3. Mencari Harta Karun

36 9 7
                                    

“Sehari doang, sumpah, deh. Lusa bakal gue balikin.”

Dengan wajah memelas dan suara yang direndahkan, Ben terus mengiba dan memohon agar dibolehkan memakai mobil Gia selama satu hari. Sungguh, tidak ada orang yang bisa Ben mintai tolong lagi kecuali Gia. Satu-satunya orang yang paling bisa Ben andalkan sejak duduk di bangku kuliah hanya lah Gia. Meski sebenarnya ada banyak teman lain yang lebih dekat, entah mengapa Ben merasa bahwa dirinya lebih cocok dan yakin pada gadis berambut hitam lurus sepunggung itu.

Jika ditarik garis lurus sejak masih di bangku sekolah, Ben memiliki ratusan teman yang dekat dengannya. Bahkan, hanya berbekal sebungkus rokok, dia bisa mengenal dekat seorang tukang becak atau penjual siomay yang kebetulan bertemu dengannya. Ben seolah memiliki magnet tersendiri yang mampu menyerap atensi orang-orang, karisma dan cara bicaranya yang santai tetapi tegas mampu membius setiap mata yang berhadapan dengannya. Sama halnya dengan Gia, sekuat hati dia menolak, semakin kencang pula Ben melontarkan kalimat-kalimat manisnya.

“Enggak! Gue bilang gak bisa, ya, gak bisa, Benny!” sergah Gia cepat, Ben buru-buru menyenggol lengan Gia dan memintanya untuk diam.

“Jangan panggil gue Benny!”  serunya yang langsung disambut tawa kencang Gia. “Gue servis sekalian, deh, mobil lo. Jadi, lo tinggal pake buat keliling Jawa.”

Meski di hati kecil Gia merasa tidak enak dan kasihan, tetapi dia juga memerlukan mobilnya untuk keperluan pribadi. Kali ini Gia akan melakukan servis penuh pada mesinnya, sehingga memerlukan waktu lama, sementara Gia juga harus segera menentukan rencana berkeliling dan melaju ke langkah selanjutnya. Maka, Gia dengan segera menggeleng, melipat kedua tangan di depan dada. “Sori banget, tapi sekali enggak, ya, enggak. Sana lo pinjem mobil Kania, Sinta, Arum, Puspa, atau siapa lagi, tuh, yang jadi korban rayuan lo dulu?”

“Gue gak ngerayu mereka. Mereka yang jatuh cinta sama pesona seorang Ben,” ujar Ben, merapikan kerahnya dan tersenyum miring pada Gia.

“Pede banget. Udah sana balik, pokoknya gue gak mau minjemin mobil buat sekarang,” tampik Gia, mendorong tubuh Ben agar segera bangkit dari sofa.

Ben menghela napas, menandaskan kopi hitamnya dan melumat puntung rokok di asbak. “Ya elah, Gi, sama temen sendiri. Ya udah, gue cabut dulu.” Tanpa kembali bersuara, Ben langsung berpamitan dan melangkahkan kaki dari rumah Gia, suara deru mesin motor terdengar kemudian.

Sebenernya, Gia merasa tidak enak karena harus menolak, tetapi apa boleh buat? Dia khawatir jika Ben akan tersinggung dan tidak mau berteman kembali dengannya, kalau-kalau ada salah kata yang terlontar dari lidah. Ah, tapi mengingat sifat Ben, Gia mencoba meyakinkan diri bahwa lelaki itu akan baik-baik saja. Gia mengangkat bahu, merapikan cangkir dan membawanya ke dapur. Urusan video masih belum selesai, jadwal unggah konten terbaru semakin dekat.

***

Makanan favorit sejuta umat adalah martabak telur. Tidak bisa dipungkiri, dia bisa dijadikan jajanan menonton atau bisa juga dijadikan sebagai lauk makan ketika lapar. Martabak telur menjadi makanan paling fleksibel yang menempati peringkat atas daftar makanan paling sedap dan cocok di lidah seorang Diajeng Gatari. Seperti sekarang, sepiring martabak telur sudah bertengger di atas meja, ditemani dengan segelas teh hangat yang masih mengepul uapnya. Di sebelah martabak, ada banyak kertas berserakan dengan laptop menyala di sisi kiri.

Mulut Gia terus mengunyah martabak dengan khidmat, sementara tangan kirinya yang tidak kotor tengah sibuk menggerayangi laptop, mencari rekomendasi kota yang akan dia tempuh hingga ujung timur Jawa. Tekadnya sudah bulat, meski ide yang tercetus tadi pagi adalah ide spontan yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya, tetapi Gia sudah sangat yakin akan mengeksekusinya menjadi sebuah proyek besar konten terbaru di Teras Rasa.

Teras Rasa | [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang