7

884 142 53
                                    

Udah berapa kali streaming seven kalian?
.
.
.

)❥❥❥ 𝓗𝓪𝓹𝓹𝔂 𝓡𝓮𝓪𝓭𝓲𝓷𝓰 ❥❥❥(
.
.
.

"Eomma! Itu toko apa sih? Kok lucu, ayo kita ajak appa ke sana nanti!"

"Eomma! Es krim di sana itu sepertinya enak. Aku mau!"

"Eomma! Apa beli makanan di pinggir jalan itu tidak apa-apa? Tidak kotor, ya?"

Ara tidak membayangkan sebelumnya, jika membawa anak orang kaya naik bus akan semerepotkan ini, terlebih lagi panggilan eomma yang kerap kali keluar dari mulut si rubah kecil itu merebut atensi setiap orang yang ada di sana. Beberapa ada yang terkekeh, beberapa ada yang menatap Bora dan Ara bergantian, agaknya miris melihat pergaulan anak muda zaman sekarang. Bahkan ada yang secara terang-terangan memicing saat anak kecil itu menanyakan perihal kehigienisan makanan pinggir jalan.

Ara menghela napas panjang, memejamkan mata berusaha bersabar dengan ulah si buntalan lemak. Ia lalu menimpali ucapan Bora dengan mendaratkan telunjuknya di depan mulut, berharap gadis kecil itu bisa sedikit tenang barang sedikit.

Setelah menghabiskan waktu kurang lebih tiga puluh menit dengan menaiki bus menuju alamat yang dituju, Ara kembali menuntun Bora agar anak itu tidak terlalu antusias. Sebenarnya itu hal yang wajar, mengingat setiap hari turun naik mobil pribadi, menaiki angkutan umum jelas menjadi pengalaman baru yang begitu seru bagi anak itu.

Ara menunduk dan menggigit bibir bawahnya resah, kala beberapa orang di dekat pintu bus berkata dengan suara cukup keras. Mengatakan hal buruk sambil menatapnya, seolah ia adalah contoh nyata dari pergaulan remaja yang tak layak ditiru. Agaknya ia merasa kesal karena orang-orang itu secara terang-terangan mencibir dan menatapnya dengan pandangan merendahkan. Tidakkah mereka itu jahat? Kenapa tidak mencari fakta dan langsung menghakimi, itu namanya fitnah bukan?

"Bora-ya, bisa tidak kau berhenti memanggilku Eomma?" pinta Ara sesaat mereka turun dari bus. Kini mereka berjalalan bersisian bergandengan tangan.

"Kenapa?"

"Kau membuatku disalahpahami banyak orang, tahu! Mereka menganggapku buruk karena mengira kau benar-benar anakku."

Langkah Bora melambat, kini menatap ujung sepatunya dengan bawah bibir mencebik sedih. "Eomma benar-benar tidak mau jadi Eomma-ku ya? Apa aku sangat jelek, sampai Eomma tidak mau menjadi Eomma-ku?"

Langkah Ara ikut melambat, mengusap wajahnya pelan diikuti tarikan napas kelewat panjang. Pagi ini kenapa rasanya lama sekali, belum lagi ditambah rentetan pertanyaan Bora yang kadang tak masuk akal. Hari patah hatinya kenapa berubah menjadi hari yang merepotkan begini sih?

"Bukan begitu maksudku ...," ucap Ara dan jenis pembelaan seperti itu pun rasanya sudah cukup bagi Bora karena gadis kecil itu kembali mendongakkan wajahnya dengan senyum cerah. Kalau begitu Ara tidak jadi deh menjelaskannya, toh rubah kecil itu sudah menggoyang-goyangkan tangannya ceria lagi.

"Jadi Eomma mau 'kan, jadi Eomma-ku?"

"Terserah kau sajalah!" ujar Ara lelah.

Tak mencapai sepuluh menit berjalan, Ara dan Bora sudah tiba di depan gedung apartemen yang dimaksud. Baru saja Ara hendak menanyakan sesuatu pada petugas keamanan di depan pintu, sebuah pekikan nyaring menyambut kedatangan mereka.

Seorang wanita paruh baya berwajah teduh menghampiri keduanya lalu langsung memeluk si buntalan lemak seraya menangis histeris.
"Nona Bora! Kau ke mana saja! Imo sampai bingung harus mencari ke mana."

When Yoongi Says Marry Me | End 💜Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang