4. Laksa Bogor Mang Idin

32 4 3
                                    

Menjadi seorang narablog dengan jutaan pengikut memaksa Gia untuk mengekspos seluruh kehidupan pribadinya. Hampir setiap jengkal gaya hidup dan juga waktu yang dimiliki semuanya terpampang jelas layaknya spanduk calon legislatif yang berjejer di tepi jalan; banyak orang yang melihat. Padahal, Gia sama sekali tidak memberi tahu mengenai rute atau kota yang akan dia jalani, tetapi kenapa Ben seolah bisa tahu jika Bandung adalah salah satu kota destinasi yang dikunjungi?

Sotoy, kapan gue bilang kalau mau ke Bandung?” Gia mengemasi tas yang diangsurkan dari Felis, matanya menyipit, berkedut saat bersipandang dengan sepasang mata bulat milik Ben yang begitu sempurna. Buru-buru Gia membuang pandangan ke arah lain.

Sementara Ben, tanpa tedeng aling-aling meletakkan tasnya ke dalam bagasi Gia yang terbuka, dengan santai, dia masuk ke kursi depan dan duduk dengan seberkas senyum lebar yang terpasang di bibirnya. “Udah, gue ngerti kalau lo bakal ke Bandung, mana mungkin keliling Pulau Jawa tanpa lewatin Bumi Pasundan?”

Sebal sekali, ingin rasanya Gia menjitak dahi Ben hingga menciptakan bekas merah yang permanen di sana. Sejak masih duduk di bangku perkuliahan, sifat Ben yang selalu percaya diri berlebih—dan jatuhnya menjadi narsis—tidak pernah sirna. Memang, dibanding Ben, Gia tidak ada apa-apanya soal rasa percaya diri tinggi, tetapi tidak perlu juga sampai menjadi menyebalkan seperti itu! Gia menarik napas panjang, memejamkan matanya, kemudian menoleh ke arah Felis dan Dodit, kedua krunya itu sudah saling berbisik dan melempar pandangan tidak suka pada Ben.

“Emangnya sepenting itu urusan lo sampai harus kek gini?” tanya Gia.

Ben memiringkan badannya, melongok ke pintu samping kursi kemudi tempat Gia berdiri. “Please, Gi. Bantuin gue, ini urusan yang harus gue kelarin. Sebagai permintaan terima kasih juga, gue bakal jadi sopir pribadi sampai ke Bandung. Anak buah lo gak ikutan, kan? Bahaya, Gi, kalau cewek nyetir mobil sendirian, mending ditemenin sama ayang Ben.” Alis Ben dinaik-turunkan, senyumnya semakin lebar. “Buruan naik, nanti kesorean!”

“Ayang-ayang, pala lo peyang!” Gia menoleh pada Felis dan Dodit yang menggeleng, tetapi apa boleh buat? Benar juga kata Ben, setidaknya Gia juga tidak harus merasakan lelah menyetir mobil sendirian sampai Bandung. “Oke, tapi dengan syarat, lo full nyetir dari Jakarta sampai ke Bandung. Sampai di Bandung, kita pisah. Selama itu juga, lo harus mau jadi kameramen selama gue ulas makanan, deal?”

Deal! Pokoknya aman!” Setelah berpamitan dengan Felis dan Dodit, Gia masuk ke dalam mobil miliknya. Agya tersebut mundur dan berjalan meninggalkan perumahan yang tampak lengang. “Akhirnya gue bisa bulan madu sama Gatari,” seloroh Ben asal yang kemudian disambut sebuah tinju melayang di lengan kirinya.

***

Salah satu yang paling membekas di ingatan Gia tentang Bogor adalah kota dengan curah hujan yang cukup tinggi di Pulau Jawa. Udara dingin di bawah kaki Gunung Pangrango menjadikan kota ini sebagai destinasi wisata penuh cinta yang digemari keluarga untuk menghabiskan waktu libur mereka. Masih jelas di relung ingatan Gia saat keluarganya berlibur di salah satu vila di daerah Puncak, Bogor. Kala itu musim liburan akhir tahun yang membuat antrean kendaraan membludak seperti ular yang menjalar di aspal jalan yang panas.

Meski udara dingin Bogor begitu kental menusuk kulit, tetapi menghadapi kemacetan yang tidak kunjung terurai membuat Gia sedikit stres. Untung saja papa melayangkan guyonan receh khas bapak-bapak yang menarik tawa seluruh penumpang mobil, sehingga Gia tidak sampai mati kebosanan menunggu gilirannya maju melintasi kemacetan. Sesampainya di vila, papa langsung memboyong keluarganya ke salah satu daerah di Ciawi, tepatnya di Gang Ciroyom, untuk menikmati semangkuk laksa bogor panas yang menghangatkan tubuh.

Ketika Felis menyarankan laksa bogor sebagai makanan pertama yang harus Gia cicipi, dia teringat dengan Laksa Bogor Mang Idin yang ada di Gang Ciroyom itu. Bahkan, ketika mengecek respons dari pengikutnya, tak sedikit yang menyarankan untuk mencicipi laksa bogor di sana. Berarti, papa memang tidak salah dalam memilih tempat makan, lidah orang lain tampaknya setuju.

Teras Rasa | [ON GOING]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora