- not a great gretel -

1 0 0
                                    

"Apa kau pernah ke sini, Kak?"

Anak laki-laki itu diam saja. Jangankan menjawab pertanyaanku, menoleh saja sepertinya enggan. Apa mungkin dia tahu aku orang lain?

"Kau lelah?"

Aku menggeleng tanpa berniat memberi jawaban lebih dari itu.

"Aku lelah, ayo kita cari tempat istirahat sebelum pulang ke rumah." Dia berujar sambil celingak-celinguk mencari tempat istirahat.

"Memangnya kau tahu jalan pulang?"

Kami di tengah-tengah hutan, jalan yang dari tadi kami lalui memiliki tipikal yang sama. Aku cukup yakin akan hal itu, sehingga cukup berani pula untuk meragukannya.

"Entahlah. Harusnya jalan lurus saja, kan?"

Responsnya sukses membuatku memutar bola mata jengah. Tuh, kan! Sudah kuduga dia tidak tahu jalan pulang. Kakak macam apa, sih, yang dimiliki Gretel? Kenapa juga aku harus terjebak di tubuh gadis ini? Kenapa tidak Wendy saja? Agar aku bisa bertemu Peter Pan. Jangan-jangan Gretel lebih bodoh dari kakaknya. Jika iya, berhutang budilah dia padaku, karena aku ini pintar. Aku tidak bodoh.

Ratusan kali aku membaca dongeng Hansel dan Gretel. Seharusnya tidak cukup sulit untuk menyelesaikan kisahnya, sehingga aku bisa kembali ke dunia nyata, mengakhiri petualanganku dan kembali menjalani hari-hari monoton sebagai pelajar. Yah, tentu saja aku akan betualang lagi, di lain tempat dan di lain kisah.

Aku menyelesaikan kisah Rapunzel dengan baik sebelumnya, yang satu ini pasti lebih mudah. Selanjutnya aku ingin menemui Peter Pan, andai aku bisa memilih. Ah, oke-oke, aku terlalu melantur.

Omong-omong, sebenarnya aku tahu jalan pulang. Ketika Hansel, Kakak Gretel yang Bodoh, menaburkan roti di jalan setapak yang kami lalui, aku meninggalkan jejak lain. Sebuah goresan pada pohon yang kami lewati. Sebab potongan rotinya pasti akan habis dimakan burung. Jadi, masalahnya bukan jalan pulang, tetapi rumah si penyihir.

Aku tidak bisa mengubah jalan cerita sebuah dongeng. Aku hanya diberi tugas untuk menyelesaikannya, sebagaimana mestinya. Maka kubiarkan Hansel menuntun jalan dengan harapan dia akan membawaku ke rumah si penyihir, sayangnya dia hanya membawaku berputar sampai kakiku terasa kebas. Ah, maksudku, kakinya Gretel, aku meminjam tubuh gadis itu saat ini.

Srek!

Seperti ada sesuatu yang bergerak di semak-semak belakang kami. Hansel langsung bersikap waspada dan menarikku ke balik punggungnya. Dia pikir aku anak kecil yang akan menangis!

"Siapa di sana?"

Haduh, bodoh banget, sih. Memangnya siapa yang-tunggu!

"Kak!"

"Diam, Gretel." Dia menggeram seolah-olah bisa melindungiku saja, cih.

"Aku lapar." Aku merengek dengan sangat baik menggunakan suara Gretel.

"Gretel...."

Nada memperingatkan yang diberikan Hansel sama sekali tidak membuatku berhenti merengek. "Ada wangi kue dari sana, ayo ke sana, Kak."

Aku tidak bohong, aku memang mencium sesuatu yang kukenali sebagai wangi roti atau kue atau mungkin gulali. Ah, entahlah. Pokoknya aku sudah tahu arah ke rumah si penyihir. Rumah itu terbuat dari kue, aku ingat betul karena aku membaca kisah ini berulang kali. Jadi, pasti wewangian itu berasal dari rumah si nenek tua.

Hansel mengendus ke arah jalan setapak yang ditunjuk olehku. "Kau benar, ada wangi kue."

Kan memang ada, Hansel Bodoh.

"Ayo ke sana."

Aku mengangguk-angguk antusias dan kuharap senyum culas yang kubuat tidak meninggalkan bekas di wajah Gretel nantinya. Ah, masa bodo lah, yang penting sebentar lagi bertemu dengan si penyihir. Artinya sebentar lagi aku bisa pulang.

•••

Aku harus melewatkan bagian bertemu si penyihir dan ditangkap si penyihir, karena aku sendiri ketakutan. Yah, sedikit, sih. Aku hanya tidak menyangka kalau wajah si penyihir akan benar-benar menyeramkan, jauh lebih menyeramkan daripada ilustrasi yang ada di buku dongeng. Kurasa para penulis atau para pembuat ilustrasi itu berbohong. Mereka jelas berbohong.

Butuh selusin keberanian untukku memberanikan diri melihat ke arah si penyihir yang sedang memberi Hansel banyak makanan. Sebentar lagi dialog bagianku, aku mengingatnya, tentu saja, hanya sedikit gugup dan ... oke kuakui, takut.

Namun, berkali-kali aku membaca dongeng ini, aku tidak mengerti mengapa hanya Hansel yang dikurung. Kurasa si penyihir tidak kelihatan sebodoh itu.

"Sebentar lagi dia akan cukup gemuk untuk dimakan. Lalu, aku akan memasaknya menggunakan apiku," ujar si penyihir penuh rasa bangga.

Aku mulai melantunkan dialog bagianku. "Di mana apinya?"

Penyihir tua itu mendekati sebuah oven kuno-itu sudah jelas-yang berukuran sebesar dirinya sendiri.

"Aku tidak bisa melihat apinya."

Aku mengucapkannya dengan lugas dan baik, meski entah bagaimana jantungku berdetak lebih cepat dari sebelumnya. Ada perasaan tidak enak yang tiba-tiba menghampiri.

Penyihir itu, seperti bagaimana tertulis di dalam dongeng, membuka pintu oven lebih lebar.

"Aku masih belum bisa melihatnya," ujarku.

Seharusnya penyihir itu kembali membuka pintu ovennya lebih lebar, sehingga nantinya aku bisa mendorongnya ke dalam sana. Dalam buku yang kubaca, tidak dijelaskan bahwa si penyihir akan terdiam selama ini sambil memandang ke dalam oven.

Sesaat sebelum aku berniat mengatakan sesuatu, si penyihir itu tertawa keras. Tawa terbahak yang memantul dari dalam oven.

"Kau mengingat dialognya dengan baik, Chelsea."

Chelsea....

....itu namaku.

•••

luminosityHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin