- something called love -

1 1 0
                                    

Setiap sebulan sekali akan diadakan pembersihan, alias pelemparan beberapa penumpang pesawat demi menghemat pasokan makanan, sekaligus oksigen. Para bedebah keparat yang entah sejak kapan menjadi sangat berkuasa itu disebut para Ashen, sementara kami, manusia yang hanya menyampah mendapat julukan Greenish untuk alasan yang aku sendiri tidak ketahui.

Hal yang sangat layak aku maki hari ini adalah ... aku bagian dari mereka. Ashen. Aku seorang Ashen sekarang, berpakaian serba abu yang mewah dan tinggal di tempat paling nyaman yang tidak pernah diketahui para Greenish. Pesawat ini mampu menampung ribuan manusia, aku tidak mengerti mengapa para Ashen harus melakukan pembersihan setiap bulannya. Melempar beberapa orang Greenish yang terpilih ke luar dan melihatnya mati perlahan karena kehabisan oksigen.

Sewaktu tempat tinggal kami masih bisa dihuni, Bumi, aku tidak pernah berpikir oksigen akan sepenting sekarang. Tidak pernah terpikir sebelumnya kalau para manusia akan memperebutkan posisi dengan berbagai cara agar tetap dapat menghirup oksigen.

"Kau sangat beruntung, Clea. Ini hari pertamamu jadi pelempar dan langsung mendapat korban yang bagus."

Aku menoleh ke arah Julius atau Julian, aku tidak begitu ingat namanya. Dia seorang Ashen murni, asli, dan tidak tahu caranya menjadi Greenish.

"Aku tidak tahu ada korban yang bagus."

Julius atau Julian itu terkekeh, rasa senang tergambar jelas di sudut-sudut matanya. "Tidak pernah sebelumnya kami melempar orang penting, hanya manusia Greenish yang dalam artian benar-benar hanya menyampah. Namun, kau tahu siapa yang akan dilempar hari ini?"

"Siapa?"

"Tuan dan Nyonya Greenish, Clea."

Aku menghentikan langkah-sesungguhnya aku tidak begitu yakin gerakan melayangku bisa disebut melangkah. Yang jelas tubuhku mendadak kaku. Aku berhenti hanya untuk memastikan bahwa telingaku melakukan kesalahan. Seperti kesalahan mendengar Julius atau Julian.

"Ada apa, Clea?"

Aku berusaha untuk tidak terlihat gugup dan kembali bergerak, mengikuti jejak para Ashen di depan sana. "Mengapa kita harus melempar pimpinan Greenish?"

"Mengapa kita harusnya mempertanyakannya?" Julius atau Julian menoleh ke arahku dengan senyum miring. "Kau terlihat terkejut, Clea. Apa kau mengenal mereka? Kudengar mereka kehilangan putranya."

Dia berlalu dengan senyum miring yang masih menghiasi wajah bengisnya, sementara aku kembali mematung. Berhenti di udara sambil mengepalkan tangan seerat yang kubisa. Dia tahu. Julius atau Julian tahu kalau aku adalah putra yang hilang itu.

-ᄒᴥᄒ-

"Brian; menghabiskan terlalu banyak makanan, sering membuat keributan, tidak berguna dan tidak pantas menghirup oksigen kami."

Cih, tidak pantas menghirup oksigen kami katanya. Aku tidak tahu sejak kapan oksigen menjadi milik para Ashen. Dan aku tidak habis pikir Julius atau Julian mengabsen nama para korban dengan wajah sebajingan itu.

Selagi dia menyebutkan nama-nama yang akan dilempar, aku dan beberapa Ashen lain segera mengenakan helm oksigen kami dan bergegas ke luar, ke bagian ujung pesawat tempat pelemparan dilakukan. Tepat saat itu pula, nama Ayah dan Ibuku menggema.

Aku terus mengepalkan kedua tangan dan memutar otak untuk menyelamatkan mereka, tetapi tiba-tiba aku teringat Flora. Aku harap dia selamat dari Bumi dan di sampingku saat ini, berpegangan tangan denganku dan berbisik bahwa tak apa kalau laki-laki menangis. Karena aku sangat ingin melakukannya sekarang.

Entah harus bersyukur atau bagaimana, orang yang harus kulempar bukanlah orang tuaku atau salah satu dari mereka. Melainkan pemuda bernama Brian yang berbadan gemuk dan mengidap autis. Dia tidak menangis. Aku tidak melihat adanya perlawanan saat seorang Ashen mendorongnya keluar, ke arahku. Akan tetapi, aku bisa melihat Ibunya memaki dari dalam sana. Menangis dan terus-terusan memohon untuk nyawa anaknya. Sayangnya, beliau tidak tahu, alih-alih rasa iba, para Ashen malah bergembira.

luminosityWhere stories live. Discover now