[14] Perbalahan

995 107 31
                                    

"Panasnya masih belum turun...." Gempa menempelkan punggung telapak tangannya ke dahi Rimba secara berulang kali, memastikan rasa panas yang ia rasakan benar-benar tidak bohong. Efek perih dari obat di lukanya membuat Rimba mengalami demam.

Sejujurnya rasa khawatir Gempa tidak turun semenjak ia datang ke kamar Rimba pertama kali hari ini. Terlebih lagi adanya peperangan kecil yang membuatnya cemas tidak karuan. Untungnya ia bisa meredakan percikan api yang belum mulai melebar.

Gempa mencelupkan kain kecil ke dalam wadah yang berisi air lalu memerasnya. Setelah memastikan semua air turun kembali ke wadah tersebut, ia menaruh kain kecil itu di dahi Rimba. Dengan harapan suhu panas di dalam diri Rimba bisa hilang.

"E-eng...." rintih Rimba dengan mata tertutup. Keningnya mengkerut, tangannya mengepal dan kepalanya menoleh ke kanan dan kiri. Ia berusaha mencari kenyamanan dalam tidurnya.

Gempa tahu jika Rimba kedinginan. Hujan belum berhenti hingga saat ini bahkan mungkin lebih deras daripada sebelumnya. Bunyi gemuruh serta angin pun menjadi penghias di langit mendung gelap tersebut.

Ia memang sengaja untuk tidak memakaikan selimut yang tebal melainkan memakai kain tipis yang ukurannya sama dengan selimut. Jika Gempa menyelimuti sang adik dengan selimut yang tebal, selimut yang tebal itu justru akan memerangkap udara panas dalam tubuh dan mengakibatkan Rimba tidak kunjung sembuh.

Melihat Rimba banyak bergerak, tangan kanan Gempa mengusap surai hijau tersebut sementara tangan kirinya memijat kecil pundak kiri Rimba. Adiknya itu sedang tidak nyaman karena tubuhnya bereaksi dengan obat yang ia beri tadi, "ssshhh, kakak ada di sini."

Rimba mengerang kecil, tangan kirinya mencengkram celana Gempa, "s-sakit..." ringisnya lemah dengan netranya masih tertutup.

"Obatnya sedang bekerja ketika Rimba sedang tidur. Tidak perlu khawatir, kakak tidak akan kemana-mana."

Tangan Gempa tidak berhenti menepuk pelan pundak Rimba agar sedikit tenang. Ia tidak ada niatan untuk meninggalkan sang adik karena elemental alam tersebut sangat peka dengan gerakan atau suara saat tertidur, terlebih lagi Rimba dalam keadaan sakit.

Detik dan menit berlalu, Gempa melihat pernapasan Rimba kembali normal yang berarti Rimba sudah tertidur nyenyak. Ia menghela napas dan melihat jam yang menunjukkan pukul empat lebih tujuh belas menit.

Gempa tidak mengira jika saat ini sudah sore. Ia harus memastikan Ice dan Solar karena hari ini adalah jadwal mereka untuk membersihkan halaman rumah. Namun, sebelum ia berdiri dari ranjang Rimba, suara nyaring datang dari luar menginterupsinya.

Brak!

"Gempa!"

"Sssshh!" Gempa berdiri dan menaruh jari telunjuknya di depan mulutnya.

Pemuda bermata sebiru safir yang baru saja datang tersebut reflek menutup mulutnya dengan kedua telapaknya, matanya membulat lalu berbisik, "ada apa?"

Gempa tidak menjawab, tetapi jari telunjuknya beralih menunjuk ke arah Rimba yang tertidur. Beliung yang melihat itu langsung ber-oh ria, "Rimba kenapa?"

Gempa berjalan menghampiri Beliung lalu menarik lengan sang kakak pelan agar keluar dari ruangan Rimba. Beliung yang keheranan hanya diam mengikuti Gempa, ia juga tidak ingin protes.

Ceklek!

Gempa menutup pintu ruangan Rimba setelah ia dan Beliung tidak lagi berada di dalamnya. Tangannya tetap menarik lengan Beliung. Tujuannya saat ini adalah turun ke lantai satu.

"Rimba sedang sakit," ucap Gempa menjawab kebingungan Beliung sembari berjalan.

Dari samping, Beliung menatapnya tidak percaya, kerutan di keningnya menjadi penghias di wajahnya, "sakit? Namun, aku melihatnya baik-baik saja di pagi hari tadi."

Something Just Like ThisWhere stories live. Discover now