udah, bercanda atau pun tidak, aku nggak peduli dan mending sekarang kamu pergi dari sini!" tukasnya.

Saga tercengang, ia tidak bisa pulang begitu saja tanpa menyelesaikan masalahnya hari ini.

"Ini sudah malam, aku mau istirahat," sambung Senja membuat Saga berpaling karena merasa terusir.

Umi Rasti menghampiri keduanya. "Neng Senja, kok tamunya nggak ditawarin minum?" serunya.

Senja sontak menoleh. "Nggak usah, Mi, A' Saga udah mau pulang," sahutnya.

"Loh, baru aja datang?" seloroh Umi.

"Ini udah malam, Mi!" tukas Senja.

"Ya, setidaknya tunggu sampai habis adzan Isya'," tukas Umi sampai menoleh ke sana ke mari memperhatikan Senja dan Sagara.

"Aa', mau minum apa?" Umi menawari dengan lemah lembut.

"Teh manis hangat aja, Mi," sahut Sagara tanpa canggung, Senja pun tampak berpaling.

Umi mengangguk. "Tunggu sebentar, ya, Umi buatin!"

"Aku aja, Mi!" sela Senja sampai umi menghentikan langkahnya, Senja melangkah mendahuluinya.

"Loh, neng, 'kan, sedang nggak enak badan?" ucap Umi.

"Udah baikan Mi, tadi 'kan udah minum obat," papar Senja.

Wanita itu membuatkan minuman yang Saga minta dan membawakannya tepat ke atas meja.

"Yaudah, Umi pulang dulu, ya. Mau nyiapin baju buat Abah, kita mau ke rumah a' Sigit," ujar Umi.

Senja mengangguk. "Salam buat a' Sigit, ya, Mi!" pesannya.

Umi Rasti sudah keluar dari rumah Senja. Sagara meraih secawan teh hangatnya dan mulai meneguknya secara perlahan.

"Hm ... manisnya pas, seperti yang membuatnya," celetuknya, sengaja ingin mencairkan suasana.

Senja kian berpaling seolah enggan menanggapi.

"Neng Senja, udah makan?"

"Udah!" sahutnya dengan ketus.

Saga tersenyum simpul, mungkin wanita itu memang sedang marah terhadapnya tetapi mulutnya masih bisa bersuara membuat Saga masih bisa mengembangkan senyuman.

"Udah minum obat?"

"Udah!" sahut Senja dengan singkat.

"Kok, Aa' telepon nggak aktif, kenapa?" Senja mengernyit memandangnya.

"Emangnya ada ya orang marah mau jawab telepon?" tuturnya.

Saga tercengang kemudian mengulum senyuman, Senja kemudian beranjak dari duduknya.

"Jujur, aku marah, kesal, malu, karena kamu!" ujarnya dengan melempar tatapan nanar.

Saga beranjak menghampiri ke hadapan Senja. "Iya maaf, Aa' cuma bercanda, Aa' janji nggak lagi-lagi deh bercanda seperti itu!" Senja mendelik menatapnya, kemudian berpaling.

Perlahan Saga menyentuh salah satu lengan Senja dan membujuknya agar tidak marah. "Neng Senja, udah dong jangan marah terus nanti lambungnya kumat," tukasnya.

"Aku nggak punya penyakit lambung!" tukas Senja sambil menepis, tetapi Saga masih setia di sampingnya.

"Tadi siang kata si Maya, neng Senja mau muntah karena lambungnya kumat?" ujar Saga dengan raut datar.

"Idiih, siapa juga yang mau muntah?" Senja ketus tanpa menoleh sedikit pun, membuat Saga mengulum senyuman karena sikapnya.

"Jadi, si Maya bohong dong?"

Senja mengernyit. "Dia mah emang sering bohong, sering baperin orang juga jadi jangan mudah percaya!" ujarnya.

Saga mengukir senyuman untuk kesekian kalinya, sikap Senja yang demikianlah yang membuatnya tidak dapat berpaling ke lain hati. Meskipun dalam keadaan marah, tetapi Senja masih bisa diajak bicara.

Sagara lebih mendekatkan diri ke samping Senja, dengan perlahan ia pun mengusap surainya, mengabaikan bau minyak angin yang menyeruak di hidungnya. Senja kian menatapnya sampai maniknya bertemu dengan manik Sagara yang mampu membuatnya seakan tenggelam dan terpaku dalam suasana.

Sagara mendekatkan wajahnya hingga mampu menghadirkan debaran di dada.

"Maafin aku, ya!" ucapnya begitu lembut.

Senja tak menjawabnya sehingga Sagara mencium keningnya.

"Aku serius cinta sama kamu, neng Senja!" tukas Saga hingga menatap di keheningan.

Sekali lagi Senja termangu di kedalaman tatapan mata Saga yang syahdu, rasanya ingin tenggelam untuk melabuhkan segala kegelisahan yang ada selama ini. Jemarinya yang kokoh kini mulai meraba, seakan mendikte bagian wajah manisnya Senja membuat wanita itu ingin terlena saja dibuai asmara olehnya.

"Jangan marah lagi, ya. Maafin aku, janji nggak akan bercanda seperti itu lagi!" ucap Saga yang masih setia menatapnya sampai Senja mengangguk melabuhkan diri ke dalam pelukannya.

Rasanya begitu nyaman, mampu meniadakan kegelisahan yang selama ini membelenggu di dalam hati.

Pelukannya erat, merengkuh, menelusup hingga mengecup ceruk leher Senja sampai meremang tak mampu menolak.

Jantungnya semakin berdebar, kedua mata yang saling terpejam mampu mencari arti dari tiap titik melalui sentuhan. Ingin mencairkan bongkahan rindu dan tenggelam dalam indahnya peraduan tatkala hasrat kian menggebu.

Sagara terengah, tidak ingin lagi gegabah yang nantinya hanya akan membawanya pada amarah Senja meskipun hasratnya saat ini sama panasnya.

"Tadi, Mamah nitip makanan buat neng Senja," gumam Saga yang tengah menahan diri dari panasnya hasrat yang ada.

Senja demikian mengangguk, merasakan hal yang sama pada Sagara.

Dahaga itu semakin mengeringkan tenggorokan, rasanya benar-benar panas tak sanggup untuk ditahan lagi. Saga mengecup Senja, menyatukan bibirnya dalam pagutan yang penuh gairah. Saling merengkuh, merangkul benih-benih cinta yang kian tumbuh. Bibir, hingga dagu tak luput dari lumatan, meremat seolah ingin menguhancurkan hasrat yang hanya percuma, semakin bersarang tenggelam dalam dekapan yang makin menjadi.

Saga mengangkat tubuh mungil itu hingga duduk di atas meja, memudahkannya untuk mencecar membuahkan nikmat.

"Ada Umi, ada Umi," gumam Senja seakan sakau dalam sentuhan.

"Biarkan Umi tahu," gumam Saga kian terengah menjajak nikmat yang ingin semakin dituntaskan.

Kemudian bergerak ke bawah mengecapkan bunga-bunga cinta yang mampu membawa Senja terbang bagaikan kupu-kupu di udara, meski hanya mengandalkan bibir yang terus menyapu hingga menyentuh kedua dada yang ranum pada puncaknya, tetapi masih terbalut oleh bra dengan beberapa kancing yang terbuka.

Senja mengerjapkan mata, belum menghendaki tubuhnya dinikmati oleh Sagara hingga melawan semua hasrat yang menerpa. Duduk di atas meja hingga kedua kakinya menggantung ke lantai.

"A' Saga." Suaranya tertahan, tengah mengusir segala rasa yang ada.

Saga mengerti bahwa Senja belum sepenuhnya percaya untuk dapat menyerahkan diri seutuhnya, apalagi tanpa ikatan yang resmi.

Saga menghela napas beratnya, kemudian berpaling untuk meraih teh manis yang masih hangat dan meneguknya secara perlahan. Ia memberikan teh hangat itu pada Senja, sampai Senja juga meneguknya.

Saga mengembalikan secangkir teh itu ke atas meja, lalu kembali meraup bibir Senja yang basah hingga sisa teh manis menimbulkan rasa yang semakin membuatnya dimabuk asmara.

"Heugh!" Saga merengkuhnya, seakan ingin memerasnya seperti pakaian. "Aku bisa gila, neng Senja!" gumamnya dengan berbisik pada rungu.

Siapa yang tidak akan gila bila berada dalam dekapan memabukan seperti saat ini? Senja hanyalah wanita biasa, meski berusaha keras menolak nyatanya ia tenggelam jua.

"Ini udah malam, cepat pulang!" Senja pun turun dari atas meja.

"Kita nikah, yuk!" ucap Saga.

"Nanti." Senja mulai menjauh.

"Kapan?"

"Nanti!"

Sagara mengulum bibir melihat Senja yang terus menjauhinya, merasa kesal ia pun bergegas mendekat dan mencekal tengkuk lehernya.

"Ah!"

Senja menengadah menahan cekalan Sagara. "Kapan? Mengapa harus mengulur waktu?" tanya Saga dengan tatapan intens.

"Aku belum siap," ucap Senja, menimbulkan rasa gemas yang membumbung tinggi pada Saga.

Hingga ia meraup kembali bibirnya sampai tertarik, Senja tak peduli dan memilih pasrah.

"Kamu harus ingat ini, tidak akan ada laki-laki yang menikahimu kecuali aku!" tukas Saga kemudian menjauh.

Senja mengusap wajah seraya menghela napas. "Memangnya kamu pikir, aku mau menikah sama orang lain? Huhh!" Ia menyeringai.

"Maksudnya?" Saga bengong memandangnya.

"Setelah apa yang kamu lakukan malam ini? Kamu pikir aku akan melepaskanmu begitu saja?" cecar Senja dengan seringai yang sama.

Sagara tampak ber-smirk, mengulum bibir menunjukan tatapannya yang tajam.

"Kalau begitu, Aa' mau ngomong ke Abah dan Umi buat melamar neng Senja malam ini juga?"

"Nggak!"

"Kenapa?"

"Abah dan Umi, 'kan udah berangkat ke rumah A' Sigit," ujar Senja.

"Wah, kalau begitu kebetulan sekali, dong." Saga berceloteh hingga menunjukan raut wajah yang sulit diartikan.

"Kenapa, ya?" Senja mengernyit.

"Aa' nginep, ya?" Saga mendekat pada Senja.

"Hmm, tidak semudah itu, ya, pak Saga!" ketus Senja diiringi seringai.

Sagara lantas mendekap pinggang Senja yang ramping. "Jangan macam-macam, ya!" Senja mendorong Sagara hingga terduduk di kursi.

"Udah pulang sana!"

"Nggak mau! Mau menginap, mau ngelanjutin yang tadi, habis itu baru pulang," ujar Saga dengan lebih menantang.

"Jangan kurang ajar, deh!" Senja menatapnya dengan intens.

Sagara melemparkan senyuman, kembali mendekap Senja dengan lebih erat.

"Ayo, kita ulangi yang tadi?" pintanya hingga menatap nakal.

"Iih, awas, ah, jangan menggoda terus!" Senja ingin menghindar, tetapi Saga tidak sedikit pun memberinya ruang.

Pria itu kembali mencumbunya, membisikan beberapa kata nakal yang lebih menantang.

"Neng Senja, Aa' berani ngelakuin itu malam ini," ucapnya terdengar seduktif, "hisap?" Bisiknya seraya membujuk.

Senja benar-benar hampir tenggelam di tengah kesempatan bersama heningnya malam.

Pria itu melepas rengkuhannya dan bergegas pergi ke kamar mandi untuk membuang syahwat, membuat Senja tak henti tertawa.


Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Sagara Senja🌸Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang