[10] Lara

745 94 13
                                    

"Rimba? Rimba! Bangun!"

Dorongan dan tepukan dari kedua tangan manusia lain di tubuhnya membuat netranya berusaha membuka dan melihat sekitar. Pikiran dan kesadarannya belum penuh sepenuhnya. Namun, ketika ia merasakan jika dirinya sudah tidak berada di cahaya putih dan tidak berujung, sontak ia bangun dari baringnya.

"Rimba!"

Ia melihat anak adam berambut biru di sampingnya, "KAK BELIUNG?" pemuda bermata sehijau zamrud itu memeluk Beliung tanpa aba-aba dan membuat sosok yang di peluk itu sedikit terperangah.

Rimba menenggelamkan wajahnya di dada Beliung dan ia menangis di sana. Melihat itu, Beliung menolak untuk melonggarkan pelukan yang diberikan oleh Rimba. Ia memilih untuk memeluk balik sang adik agar bisa merasakan ketenangan, "tidak apa-apa, Rimba...."

"Kak Bel... Rimba takut...." isaknya pelan. Beliung bisa merasakan tubuh sang adik sedikit gemetar.

Beliung hanya menghela napas, ia bingung harus bereaksi seperti apa. Tangannya bergerak untuk mengusap rambut hijau Rimba, "ada kakak di sini, Rimba tidak perlu takut."

Brak!

Bunyi pintu betabrakan dengan dinding terdengar dan menampilkan dua orang di baliknya. Mereka adalah Gempa dan Solar.

"Rimba?" suara Gempa terdengar khawatir. Ia dan Solar mendekatkan diri ke arah Rimba dan Beliung yang masih berpelukan. Sorot mata Gempa dan Solar terlihat prihatin, keduanya sangat yakin jika Rimba tidak sedang baik-baik saja.

Gempa menyentuh pundak Beliung seakan-akan menanyakan apa yang terjadi dengan Rimba. Beliung hanya menatapnya tanpa suara. Tatapannya mempunyai arti bahwa ia juga tidak tahu ada apa dengan Rimba.

Gempa mendudukkan diri di pinggir kasur Rimba dan tangan kanannya terulur untuk mengusap punggung Rimba, "menangis lah lagi jika Rimba ingin, kami tidak akan melarangnya," tanpa Gempa sadari, ucapannya membuat Rimba semakin menguatkan pelukannya kepada Beliung.

Solar hanya diam duduk di kursi belajar Rimba, ia turut sedih dengan keadaan Rimba sekarang. Entah apa yang terjadi, ia berharap Rimba segera baik-baik saja. Namun, seketika pandangannya teralih dengan kehadiran tiga manusia dari pintu - siapa lagi jika bukan Halilintar, Blaze, dan Ice.

"Ada apa?" bisik Blaze di samping Solar. Si bungsu hanya mengedikkan bahu karena ia pun tidak tahu.

Isakan Rimba terdengar, ia menjauhkan badannya dari Beliung dan kedua telapak tangannya menyeka air mata yang keluar sedari tadi. Mulutnya tidak sanggup mengeluarkan sepatah kata.

"Rimba ingin tidur kembali?" tanya Beliung sembari mengusap rambut Rimba.

Insan yang ditanya hanya menggeleng lemah, kepalanya menunduk, "kepala Rimba terasa sakit...."

"Itu tandanya Rimba harus istirahat kembali," ujar Gempa tetap memfokuskan pupilnya kepada Rimba. Tarikan nafasnya sedikit cepat karena ia khawatir.

"Kak Gempa benar," saut Halilintar tiba-tiba dengan wajah datarnya, "Rimba sedang sakit sekarang."

Rimba mendongakkan kepalanya, ia melihat Halilintar dengan tatapan bingung, "sakit? T-tidak, Rimba tidak sa - "

"Rimba, kau sedang sakit sekarang. Kau pingsan sejak dua jam yang lalu," jelas Ice menyela kalimat Rimba dan membuat pengguna elemental alam itu menatapnya tidak percaya.

Jadi selama ia bertemu dengan Balakung, ia pingsan di dimensi saat ini. Namun, Rimba tidak menyangka jika ia pingsan hampir dua jam. Ia merasakan pertemuannya dengan Balakung hanya sebentar, tetapi mengapa ia pingsan sangat lama? Rimba tidak menyalahkan saudara-saudaranya jika mereka khawatir setengah mati. Lebih baik ia menyalahkan dirinya sendiri karena sudah membuat keenam lainnya resah, kan?

"Rimba... Tidak apa-apa...." balasnya pelan. Rimba tidak ingin memberitahu hal itu kepada mereka sekarang. Ia tahu jika ia sudah berjanji kepada Balakung, tetapi rasanya cepat sekali. Ia butuh waktu untuk mempersiapkannya.

Ia menundukkan kepalanya lagi, "Rimba minta maaf...."

Gempa menggeleng lemah, hatinya sedikit teriris dengan keadaan Rimba, "tidak perlu meminta maaf, seharusnya kami yang meminta maaf karena kami tidak peka kepada Rimba," badannya memilih untuk memeluk Rimba.

Lagi, Rimba menangis karena menerima afeksi dari Gempa. Ia menyembunyikan tangisannya di pundak Gempa. Beliung yang berada didepannya ikut ke dalam pelukan mereka dan di susul Solar, Ice, serta Blaze yang meninggalkan Halilintar tetap berdiri memandangi adik-adiknya yang saling bertaut di sana.

Pikiran dan hati dari elemental petir tahap kedua itu bergejolak satu sama lain. Ia merasakan ada keanehan dan amarahnya hampir menguasai hatinya, tetapi ia berusaha menghilangkan itu. Dimulai dari ketika ia menjemput Rimba, sang adik merasakan kesakitan di tangannya secara tiba-tiba lalu Rimba pergi ke kamarnya terlebih dahulu dan meninggalkan dirinya serta yang lain. Kejanggalan, satu kata yang memenuhi pikirannya.

Tiba-tiba ia teringat kalimat Solar yang mengatakan jika mungkin saja Rimba ingin membuka komiknya, netranya langsung melihat ke meja belajar Rimba. Sebuah plastik berwarna putih dengan tulisan nama toko buku yang Rimba kunjungi tadi siang. Tangannya bergerak untuk mengambil isi dari plastik itu dan ia mendapatkan komik milik Rimba. Sesuai dengan dugaannya, komik itu masih tersegel yang berarti Rimba belum menyentuhnya sama sekali.

Halilintar memastikan jika ini ada keterkaitan dengan tangan Rimba yang tiba-tiba kesakitan tadi. Keningnya mengkerut, matanya mengernyit curiga. Matanya bolak-balik melihat komik dan Rimba yang masih berada di pelukan Gempa. Ada hal yang Rimba sembunyikan dari Halilintar dan yang lain. Benar atau tidak, Halilintar tahu ada kebohongan di sana.

###


Nggak nyangka udah chapter 10 aja yang berarti habis ini mau selesai hehehe. Maaf ya, kalo aku update-nya nggak nentu kecuali hari Minggu karena jadwal update libur.

Kepikiran buat nge-akhirin cerita ini dengan sad ending, tapi aku masih sayang Rimba, hahaha, tapi aku bisa berubah pikiran kalo kalian mau....

Oh iya, sekalian mau ngucapin terima kasih banyak buat antusias-nya nungguin update! Sampai jumpa di update-an selanjutnya, yaa. <3

Re.

Something Just Like ThisWhere stories live. Discover now