Prolog

44 13 3
                                    

Malam itu, ia bermimpi.

Ia berdiri di dalam sebuah kuil yang memancarkan pendar kebiruan. Seperti cahaya bulan. Lantas berada dalam kesendirian, ia melangkah. Tempat ini terasa begitu asing, padahal ia seringkali berkunjung. Bahkan, suasana yang ia temukan terasa lebih mencekam. Aura gelap yang seharusnya tidak hadir di tempat suci ini. Jelas, ada sesuatu yang tidak beres.

"Siapa di sana?"

Matanya menangkap sekelebat bayangan bergerak cepat dari arah depan. Mengalihkan perhatiannya. Sesaat langkah perempuan itu sempat terhenti. Pikirannya bergejolak untuk menyuruhnya pergi dari sana, tetapi nuraninya mengatakan untuk terus masuk ke bagian yang lebih dalam. Ia merasa ada kehadiran yang tak diinginkan hadir di dalam sana. Menunggunya sembari menyapa, "Aku sudah menunggumu sejak lama. Kemarilah,"

Begitu sampai di main hall, semuanya berubah. Seratus delapan puluh derajat. Tempat yang ia kenali, seperti terkena sihir menjadikan sesuatu seperti ruangan pertunjukan. Ada lampu kandelir antik besar tergantung di bagian tengah langit-langit yang berbentuk seperti kubah. Benda itu memancarkan sinar kebiruan layaknya api kompor. Pencahayaannya remang-remang

Ada deretan lukisan dan foto di antara jendela antik, pajangan-panjang makhluk hidup, jam dinding besar, pilar-pilar megah, meja-meja, dan banyak kursi. Seperti kursi penonton. Dindingnya dicat dengan warna kelabu gelap, sedangkan lantainya beralaskan karpet sewarna darah yang terbentang sampai ke atas sebuah tangga besar menuju lantai dua.

"Aku di mana?"

Ia bertanya kepada keheningan. Namun, tentu saja tidak ada keheningan yang bisa berbicara. Hanya suara desiran angin yang bermunculan silih berganti. Lalu, matanya memandang ke arah depan. Alangkah kagetnya ia menemukan sebuah lubang besar berada tepat di tengah ruangan, persis di bawah kandelir antik. Belum lama sejak ia memperlihatkan rasa keterkejutannya, suara yang lain muncul.

Kali ini suara yang dimiliki seorang manusia.

"Semua ini salahmu, Runefall."

Perempuan yang dipanggil Runefall terkesiap. Terdengar suara yang dalam dan berat dari arah belakang bersama derap langkah kaki seseorang. Suara itu terdengar seperti suara lelaki muda berumur 20 tahun. Ia memutar tubuh ke belakang sembari berkata, "Aku mengenalimu. Mengapa kamu ada di sini? Apa yang kamu lakukan?"

Runefall tidak bisa mengeluarkan kata-kata selain pertanyaan. Ada banyak tanda tanya yang bergelantungan di setiap sisi kepalanya. Membutuhkan jawaban untuk dikuak. Namun, lelaki samar-samar yang ditutupi kabut itu lantas melewatinya. Ia berjalan tepat kea rah lubang besar yang menganga. Seperti lubang hitam.

Lelaki itu melompat ke dalam.

"Tidak!" jeritnya. Ia tidak bisa menggagalkan aksi dan berakhir menjadi penonton.

Begitu laki-laki itu terjatuh, sesuatu keluar dari dalam lubang. Sebuah makhluk kecil. "Bukankah itu ... kelinci?"

Benar. Penglihatannya tidaklah salah. Makhluk itu benar seekor kelinci dengan bulu hitam pekat. Bola matanya merah layaknya sewarna darah, menatap Runefall tajam. Ujungnya berkilat seolah menunjukkan tanda tidak suka. Tidak ada adegan yang terjadi sampai, kelinci itu mengeluarkan asap dan berubah.

Tepatnya bertransformasi. Menjadi seseorang yang tidak ia kenali.

"Kamu bukan orang yang berasal dari sini. Siapa kamu?"

Sosok itu tergelak seakan meremehkan. "Kau tahu? Ketika seseorang sudah diambang putus asa dan kehilangan harapan atau ketika mereka sedang ditimpa masalah yang begitu menghunjam tubuh mereka, pasti mereka akan berdoa, bukan? Ya, mereka berdoa dan memohon agar diberikan kemudahan untuk mengatasi semua marabahaya. Bahkan ada yang berdoa agar bisa terbebas dari mimpi, seperti dirimu. Kau saat ini berpikir sekarang sedang bermimpi, kan?"

Runefall tertegun.

"Bagaimana jika semua ini nyata? Bagaimana kemunculan lubang kelinci menjadi pertanda sebuah kejadian besar di masa depan. Bisakah kau meramalnya?

Begitu sosok di balik kabut gelap itu berkata, Runefall merasakan kengerian baru saja menggerogoti tubuhku. Darahnya berdesir jauh lebih dahsyat. Nuraninya berteriak seakan-akan mengatakan bahwa seseorang yang berada di depannya saat ini adalah sosok yang harus ia singkirkan. "Si-siapa kamu?"

Sosok itu tertawa lantang, seperti tawa penjahat yang memenangkan suatu pertempuran hebat. Matanya melotot penuh intimidasi. Ia tidak berhenti berjalan mendekati. Sekarang pikiran-pikiran buruk bermunculan bagai laron yang mengerubungi lampu.

Sosok itu tersenyum semakin lebar. Senyum penuh kemenangan. "Nemesis."

***

Masquerade of The GuiltyWhere stories live. Discover now