[9] Ancestor

724 98 5
                                    

Bagaimana rasanya ketika kita membuka mata dan menyadari jika di sekitar kita bukanlah pemandangan seperti biasanya, melainkan cahaya putih yang tidak ada ujungnya? Pasti rasanya bingung dan takut, kan? Ya, itulah yang dirasakan Rimba sekarang.

Terakhir kali, ia ingat jika dirinya tertidur ketika menangis di lantai kamarnya. Namun, ia sekarang terbangun di tempat bercahaya putih dan tidak ada batasnya. Keringatnya tidak berhenti keluar dari raganya, hatinya berdegup tidak karuan, dan pupilnya bergerak kesana kemari tanpa arah. Sesekali ia mencubit kulitnya — ia merasakan sakit karena cubitan itu — agar memastikan jika ini bukanlah mimpi.

"Kak Hali, Kak Taufan, dan Kak Gempa... Tolong aku...."

Sungguh, rasa gelisahnya memuncak. Air matanya sudah keluar dari persinggahannya sedari tadi. Ia teringat dengan lukanya alhasil dengan cepat ia membuka sisi baju di pergelangan tangan kanannya dan lukanya belum hilang. Lalu, apa yang terjadi dengannya sekarang?

"Abang Blaze, Abang Ice... Ayo bermain lagi bersamaku...." tubuhnya sudah terduduk di alas. Kakinya tidak ada kekuatan untuk menopang agar bisa berdiri lagi.

"Solar... Aku minta maaf...." jari-jarinya mencengkram celananya erat. Air matanya menutup pupilnya sehingga ia tidak bisa melihat sekitar. Ia memeluk kakinya sendiri dan menelungkupkan wajahnya. Rimba putus asa akan dirinya sendiri. Hatinya sesak dan otaknya tidak mampu memproses yang ia alami. Namun, sesuatu yang inginkan hanyalah satu hal. Ia membutuhkan saudara-saudaranya sekarang.

"Rimba," sebuah suara memecahkan kesedihan Rimba.

"S-siapa?!" sontak ia bangkit dan melihat sekitar. Tatapannya penuh dengan rasa was-was.

"Rimba, ini aku...." sosok bertubuh lebih besar dari Rimba terlihat diujung sana. Wajahnya tidak terlihat karena cahaya putih di sekitarnya membuat Rimba menyipitkan matanya agar ia bisa melihat sosok itu.

Lima detik kemudian, netra sehijau zamrud-nya membulat, mulutnya menganga, ia tidak percaya dengan kehadiran sosok di hadapannya saat ini, "Raja Balakung?"

Sosok bernama Balakung itu menampilkan senyuman lembut sembari mendekati Rimba yang masih tidak percaya, "senang sekali bertemu denganmu, Rimba...."

Rimba tidak bisa menyembunyikan rasa senangnya, ia tersenyum sesekali tertawa kecil sembari membungkukkan badannya sebagai tanda kehormatannya, "Rimba juga senang bertemu dengan Yang Mulia."

Balakung mengangguk kecil sebagai balasan hormat dari Rimba, "bagaimana dengan kekuatanmu sejauh ini?"

"Ah, itu...." Rimba kembali mengembalikan posisi badannya, ia sedikit tersentak karena pertanyaan Balakung, ia menjeda lima detik lalu membuka mulutnya, "Rimba perlu menyesuaikan diri sedikit, Yang Mulia...."

"Kau tidak perlu takut, Rimba," ujar Balakung mengerti apa yang Rimba rasakan saat ini.

"T-takut?" Rimba tidak menyangka jika Balakung faham dengan kondisinya saat ini.

Balakung menatap manik milih Rimba dengan lekat, "aku adalah penguasa elemental balak pertama sebelum dirimu, Rimba. Aku juga bisa merasakan keterkaitan di antara kita berdua. Aku tidak ingin kau seperti ini."

Mata Rimba berkaca-kaca, ia ingin menangis lagi, tetapi ia berusaha untuk menahannya, "maafkan Rimba, Yang Mulia."

Balakung menghela napas pelan, ia mengarahkan badannya ke arah lain, matanya tidak lagi bertabrakan dengan milik Rimba, "kau tahu, Rimba? Menyembunyikan suatu masalah bisa menjadi hati kacau balau."

"Yang Mulia...." rintih Rimba kepalanya tertunduk. Ia tidak ingin menyanggah kalimat Balakung karena ia pun setuju jika berbohong bisa membuat hati menjadi gelisah.

Balakung kembali menatap Rimba yang sedang menunduk, tangannya mengangkat dagu Rimba agar bisa melihatnya, "Rimba, anakku. Aku menaruh kepercayaan sepenuhnya kepadamu. Aku memberimu kesempatan untuk menjadi pengguna elemental setelah diriku."

Sejak Duri bertransformasi ke tahap tiga menjadi Rimba, Balakung tahu dan mengikuti pergerakan Rimba di setiap sisi. Ia selalu memastikan Rimba dalam keadaan aman walaupun jiwa dan raganya sudah tidak ada. Balakung tahu semua yang Rimba alami.

"Rimba faham, Yang Mulia, tetapi...." ia menggeleng pelan, ucapannya menggantung, tenggorokannya sakit untuk melanjutkan kalimatnya setelah ia mengetahui jika selain ia mengecewakan dirinya sendiri, Rimba telah mengecewakan Balakung.

"Beri tahu yang lain, Rimba," ucap Balakung singkat. Dari hatinya, ia menginginkan Rimba untuk mengatakan yang sebenarnya kepada keenam pengguna elemental lainnya.

Rimba melototkan matanya, "t-tidak bisa, Yang Mulia...."

"Kau ingin suatu petunjuk, Rimba?" tanya Balakung mengabaikan bantahan Rimba.

"Apa petunjuknya, Yang Mulia?" rasa penasaran Rimba memuncak. Kedua pasang mata dan telinganya sudah siap menerima petunjuk yang Balakung berikan kepadanya.

"Salah satu dari saudara mu sudah menunjukkan kepekaannya terhadap yang kau rasakan saat ini."

Rimba terdiam sebentar lalu berkata, "oh...." suaranya mengecil karena kalimat Balakung membuat dirinya terkejut.

Salah satu saudaranya sudah mengerti keadaannya sekarang. Ia sedikit tidak percaya. Benaknya berusaha menebak siapa saudaranya yang tahu tentang hal ini. Selama ini, Rimba sudah menutupi semuanya, tetapi benarkah salah satu dari keenam pengguna elemental lainnya mengetahui jika Rimba sedang tidak baik-baik saja?

"Apakah kau tidak menyadari salah satu penyebab kekuatan penyembuhanmu tidak bekerja efektif dan menolak menyembuhkan luka bakarmu?" tanya Balakung memecahkan lamunan Rimba.

Pengguna elemental balak kedua itu menggeleng, "tidak, Yang Mulia...."

"Itu karena kau menolak memberitahu mereka, Rimba. Sifat kejujuran tertanam pada elementalmu dan kau tidak bisa menolaknya. Jikalau kau menolaknya, kekuatanmu akan menjadi lemah."

Rimba melihat kedua telapak tangannya dan secara tidak sengaja, satu bulir air matanya jatuh di telapak tangan kanannya, "jadi... Itulah mengapa...."

"Benar, Rimba. Aku tahu luka bakarmu disebabkan kau terkena kilatan petir saat menyelamatkan Halilintar, kan? Kau mengorbankan dirimu sendiri untuk mengambil kakakmu kembali dari Kira'na. Luka bakarmu tidak akan sembuh jika kau tidak memberitahu mereka," sela Balakung cepat karena ia tahu maksud dari Rimba.

Di saat Rimba menyerang Kira'na, Balakung sedikit mengambil alih dirinya untuk membantu Rimba. Sebenarnya Balakung marah karena Rimba mengorbankan dirinya untuk mengembalikan Halilintar, tetapi ia tahu jika Rimba adalah sosok yang rela melakukan apapun demi saudara-saudaranya alhasil Balakung memilih diam dan menahan emosinya.

Tidak mendapat respon dari makhluk di depannya, Balakung menekuk salah satu lututnya, kedua tangannya memegang pundak Rimba, "tidak ada seseorang yang bisa menggantikan dirimu sebagai pengguna elemental balak setelah diriku bahkan Retak'ka sekalipun, Rimba."

Tangan kanan Balakung beralih memegang dada Rimba, tepat dimana jantungnya berdetak, "janjilah kepadaku bahwa kau akan memberitahu semua yang kau sembunyikan kepada saudara-saudara mu."

Rimba tak kuasa menahan air matanya, ia menangis lagi di hadapan Balakung. Persetan dengan rasa malu, Rimba tidak peduli dengan wajah jeleknya ketika menangis. Tangan kirinya memegang tangan kanan Balakung yang ada di dadanya, ia mengangguk pelan, "Rimba berjanji, Yang Mulia...."

Balakung tersenyum lembut, kedua tangannya beralih memegang kepala Rimba lalu mempertemukan dengan kepalanya. Rimba menutup matanya dan Balakung pun melakukan hal yang sama, "Rimba, anakku, aku selalu bersamamu setiap saat. Sekarang kembalilah ke tempat asalmu, aku senang bisa bertemu denganmu."

Seketika cahaya putih membuat Rimba tidak bisa melihat sekitarnya. Ia bisa merasakan kedua tangan Balakung tidak menyentuh kepalanya lagi yang mengartikan Balakung sudah menghilang dari hadapannya. Telapak tangannya menutupi netranya agar cahaya putih tidak masuk ke dalam pupilnya. Tanpa ia ketahui, cahaya putih itu juga menelan dirinya dan masuk ke dalam kegelapan yang membuatnya tersadar jika ia sudah berada di dimensi lain.

Something Just Like ThisNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ