• Kedai-Kedai Mimpi Nebula •

1 0 0
                                    

Aku sedang tersenyum ketika menciptakannya. Menurutku, aku memberinya nama paling indah daripada tokoh lain. Latar belakang, ciri fisik, segala yang ada pada Analema kutulis sepenuh hati. Aku bahkan telah jatuh cinta padanya jauh sebelum ia bertemu Nakula, jauh sebelum kutulis kisah mereka. Sehingga tak pernah terpikir olehku bahwa Analema akan benar-benar hidup, tampak nyata, senyata manusia yang selalu kusebut namanya dalam doa.

Analema memiliki pemikiran yang jauh lebih rumit dari pemikiranku sendiri. Kini dia tidak terkendali. Dia berhasil mengambil posisiku sebagai Tuhan, sebagai penulis Kedai-Kedai Mimpi Nebula. Sekarang malah aku yang dikendalikannya.

"Kau bisa memperbaiki ini."

Aku menoleh ke arah Nakula dengan tatapan putus asa. Dia jelas tidak tahu apa yang sedang terjadi, masih terlukis harapan di mata biru lautnya.

Nakula mendekat dan menggenggam tanganku. "Kau penulisnya. Kau pencipta dan pemilik alam semesta yang kami tinggali. Kau...."

Aku ingat, aku menciptakan Nakula ketika kesepian tengah membelenggu. Aku ingat, aku menangis seraya memohon pada Tuhan untuk dikirimkan seseorang yang akan berbagi suka dukanya bersamaku. Dan kurasa ... aku telah menciptakan Nakula menjadi sosok itu. Mungkin itu pula sebabnya Analema teramat mencintai laki-laki bermata biru laut ini. Laki-laki yang sayangnya telah bersumpah akan selalu mencintai Nikala.

Kurasa aku akan marah pada Tuhan bila sosok seperti Nakula berjodoh dengan saudaraku alih-alih aku. Boleh jadi karena itu pula Analema menyeretku ke sini, dia marah padaku. Terhadap takdir yang kuciptakan untuknya.

Nakula menggantung ucapannya cukup lama, sampai satu tetes air mata mengalir di kulit pipinya yang seputih salju. "Kalau benar kami hanyalah tokoh dalam novelmu, kalau benar kau pemilik ide dari segala kisah yang kami alami, mengapa kau menciptakankanku sebagai aku? Mengapa ... kau menciptakankanku tidak sama dengan Nikala? Mengapa kau membuatku berbeda? Mengapa—"

"Ada berapa banyak mengapa yang ingin kau tanyakan?" suara serakku menggema di ruang hampa ini.

Kurasa rasa sakit itu tak lagi ditahannya, Nakula benar-benar terisak di hadapanku sekarang. Menuntutku untuk menjawab segala pertanyaan "mengapa" yang ia ajukan. Aku pernah menanyakan hal serupa pada Tuhan. Tuhanku yang nyata.

"Analema bisa merebut posisimu, maka kau juga bisa melakukan hal serupa," ujar Nakula setelah menangis cukup lama, pun setelah berhasil mengatur napasnya.

Diam-diam aku tersenyum, kurasa aku menciptakannya dengan baik.

"Bagiku, bagi Analema, bagi Nikala, dan bagi nama-nama lain yang telah kau ciptakan, kami adalah sosok yang nyata. Kami adalah sosok yang dipertemukan Tuhan dengan berbagai alasan dan tujuan, tetapi bagimu ... bagimu dunia ini tidak nyata—"

"Sia—"

"Tempat kita terjebak sekarang, ruang hampa ini, semuanya tidaklah nyata bagimu. Ini bukan alam semesta yang kau tinggali."

"Nakula...."

"Ya. Kau mungkin berpikir Analema telah benar-benar merebut posisimu, kau mungkin berpikir ini nyata, kau mungkin berpikir sekarang kaulah yang terjebak di kepalanya Analema, tetapi tidak. Kau ada di kepalamu sendiri. Kepalamu yang merancang semua alur ini. Kau sendiri yang bilang bahwa posisi Tuhan tidak bisa diambil oleh manusia, maka posisi seorang penulis tidak bisa diambil alih oleh tokohnya."

Netra biru laut itu menatapku begitu dalam. Entah cokelat atau hitam yang dilihatnya pada manik mataku, warnanya berubah mengikuti kadar cahaya di ruangan.

"Aku tidak tahu apa yang kau alami...."

Aku berusaha masuk ke dalam matanya, seperti ada alam semesta di dalam sana.

"....kau harus belajar menerima...."

Aku sadar aku mengimajinasikannya dengan baik.

"....pada akhirnya Analema melupakanku dan jatuh cin ... lalu Nikala...."

Hidung bangirnya, bibir merah muda alaminya, rahang tegasnya, oh ... apa yang dikatakan laki-laki tampan di hadapanku ini?

"....segala hal ... kau tahu ... konstelasi waktu ... nebula ... kau oke? Kau mendengarku?"

Ruang hampa tempatku terjebak bersama Nakula berubah hanya dalam satu kedipan mata. Nakula mendekapku tepat sebelum aku menutup mata, sebelum aku kembali di hadapan laptopku yang menampilkan naskah Kedai-Kedai Mimpi Nebula. Lembar 273, pada bab hilangnya Analema.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Mar 30 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

luminosityWhere stories live. Discover now