108

830 185 161
                                    

130 vote
150 komen
.
.
.
Happy reading
.
.
.

Yuna tengah mengoleskan salep memar pada punggung Ara yang lebam. Pukulan Bora tadi tak main-main, mengakibatkan punggung gadis itu membiru. Ia tadi tak terlalu memperhatikan, tak menyangka juga jika pukulan itu begitu keras, tetapi ketika melihat Ara menggerakkan punggung tak nyaman, ia langsung membuka kemeja belakang adik iparnya tersebut dan mendapati lebam yang cukup besar.

"Sudah." Yuna meletakkan salepnya, menutup kembali kemeja Ara pada posisi yang benar, "apa masih sakit?"

"Tidak terlalu."

Keduanya masih berada di kamar Bora, menemani anak gadis mereka yang kini tengah tertidur pulas. Secara bersamaan mereka menghela napas, lalu saling menatap satu sama lain dan tiba-tiba saja tertawa pelan.

Ara mengulurkan tangannya, dan Yuna yang paham, langsung menepuk tangan adik iparnya itu, menggenggam erat. Perasaan mereka begitu lega, merasa telah melakukan tugas dengan baik.

"Eonnie, aku tidak bisa membayangkan kalau kau telat sedikit saja mencabut selang infus Bora," ujar Ara menyandarkan tubuhnya pada Yuna.

"Kau juga sudah melakukan yang terbaik agar Bora bisa mengeluarkan emosinya. Andai enam bulan yang lalu aku mengikuti saranmu untuk membawa Bora ke psikiater, mungkin hal ini tak akan terjadi." Yuna berujar penuh sesal.

"Andai enam bulan yang lalu aku tidak terburu-buru mengambil keputusan untuk kembali ke Jepang, pasti emosi Bora tak akan meledak seperti ini. Aku, Eonnie, Jimin Oppa dan Yoongi Oppa, kita semua punya andil yang sama pada kondisi mental Bora yang memburuk, tapi Eonnie, ini bukan saatnya mencari siapa yang salah. Bora butuh kita semua untuk sembuh."

Yuna tersenyum, mengangguk kecil. Ia terdiam cukup lama, memperhatikan wajah sang putri yang kini telah tumbuh menjadi remaja cantik. Banyak hal yang dia lewatkan pada tumbuh kembang Bora.

"Saat aku merawat dan membesarkan Junkyu, aku terus saja terbayang rasa bersalahku karena tak bisa merawat Bora sejak bayi. Aku terus melakukan yang terbaik pada Junkyu sebagai penebusan dosa pada Bora, tetapi aku justru kembali melewatkan banyak hal tentang anakku yang kini mulai remaja. Harusnya aku tak hanya memantaunya lewat telepon atau pesan, harusnya aku menanyakan kabarnya secara langsung, harusnya aku menjadi teman yang bisa dia ajak bertukar cerita tentang harinya di sekolah. Aku ... merasa gagal menjadi ibunya, benar-benar gagal."

"Harusnya aku juga tak pergi darinya, Eonnie."

Ara menghela napas, memejamkan mata dan hampir tertidur di bahu Yuna karena baru bisa merasakan lelah, tetapi suara sayup sang kakak ipar membuatnya kembali terjaga.

"Maaf."

"Wae? Eonnie, kenapa menangis?" tanya Ara terkejut, mengusap air mata di wajah Yuna. Bagaimana tidak, tadi mereka baru saja tertawa, lalu kakak iparnya kembali menangis dan meminta maaf, itu membuatnya sangat tak nyaman.

Yuna menatap wajah Ara cukup lama, tak tahan ia langsung memeluk tubuh adiknya erat, menangis tersedu-sedu, tetapi berusaha menahan suara agar Bora tak terganggu. "Semua ini karena kesalahanku. Aku yang membuat kekacauan. A-aku, aku ... maafkan aku. Maafkan aku, Demi Tuhan saat itu aku dan Yoongi tidak sengaja melakukannya."

Yuna melepaskan pelukan, tersedu beberapa saat, menggenggam tangan Ara erat. "Aku bersalah, aku bodoh, aku si dungu yang menghancurkan seluruh kebahagiaanmu. Ra-ya ... demi Tuhan, hingga detik ini, setelah kejadian malam itu, aku tak pernah hidup dengan damai. A-aku tidak sempat meminta maaf dengan benar padamu. Aku terlalu takut, terlalu pengecut dan akhirnya terlambat karena kau menghilang begitu saja. Jimin bahkan tak membiarkanku bicara padamu, tak mengajakku serta ketika dia bilang ingin mengunjungimu ke Jepang...."

When Yoongi Says Marry Me | End 💜Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang