[1] Disappointed

1.3K 110 4
                                    

Insiden penyelamatan sang sulung dua minggu lalu membuat enam penghuni rumah sederhana sedikit mengalami trauma, terutama penghuni bernomor urut enam.

Hilangnya Halilintar membuat Rimba mau tidak mau harus menyelamatkan sang kakak. Ia berhasil, tetapi tidak dengan dirinya. Ada sesuatu yang ia sembunyikan. Sebuah luka yang cukup parah di tangan kanannya membuat dirinya sulit melakukan aktivitas, tetapi ia tidak ingin saudara-saudaranya mengetahui luka itu. Sang master pun juga mengalami sakit yang sama, untungnya tidak se-sakit dirinya. Lebih baik begitu — batinnya.

Kini, ia terduduk di samping jendela dan dagunya bertumpu pada bantal berbentuk bunga matahari — Solar yang memberinya sebagai hadiah karena tahap duanya dahulu pernah membantu sang adik untuk melakukan eksperimen. Cuaca sore ini sangat hangat, angin sepoi-sepoi menggerakkan rambut hijaunya yang bentuknya tidak jauh berbeda dengan daun pandan. Kaos berlengan panjang berwarna matcha dan celana panjang berwarna hitam membaluti tubuhnya.

Semenjak Duri bertransformasi ke tahap tiga, Rimba mempunyai kebiasaan menikmati waktu dengan sendirian di sore hari. Biasanya Duri selalu bermain dengan Blaze di luar rumah, tetapi sekarang ia tidak pernah melakukan itu. Mungkin karena sudah menaiki level, Rimba berpikir jika ia harus sedikit lebih dewasa.

Matanya sedikit sayu saat ini karena angin yang bertiupan kesana kemari tanpa arah membuatnya sedikit mengantuk. Terlebih lagi, ia sudah mandi, rasanya sangat menyegarkan.

Ketika hendak menghampiri mimpinya yang menyapanya, pemuda bermata sebiru permata membuka pintu kamarnya, "Rimba?"

Pandangannya teralih menatap Ice diujung pintu, ia belum bergerak dari duduknya, "ada apa, Abang Ice?"

"Kak Gempa baru saja memasakkan mac n cheese, Rimba tidak ingin turun?"

Rimba memikirkannya sekitar tiga detik lalu menggeleng, "Rimba akan turun nanti saja."

Balasan Rimba membuat Ice mengkerutkan keningnya, biasanya Duri akan langsung bergegas dan menyambar semua makanan yang ada, tetapi tahap tiga dari adiknya ini agak berbeda, "kenapa? Bukankah Rimba menyukai keju?"

Rimba tertawa kecil lalu mengangguk, "bukan hanya suka, Rimba sangat mencintai keju."

"Lalu, mengapa? Rimba sudah kenyang, kah?"

"Tidak, abang, Rimba hanya tidak dalam suasana ingin makan saat ini."

Sungguh, Ice keheranan, ia ingin menanyakan ada sesuatu hal yang terjadi dengan Rimba. Namun, ia mengurungkan niatnya dan lebih memilih untuk menahan rasa penasaran di hatinya, ia tidak ingin menyinggung sang adik, "ya, sudah, kalau begitu. Abang akan meminta kepada Kak Gempa agar menyisakan makanannya untuk Rimba."

"Terima kasih, Abang Ice," senyuman lembut terukir di wajahnya ketika Ice menutup pintu kamarnya kembali dan menghilang dari pandangannya.

Sejujurnya Rimba sangat ingin makanan yang di masak Gempa, mengingat jika dirinya mudah sekali lapar. Namun, ia memilih untuk memakannya nanti — jika bisa, ia memakannya sendirian tanpa ada seorang pun di saat semuanya sudah tidur. Ia menghela napas, dagunya kembali bertumpu pada bantal kesayangannya. Hatinya sedikit sakit karena ia terus-terusan berbohong selama ini karena berbohong bukanlah menggambarkan jati dirinya yang sebenarnya. 

Rimba merasa jika dirinya tidak layak. Sang master banyak menghabiskan waktu menggunakan keenam saudaranya untuk mendapatkan dirinya saat ini, tetapi ia datang di paling akhir. Ia hanya butuh waktu untuk mengerti keadaan saat ini. Rasa kecewanya terhadap diri sendiri selalu menyelimuti hatinya.

Ia memutuskan menutup matanya untuk memulai mimpinya yang siap menghiasi tidurnya kali ini. Tidak sampai lima menit, ia tertidur dengan hangatnya sinar mentari dan angin sejuk yang menemaninya di sore itu. 

Something Just Like ThisWhere stories live. Discover now