[7] Hipokrisi

764 94 13
                                    

"Selamat datang kembali, Rimba!" pemuda bermata jingga mengundang perhatian Rimba saat turun dari mobil, netranya melirik barang yang Rimba pegang, raut jahilnya mendominasi wajahnya, "apa isi paperbag yang kau bawa itu? Pasti ada titipan milikku, kan?"

Rimba hanya tertawa kecil lalu mengangguk, "iya, ada pancake milik Abang Blaze dan Kak Beliung."

Kaki kanannya menginjak bola sedangkan kaki kirinya tetap berpijak pada tanah. Kedua tangannya memegang pinggang, "hahaha, pasti yang lain iri denganku dan Kak Beliung!" serunya semangat dan percaya diri.

"Eh? Iri kenapa memangnya?" tanya Gempa yang baru saja datang dari dalam rumah lalu duduk di samping Ice di kursi teras.

"Aku meminta tolong kepada Rimba untuk membelikan pancake dan pancake itu hanya untukku dan Kak Beliung."

Ice yang mendengarnya hanya mendengus malas melihat kelakuan Blaze, "terserah dirimu saja, Blaze."

Wajah Blaze tersenyum kemenangan. Menurut Ice, rasa percaya dirinya sudah tidak tertolong lagi, "mengapa, Ice? Kau iri?" ia beralih menatap Rimba, "mana pancake milikku? Aku sudah tidak sabar untuk memakannya!"

Rimba menggelengkan kepalanya karena Blaze sangat tidak sabar, "sebentar, abang, aku ingin membagikan pancake untuk Kak Gempa dan Abang Ice," katanya mendekati Gempa dan Ice lalu memberikan kue dadar berbahan dasar tepung terigu dan telur itu.

Tanpa Rimba sadari, raut wajah Blaze berubah menjadi raut kebingungan, "kenapa kau memberikannya kepada mereka juga?" tanyanya dengan nada sedikit tidak terima.

Pemuda yang ditanya hanya mengangguk polos, "memangnya kenapa? Rimba tidak mungkin hanya membelikan dari titipan Abang Blaze dan Kak Beliung, kan?"

Solar yang tiba-tiba datang pun ikut mendengarkan obrolan mereka sedari tadi, ia melihat Blaze dengan tatapan mengejek lalu tertawa puas, "rasa percaya diri memang sangat diperbolehkan, tetapi tolong jangan berlebihan ya, abangku?"

Blaze menggeram, telapak tangannya mengepal menandakan jika ia siap beradu kekuatan dengan si bungsu, "diamlah, manusia bermata empat. Lebih baik kau melanjutkan eksperimen-mu yang selalu gagal itu."

Merasa tidak terima, Solar memicingkan matanya, hidungnya kembang kempis dan tatapannya begitu dingin, "jaga omonganmu, kompor. Aku hanya berbicara fakta dan kau langsung tidak terima? Dasar penolak fakta."

"APA KAU BILANG?!"

"Cih, kau mudah tersulut, kau tahu itu?!"

"Tutup mulutmu, Solar, atau aku aka — "

"Atau apa?" Halilintar muncul dari belakang Rimba dengan kedua pedang petir berwarna merah miliknya di setiap tangannya. Wajah tanpa ekspresi terlihat dingin sesuai dengan nadanya sukses membuat Blaze dan Solar terdiam di tempat, "kalian ingin membuat pertengkaran? Aku persilahkan sekarang juga, tetapi dengan syarat, aku harus ikut."

Gempa gelagapan dengan suasana saat ini, ia beranjak dari duduknya lalu berdiri di tengah-tengah, "sudah, hentikan, tidak ada pertengkaran yang terjadi di sini."

"Blaze, kau boleh percaya diri, tetapi jangan berlebihan. Untuk Solar, kau mungkin benar, tetapi sebisa mungkin kau harus belajar untuk menyaring kalimatmu. Kalian faham?" pertanyaan Halilintar hanya di balas anggukan dari keduanya tanpa bicara sekalipun. Rimba yang berada di antara mereka hanya terdiam dan tidak tahu harus berbuat apa. Bahkan ia melupakan rasa nyeri luka yang bertengger di tangan kanannya.

"HALO, SEMUANYA, AKU PULA — eh... ada apa ini...." anak adam bermata sebiru safir menurunkan nada cerianya ketika menyadari ketegangan yang terjadi. Kedatangannya membuat semua mata tertuju kepadanya. Namun, ia melihat Halilintar yang memegang pedangnya membuat senyuman dan ide jahilnya muncul secara tiba-tiba, "ah, ternyata kau masih berani memegang pedang ya, kak? Aku kira kau memiliki trauma setelah kau bertransformasi menjadi mereka."

"APA KAU BILANG?!"

###

"Ada satu waffle, memangnya milik siapa?"

"Itu punya Rimba, kak, hehe."

Gempa tersenyum lembut, ia menaruh waffle milik Rimba ke piring khusus, "ah, baiklah," netranya melihat Solar dan Ice yang baru saja datang ke meja makan, "teruntuk kalian, rasa madu milik Solar dan rasa blueberry milik Ice, duduklah di kursi masing-masing," keduanya hanya mengangguk faham lalu menuruti perintah Gempa.

"Oh, milikku sama dengan milik Ice ya?" tanya Beliung antusias ketika melihat pancake milik Ice sama dengannya. Ia meletakkan badannya di samping Blaze yang sudah menikmati pancake dengan rasa matcha diatasnya.

Rimba mengangguk pelan, "iya, Rimba tahu jika Abang Ice suka dengan rasa blueberry."

Ice yang tidak bisa menahan rasa tersipunya hanya tertawa kecil, adiknya ini sering memperhatikan hal sekecil apapun dari dirinya, "terima kasih, Rimba, kau memang saudaraku yang terbaik."

Blaze menoleh ke arahnya dengan cepat, dadanya terasa panas hati dengan kalimat yang diucapkan Ice barusan, "kau pernah bilang jika saudaramu yang terbaik adalah aku, kenapa sekarang jadi Rimba?"

"Eh, kenapa? Suka-suka diriku. Lagian kau mudah selalu tersulut emosi," ucapnya tidak melihat Blaze melainkan Solar. Si bungsu pun tersenyum jahil menatap balik ke arahnya, ia tahu jika Ice sedang menggoda Blaze.

"Ice, kau — "

"Blaze," peringat Halilintar datar, manik merahnya menusuk tepat manik Blaze. Rasa marahnya berubah menjadi rasa takut di wajah Blaze.

"Maafkan aku, Kak Hali," cicitnya kembali melanjutkan kegiatan makannnya. Ia lebih membiarkan kejahilan Ice daripada ia merasakan sengatan listrik dari si sulung. Ia tahu jika Halilintar dalam suasana hati serius.

Rimba yang sedari tadi membuat minuman kesukaannya, ia berjalan ke kulkas dan menaruh minumannya agar dingin untuk sementara. Kakinya melangkah ke arah tangga dan Gempa yang melihat itu memanggilnya, "Rimba mau ke mana? Makanlah waffle-nya terlebih dahulu."

Ia menggeleng pelan dan tersenyum simpul, "Rimba ingin ke kamar, nanti Rimba akan memakannya, Kak Gempa tidak perlu khawatir," dua detik kemudian, ia menghilang dari pandangan keenam saudaranya.

"Yah, padahal aku ingin kita sama-sama menikmati makanan masing-masing di sini, tetapi Rimba memilih untuk makan tidak bersama kita," desah Beliung sedikit kecewa. Ia menjadi tidak enak kepada Rimba karena ia meminta tolong untuk membelikan pancake miliknya.

"Mungkin Rimba ingin membuka komiknya, kak. Toh, wajahnya terlihat bahagia sejak dia datang karena dia berhasil mendapatkan komik itu," ujar Solar santai dan disetujui oleh anggukan Gempa.

"Solar benar, tidak ada yang perlu dicurigai dari Rimba."

Namun, ada satu orang yang tidak sependapat dengan kalimat Gempa. Ada yang perlu dicurigai dari Rimba — itu kalimat yang cocok untuknya. Pandangannya lurus tepat ke arah pancake miliknya dan memilih diam dengan seribu sugesti yang muncul di benaknya. Ia percaya jika ada hipokrisi yang Rimba sembunyikan. Entah cepat atau lambat, Halilintar yakin ia akan segera mengetahuinya.

Something Just Like ThisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang