- maybe you were my peter pan -

6 3 0
                                    

"Tepat pukul delapan lebih empat puluh lima menit, dari jalur satu, Kereta Api Argo Parahyangan tujuan akhir stasiun Bandung diberangkatkan...."

Beberapa orang bangkit dari duduknya setelah mendengar pengumuman tersebut, tidak sampai satu menit orang-orang baru mengisi bangku kosong yang mereka tinggalkan. Mungkin seperti itu jugalah kehidupan. Mengerikan.

Aku sedang sibuk memotret suasana stasiun saat laki-laki itu tiba di peron, dia berdiri tepat di tengah garis kiri kameraku. Seolah-olah sedang bersiap menjadi objek foto. Aku memang cukup andal dalam memotret, sehingga laki-laki berkemeja biru denim itu tersimpan apik di kameraku.

Namun, entah mengapa, rasanya aku harus tetap memeriksa hasilnya. Men-zoom-in-out-nya. Sampai kurasakan hal janggal yang tidak asing. Rambut nyaris menyentuh bahu dengan poni yang membelah dua, name tag yang menggantung di lehernya, kaos putih, kemeja biru denim yang bagian lengannya dilipat, dan ... oh, aku tidak biasanya seperhatian ini pada objek fotoku. Akan tetapi ... sepertinya aku pernah di sini sebelumnya. Memotretnya diam-diam. Agaknya aku pernah melihat laki-laki itu, dengan pakaian yang sama, bersandar di tiang stasiun yang sama.

Entahlah, aku pernah merasakan hal serupa sebelumnya. Deja vu. Mungkin yang kali ini pun sama tidak pentingnya, kecuali jika seseorang di sampingku meninggalkan bangkunya tanpa alasan dan laki-laki itu mengambil alih tempat kosongnya. Dan kecuali bila ia....

"Berisik, ya?"

Rasanya seperti sendi-sendi ototku mendadak kaku, lidahku pun membeku. Siapa sangka kalau ia akan sungguhan duduk di sampingku? Tepat di sisiku. Sampai rasanya aku bisa mencium wangi parfumnya. Sayang, aku tak pernah bisa mencium wangi parfum selain parfumku. Penciumanku memang agak aneh, tetapi bukan itu masalahnya. Ah, memang tidak ada masalah apa-apa dengan keberadaannya. Aku hanya merasa benar-benar deja vu.

Awalnya kukira dia berujar padaku, tentang seberapa berisiknya stasiun ini. Ternyata lawan bicaranya adalah perempuan lain yang juga duduk di sampingnya. Kutebak perempuan itu berusia lebih muda.

"Ya namanya juga stasiun, Kak. Gimana, sih."

Laki-laki itu terkekeh sambil melemparkan pandangan kosong ke depan. "Kepalamu, maksudku."

Entah bagaimana aku tidak bisa tidak menoleh. Seperkian detik berikutnya dia juga menoleh ke arahku, menciptakan kontak mata yang rasanya benar-benar familier. Aku menahan napasku tanpa alasan yang jelas, menimbulkan rasa sesak yang janggal.

Lalu, dia tersenyum. Seolah-olah kami sudah saling mengenal. Seolah-olah kami duduk di sini dengan sengaja, di samping satu sama lain dengan terencana.

Dan tanpa mengatakan apa pun, dia memutus kontak mata. Kembali mengobrol dengan perempuan di sampingnya seperti tidak pernah terjadi apa-apa. Dan memang tidak terjadi apa-apa. Jadi harus dengan apa aku menyebut peristiwa beberapa kedipan mata barusan?

Sama hal dengannya, aku pun berusaha kembali sibuk dengan duniaku memotret berbagai sudut stasiun. Namun, tidak aneh kalau aku gagal dan malah berfokus pada perbincangan dua insan itu. Sebab yang mereka bicarakan adalah topik yang kukenal.

"Star Turn itu bukan posisi yang mustahil, Sa. Dalam hidup, memang ada beberapa tempat yang gabisa kamu miliki, tetapi artinya tetap bukan mustahil."

"Ck, tidak bisa sama aja dengan mustahil, Kak."

"He ... iya, sih." Laki-laki itu menggaruk tengkuknya yang kuyakin sama sekali tidak diserang gatal.

"Ih, payah banget!"

"Aku?"

"Ya. Motivator payah."

Dari ekor mataku, dapat kusaksikan ia mengacak-acak rambut perempuan itu sambil terkekeh kecil. Sedangkan si perempuan sibuk memasang wajah masam. Kendati demikian, aku cukup yakin ada banyak kupu-kupu beterbangan di perutnya, karena sepertinya, aku di posisi itu jauh sebelum dia.

Tiba-tiba terdengar pengumuman bahwa kereta dengan pemberhentian akhir Yogyakarta akan segera berangkat. Sebuah instruksi bahwa aku harus berhenti menguping dan mulai bersiap. Sebentar lagi aku akan meninggalkan Jakarta dengan segala kenangan yang disimpannya, itu kata Mama. Sementara kataku, aku akan kembali mencari kenangan yang hilang di kota istimewa. Aku yakin aku pernah ke sana walau Mama bersikeras aku belum pernah menginjakkan kaki di kota itu.

Aku terlalu tergesa saat bangun dari tempat duduk, hingga tanpa sengaja menjatuhkan salah satu novel bawaanku. Tanpa kuminta laki-laki itu dengan berbaik hati menjeda perbincangan asyiknya hanya untuk memungut novelku.

Sambil memberikan novel itu padaku, dia berkata, "Hati-hati. Jangan sampai lupa jalan pulang."

Aku mengernyit. Kurasa dia berlebihan perkara ini. Sayangnya aku tak sempat mengucapkan kata yang lebih panjang dari terima kasih.

Aku kembali memusatkan perhatian padanya setelah duduk di dalam kereta. Dia masih pada posisi berdirinya, menatap entah pada apa, aku tidak ingin terlalu percaya diri dengan mengira bahwa dia tengah menatapku, walau sepertinya memang begitu.

Untuk sesaat novel di genggamanya berhasil menarik perhatianku, itu seperti novel The Geography of Bliss milikku. Namun, bukankah dia sudah....

Peter Pan.

Dia memberiku novel Peter Pan, mungkin miliknya, atau perempuan di sampingnya. Satu hal pasti, aku tersenyum karenanya. Entahlah, ingin saja.

Rasa tidak asing masih membelengguku, dan mungkin saja, kami memang pernah bertemu. Mungkin di masa kecilku dan aku memanggilnya Peter Pan. Peter Pan-ku.

Sekarang dia kembali menjadi laki-laki yang hilang.

Aku sama sekali tidak berniat memutus kontak mata kami-jika memang benar dia menatapku. Sampai ketika kereta mulai berjalan perlahan, dapat kulihat bibirnya berucap, "Sampai jumpa, Wendy."

Ini akan terdengar konyol, tetapi rasanya aku sungguh-sungguh mendengarnya mengucapkan namaku. Aku mendengarnya dengan jelas di kepalaku.

Wendy....

Aku rasa kita memang pernah bertemu.

Kubiarkan jarak menelannya, meninggalkan rasa aneh yang senantiasa bergumul di dadaku.

Peter Pan ... oh, Peter Pan, aku tidak pernah mengira kalau aku akan menemukan foto kami berdua saat aku membuka novel itu. Bukan aku kecil, bukan pula dia kecil. Hanya kami. Tersenyum ke arah kamera dengan latar belakang stasiun kereta. Di belakangnya tertulis....

I hope you'll remember me, cause there's a love to remember.


•••

luminosityWhere stories live. Discover now