[8] Patah Arang

774 95 7
                                    

"Argh, apa yang terjadi dengan tanganku?!" ringisan kesakitan dari mulutnya tidak berhenti sejak anak adam bermata sehijau zamrud itu masuk ke dalam kamarnya. Ia terduduk di kursi belajarnya, tangan kirinya menekuk bajunya lalu membuka perban yang membaluti lukanya.

Seperti mendengar berita yang mengejutkan, ia tidak percaya dengan apa yang ia liat saat ini. Matanya melebar dan rahangnya menegang, "k-kenapa luka ku menjadi semakin lebar...."

Rimba tidak tahan dengan kondisinya sekarang. Awalnya luka bakar di pergelangan tangannya hanya mempunyai panjang sekitar tujuh sentimeter, tetapi saat ini melebar menjadi sekitar sepuluh sentimeter. Kekuatan penyembuhannya tidak efektif menyembuhkan lukanya. Hatinya gelisah, ia tidak tahu harus berbuat apa.

Beritahu yang lain saja, Rimba. Ia menggeleng keras ketika mendengar isi hatinya, egonya terlalu besar, "tidak! Aku tidak akan memberitahu yang lain!" tangan kirinya mengepal lalu memukul dinding kamarnya — tidak terlalu keras karena ia takut enam manusia yang satu rumah dengannya mendengarnya.

Setelah semua yang dilakukan sang master dan saudara-saudaranya, Rimba merasa belas kasih. Datang paling terakhir? Baginya itu sangat buruk. Ia tahu jika ia berhasil menyelamatkan Halilintar, tetapi itu tak sebanding dengan yang dilakukan sang master dan pengguna elemental lainnya.

Ia bangkit dari duduknya, jantungnya berdegup dua kali lipat dari biasanya, pikirannya menjadi kacau, ketegangan tersirat di wajahnya, pupilnya bergetar, kontraksi otot di tubuhnya tidak terkendali dan membuat keringatnya berkeluaran. Otaknya saat ini tidak bisa berpikir jernih.

Netranya melihat lukanya, pupil dan tangannya tidak bisa terkendali, "a-apa yang harus aku lakukan...." suaranya bergetar. Sontak air matanya berhasil keluar dari tempatnya, tidak sanggup menahan beban yang selama ini ia topang.

Jari-jari di kedua tangannya menarik rambutnya kasar, punggungnya bertabrakan ke dinding dengan keras dan menjatuhkan dirinya di lantai. Ia menutup matanya, menangis, tetapi berusaha mencegah suara keluar dari mulutnya.

Tidak tahu siapa yang akan menolongnya sekarang, Rimba mengaku menyerah, bahkan ia tidak menyelamatkan dirinya sendiri. Terlalu tenggelam dalam kekecewaan bukanlah menggambarkan sifat elemental alam tersebut, tetapi ia memohon kepada siapapun, biarkan Rimba terbenam di dalam badai yang menghantam dirinya.

###

"Kak Halilintar."

Selama sepuluh detik, tidak ada jawaban dari pemilik nama yang dipanggil. Merasa heran, seseorang tersebut membuka mulutnya kembali, "kak?"

Pengguna elemental petir yang didominasi warna merah itu mengerjapkan matanya, ia terlalu larut dalam lamunan sehingga tidak sadar jika seseorang memanggilnya sedari tadi, ia menoleh ke atas dan netranya menangkap seseorang yang tidak asing, "Gempa?"

Pemuda pemilik nama Gempa meletakkan badannya untuk duduk di sebelah Halilintar, "ada apa, kak? Tumben melamun, tidak seperti biasanya," nadanya sedikit khawatir.

Keduanya saat ini duduk di kursi teras rumah mereka dan ditemani langit sore yang indah, mentari tidak terlalu panas seperti di tengah hari karena sang surya sedang menunggu waktu pergantiannya dengan sang rembulan.

Halilintar menggeleng pelan dan memberikan setengah senyum, "tidak ada apa-apa, hanya menikmati suasana di sore hari."

"Sepertinya Kak Hali sedang menirukan Rimba ya?" suara itu datang dari garasi. Halilintar dan Gempa tahu betul dari pemilik suara itu.

Gempa menaikkan satu alisnya, "Ice?"

Ice menampilkan senyum tipis dan duduk di depan Halilintar serta Gempa, ia tahu maksud dari Gempa menyebut namanya, "aku baru saja membenarkan sepeda milikku karena rantainya lepas."

"Sudah bisa kembali?" tanya Halilintar mendapat anggukan darinya sebagai jawaban.

"Tadi sedikit kesusahan, tetapi Kak Beliung membantuku."

"Di mana Beliung sekarang?"

"Kembali ke kamarnya, kak."

Halilintar hanya mengangguk faham dan Ice kembali membuka mulutnya, "Kak Hali kenapa?"

Pertanyaan Ice membuat pengguna elemental pertama tersebut mengkerutkan keningnya. Di dalam benaknya ia berpikir apakah ada yang salah kah dari dirinya? Mengapa dua orang di sekitarnya saat ini beranggapan jika seolah terjadi apa-apa kepada dirinya?

"Aku baik-baik saja," jawabnya singkat.

Ice hanya tertawa kecil, pandangannya melihat burung-burung yang beterbangan menemani awan-awan yang berarak untuk menghiasi langit, "kau sama saja seperti Rimba, kak. Rimba suka sekali menikmati suasana di sore hari."

"Benarkah? Kau tahu dari mana Ice?" kali ini Gempa yang melontarkan pertanyaan.

Senyuman tipis Ice terlihat di wajahnya, netranya tetap melihat sang dirgantara, "aku sering memerhatikannya, kak. Dia selalu duduk di dekat jendelanya, tak jarang juga burung menghampirinya dan menemaninya di saat dia tertidur."

Ada jeda beberapa detik lalu Ice melanjutkan kalimatnya, "rasanya sangat berbeda dengan Duri yang selalu mengajakku dan Blaze untuk bermain."

Ice tidak berbohong, Duri sering sekali mengajaknya dan Blaze untuk bermain di lapangan dekat rumah mereka. Ice ingat sekali ketika dirinya, Blaze, dan Duri mendapatkan omelan Gempa karena pulang bermain hingga jam tujuh malam. Hal itu dikarenakan Blaze menendang bola milik temannya hingga ke dalam truk pengangkut yang sedang lewat. Mau tidak mau, mereka bertiga harus mengejar truk itu agar bisa mendapatkan bolanya kembali. Bahkan Duri menangis dan memohon kepada Gempa agar berhenti memarahi mereka.

Ice selalu tertawa ketika mengingat kejadian itu karena tidak ada hentinya ia merutuki Blaze dengan sifat cerobohnya. Jikalau pun tidak bermain, Duri tidak pernah absen mengajak Ice untuk berkebun.

"Abang Ice, ayo berkebun denganku!"

"Abang Ice, jangan tidur terus, ayo ikut Duri memberi air untuk tumbuhan baru Duri!"

"Abang Ice... Abang lupa memberikan air ke bunga anggrek milik Duri... Sekarang bunganya sudah mati...."

Namun, sekarang Rimba tidak pernah memintanya untuk menemani berkebun. Walaupun ia sering memaksakan diri, Rimba terus menolaknya. Alhasil setiap Rimba berkebun, ia hanya duduk melihat Rimba yang sedang memanjakan hasil alam kesayangannya.

Ice menghela napas, sorot matanya sedikit berkaca-kaca, "aku tidak pernah menyangka jika perubahan tahap dua ke tahap tiga bisa merubahnya secepat ini...."

Halilintar dan Gempa terdiam mendengarkan kalimat Ice sedari tadi. Di dalam hati keduanya, mereka setuju dengan Ice. Mereka menyadari adanya perubahan di dalam diri Rimba.

"Bisa saja perkataan Solar waktu itu benar, Ice. Rimba hanya butuh waktu saat ini," tutur Gempa lembut.

Ice menatapnya sendu, jarang sekali ia melihatkan rasa sedihnya terlebih lagi di hadapan Halilintar dan Gempa, "dan waktu itu sampai kapan, kak? Aku tidak kuat jika Rimba selalu seperti ini."

Halilintar tidak mengeluarkan suaranya sejak Ice membahas adanya perbedaan dengan Rimba. Hatinya terlalu setuju dengan setiap seluk beluk dari kalimat yang keluar dari lisan elemental kelima tersebut. Ia faham dengan perasaan Ice karena Halilintar mengalaminya juga.

Jika kau tahu mengapa aku selalu diam-diam akhir ini, Ice, aku juga memiliki posisi yang sama denganmu. 

Something Just Like ThisWhere stories live. Discover now