[3] Adaptasi dan Tengah Malam

891 107 0
                                    

"Rimba tertidur," ucap Gempa ketika kembali ke dapur. Dua kata yang diucapkan mulutnya sukses membuat yang lain mengkerutkan keningnya.

"Lalu? Kau tidak membangunkannya?" tanya Beliung penasaran.

Gempa menggeleng lemah, "aku tidak tega, kak, dia tertidur pulas...."

Blaze membuang napasnya kasar, ia sudah tidak bisa menahan rasa penasarannya, "aku merasa dia bukan seorang Rimba."

"Blaze, tahan rasa penasaranmu itu. Kita tidak boleh menuduhnya tanpa bukti," peringat Gempa yang disetujui oleh anggukan Ice. Sesungguhnya Gempa hanya heran dengan sikap Rimba akhir-akhir ini, makin hari makin pendiam, tetapi ia tidak ingin pikiran negatifnya mempengaruhi hatinya.

"Aku merasa Rimba sedang menyesuaikan sifatnya saat ini...." Solar angkat bicara setelah diam sedari tadi, ia siap membuka mulutnya lagi ketika ia merasakan tatapan dari kelima kakaknya yang mengartikan mereka butuh penjelasan lebih lanjut, "maksudku, perubahannya dari Duri ke Rimba itu membutuhkan adaptasi. Wajar saja jika ia cenderung diam akhir-akhir ini, tetapi aku yakin jika ada sesuatu yang ia sembunyikan dari kita."

"Bagaimana kau mengetahui jika Rimba menyembunyikan sesuatu dari kita?" tanya Blaze sembari mengangkat satu alisnya.

"Itu sama saja seperti pubertas. Anak kecil menuju remaja itu cenderung membutuhkan sedikit privasi karena dia sadar jika dia sudah berada di tahap perkembangan selanjutnya. Bisa saja Rimba seperti itu, kenaikan tahap dua ke tahap tiganya membuatnya berpikir jika dia harus menjadi dewasa, dia harus menghilangkan sifat kekanakannya ketika dia masih menjadi Duri," penjelasan Solar dengan sekali napas membuat keempat saudaranya terdiam. Tidak ada yang berbicara selama dua menit, masing-masing bergelut dengan pikirannya.

Sejujurnya mereka sedih dengan sikap Rimba sekarang. Mereka rindu dengan sifat ceria dari Duri yang selalu menjadi hiasan di antara mereka bertujuh. Mereka berharap Rimba bisa 'mengembalikan' sifat Duri.

"Apakah karena aku?" rintih Halilintar secara tidak sadar, manusia di sekitarnya reflek menatapnya.

"Apa maksudmu, kak?" Gempa menatapnya khawatir. Ia faham dengan kalimat yang dimaksud Halilintar, tetapi sekarang bukan waktu yang tepat bagi Halilintar untuk menyalahkan dirinya sendiri.

"Rimba yang menolongku saat kejadian itu."

Kejadian menyeramkan yang membuat Halilintar hampir hilang selamanya. Dari banyaknya kejadian yang menimpanya saat master menggunakan dirinya, insiden dua minggu lalu adalah hal yang membuat dirinya trauma. Terpisah dan jauh dari sang master serta adik-adiknya — ia tidak ingin itu terjadi lagi.

Beliung menggeleng kuat, ia menyangkal kalimat Halilintar, "bukan salahmu, kak, Rimba menolongmu karena dia ingin."

"Kak Beliung benar, master memilih Rimba untuk menyelamatkan Kak Hali dan tandanya dia siap untuk menerima apa yang terjadi," bela Ice, berharap kalimatnya bisa menenangkan sang sulung.

Gempa mendekatinya lalu mengusap pundaknya, "yang sudah terjadi biarlah berlalu, kak. Mungkin yang dikatakan Solar itu benar adanya, Rimba butuh ruang untuk adaptasi."

Halilintar mendengus napas, ia mengusap wajahnya kasar, "aku tidak akan memaafkan diriku sendiri jika perubahan Rimba disebabkan olehku," badannya beranjak dari kursi lalu menaruh piring kotornya ke bak cuci piring. Kakinya mengajaknya untuk meninggalkan dapur dan adik-adiknya yang masih terdiam di tempat.

"Kak Hali — "

"Biarkan dia, Gempa, Kak Hali butuh waktu sendiri sekarang," Beliung menahan lengan Gempa yang hendak menyusul Halilintar. Gempa hanya menghela napas pasrah, maniknya tetap mengikuti Halilintar hingga sang kakak menghilang dari pintu rumah. Entah kemana kakaknya pergi, ia berharap Halilintar tidak perlu menyalahkan dirinya sendiri.

### 

Rasa halus dan empuk di kepalanya membuatnya bangun setengah sadar. Dengan sekuat tenaga, ia berusaha membuka matanya, rasanya seperti ada lem yang melekat di bulu matanya. Netranya melihat sekitar, ia terbangun duduk dan tersadar jika ia di atas ranjang, "siapa yang memindahkan ku?" gumamnya sendirian.

Terakhir kali seingatnya, ia tertidur di dekat jendela pada sore hari. Namun, tak sengaja ia melihat jam dinding yang menunjukkan pukul hampir sebelas malam. Jendelanya yang terbuka di sore hari tadi sekarang sudah tertutup di tambah dengan gorden sebagai tirai penutupnya. Ia tidur cukup lama dari sore hingga hampir dini hari. Ah, sebenarnya Rimba tidak suka menirukan kelelawar yang begadang hingga mendengar suara ayam berkokok.

Ia berdiri dan menyingkirkan selimut dari tubuhnya, pemuda bermata sehijau zamrud itu yakin jika salah satu dari saudaranya yang memindahkan dirinya ke kasur. Tangannya bergerak menyalakan lampu belajar, ia ingin melanjutkan membaca bukunya yang tertunda tadi pagi, tetapi mengingat Gempa memasak mac n cheese tadi sore, ia berubah pikiran. Rimba harus mengambil jatah miliknya.

Dengan keberaniannya, ia keluar dari kamar menuju dapur diam-diam layaknya maling yang ingin mencuri harta di rumah agar tidak ketahuan. Ia berdoa agar keenam saudaranya sudah terlelap pulas di dalam mimpi masing-masing sehingga Rimba bisa menikmati makanan yang Gempa buat.

Sesampainya di dapur, ia membuka tudung saji di meja makan dan ia berhasil — ia menemukan jatah miliknya. Ia bahkan sengaja untuk tidak menyalakan lampu dapur agar tidak ada pancaran sinar yang bisa mengintip kamar saudara-saudaranya. Tidak ingin membuang waktu, Rimba duduk dan menikmati makanan asal Italia itu dengan sendirian. Ia menyukai suasana saat ini—hening, gelap, dan sangat tenang.

Keheningannya menghilang ketika seseorang memanggilnya dari belakang, "Rimba? Mengapa kau di sini?" seseorang tolong Rimba saat ini, ia ingin menghilang sekarang juga.

Something Just Like ThisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang