Chapter 8: A Man Named Oslo - 20% Remaining

20 3 0
                                    

Sejak dulu, Ellie tidak pernah terpikir bagaimana jika ia menghadapi kematian secara nyata.

Dalam permainan RPG & MMORPG yang sering ia mainkan, karakter bisa mati lebih dari sekali. Hidup kembali di katedral dan menjalankan misi seperti biasa. Nyawa bukanlah hal penting di dalam sana. Kau bisa hidup abadi asalkan ada seseorang yang mengaturnya. Orang yang disebut sebagai player. Sekarang, Ellie adalah gabungan keduanya. Karakter dan juga pemain dalam satu tubuh. Bedanya, nyawanya hanya bisa digunakan satu kali. Ketika kematian menjemput, ia tidak akan bisa lagi merasakan udara yang bertebaran.

Meskipun ia penjahat, tetapi dalam satu sisi Ellie merasa takut. Takut akan kematian. Ia selalu bergerak dalam bayang-bayang, orang yang bekerja di belakang layar. Tak tersentuh oleh kematian, begitu ia pikir. Mungkin apa yang terjadi sekarang bisa disebut sebagai redemption. Penebusan atas apa yang sudah gadis hacker itu lakukan selama hidup di dunia. Penebusan atas tindakannya yang memanipulasi orang lain, sehingga ia tidak pernah tertangkap. Dan sekarang, Ellie merasakannya.

Saat energi panas melesat maju hendak menghanguskan tubuhnya menjadi debu, Ellie tahu ia tidak bisa mengelak lagi. Kematian menggenggam kakinya erat, menahan lajunya. Ia hanya bisa memandang serangan itu semakin lama mendekat dan mendekat. Hawa panas yang tercipta mulai menjadikan wajahnya merah. Meleleh secara perlahan-lahan. Setidaknya ia akan mati tanpa rasa sakit. Di sinilah, Ellie mulai mengingat masa lalu. Masa-masa bahagianya sewaktu diadopsi oleh Lord Betelgeuse.

"Jangan pernah menyerah pada kematian, Sayang!"

Suara familiar itu hadir dalam pikiran Ellie. Suara Lord Betelgeuse. Begitu matanya membuka kembali, gadis itu menyaksikan bagaimana sesuatu yang selama ini jarang ia gunakan berhasil menjadi pelindungnya.

Mr. Betelgeuse.

Boneka kelinci putih yang selalu menjadi teman bisunya, kini melayang di udara. Menjadi pelindung baginya. Dari dalam boneka itu, sebuah roh kegelapan keluar membentuk sebuah entitas. Kelinci hitam raksasa. Ellie terkesiap. Gadis itu tidak pernah sekalipun berpikir, benda warisan itu akan benar-benar menjadi malaikat penjaga. Selama ini, Mr. Betelgeuse hanyalah teman bicaranya. Benda yang menyerap emosi negatif. Roh kelinci itu sempat menengok Ellie sebentar sebelum meraung dan menahan hantaman dari energi yang dahsyat.

"Mr. Betelgeuse!"

Keheningan sekali lagi menyebar dengan cepat. Ellie terhindar dari kematian, namun sebagai ganti pertukarannya, Mr. Betelgeuse musnah. Roh kegelapan itu hancur bagai gelas kaca dan wadahnya hangus terbakar. Kini ia tidak lagi memiliki roh kelinci penjaga.

"Mengesankan sekali," komentar Runefall sembari diselingi tepuk tangan. "Meskipun nyawamu terselamatkan dari serangan dahsyat yang kau ciptakan sendiri, pada akhirnya kau juga akan mati."

Benar.

Kini tidak ada lagi pelindung Ellie ataupun Astra. Mereka berada dalam posisi sangat rentan, terlebih ketika para prajurit mulai bersiaga untuk menyerang. Hanya tinggal menunggu arahan dari Runefall, nyawa mereka berdua akan kembali ke alam baka. Ellie tidak merespon ucapannya dan lebih memilih untuk bergerak mendekati rekannya. Dilihatnya hologram vision, masih berstatus overheat dengan sisa batrai 10%. Tidak ada yang bisa gadis itu lakukan untuk bertahan atau menyerang selain menunggu keajaiban.

Lagipula, memangnya ada keajaiban bagi penjahat seperti mereka? Dunia tidak pernah adil bagi para penjahat meskipun ia sudah bertindak seenaknya.

Akan tetapi, pertanyaan dari kepala Ellie terjawab sudah. Lantunan seruling itu muncul di mendadak bagai hujan di tanah tandus. Namun, ada yang berbeda dari tubuh Oslo. Aura yang ia keluarkan semakin gelap. Kental. Menyerupai malam kelam. Runefall sempat berkata bahwa kedatangan Oslo adalah untuk menyaksikan eksekusi Astra dan Ellie, tetapi wanita itu salah.

Oslo justru berdiri di depan Ellie dan Astra.

"Pada akhirnya, kau juga akan menjadi pengkhianat keluarga Seefam, Oslo."

"Meskipun aku memihakmu sekali pun, pada ujungnya kau tidak akan pernah bisa menerimaku. Aku sudah mendengar semuanya sejak awal. Seer yang kehilangan ramalannya, tidak pernah bisa dipercaya. Bukan begitu, Archimage?"

Sempat terkejut dengan pernyataan Oslo, Achimage Runefall tertawa. Tidak disangka Oslo sudah merencanakan semua ini dengan menguping dan menyaksikan layaknya penonton. Archimage berusaha meyakini Oslo, tetapi keyakinan yang ia tawarkan justru menambah kegelapan penuh amarh dari dalam diri Oslo. Dan di sana, Ellie menyaksikan sesuatu yang berbeda dari lelaki itu.

Sisi kejam Oslo.

Prajurit yang diperintah Runefall untuk menyerang mereka tiba-tiba berhenti bergerak. Lantunan musik yang dibunyikan bertindak layaknya tali yang mengekang boneka. "Marionette: Dead End Symphony". Semakin prajurit itu memaksa bergerak, benang-benar sihir yang terlihat menyayat tubuh mereka satu persatu. Seperti mata pisau yang tajam. Suara teriakan rasa sakit bersatu padu bersama melodi kematian Oslo. Menciptakan nuansa yang berbeda.

Ellie memandang punggung lelaki itu. Karena Bug Infection yang ia tempelkan pada Oslo, suatu sosok yang keji terlahir. Matanya tidak bisa berpaling menyaksikan pertempuran penuh kebencian itu. Moon Temple yang suci, kini ternodai darah dan amarah. Layaknya sebuah file yang corrupt. Sementara mereka sibuk bertempur, Ellie mulai mendapat ambisinya kembali. Ia memanfaatkan momen ini dengan mengaktifkan hologram visionnya. Walaupun status overheat belum sepenuhnya hilang, tetapi ia bisa melakukan satu hal. Bukan serangan ataupun pertahanan untuk membantu oslo. Ellie justru membuka penyimpanan pada hologram visionnya.

Data audio yang bernama Once Upon A Time.

"Ellie, jangan bertindak gegabah!" Astra melarangnya.

"Ini adalah saat yang tepat untuk menciptakan pertunjukan," gumam Ellie. Ia berjalan tertatih mendekati Oslo yang kini sudah tersudut. Serangannya pada Runefall ternyata tidak memiliki dampak yang signifikan.

"Aku tahu kau masih membenciku, Oslo," ujar Ellie tiba-tiba. "Tapi, aku berterima kasih padamu karena berkat kehadiranmu, tujuanku bisa tercapai."

Mendengar kata itu Runefall menjadi panik. Ia menyerang Ellie, namun serangan itu digagalkan oleh Oslo yang termakan kegelapan.

"Pada zaman dahulu kala, ada sebuah monster yang tertidur di kedalaman Rainvyille," sahut Ellie, ia mulai mendongeng. "Monster itu diyakini warga sebagai pelindung dari marahabaya. Makhluk yang ditakuti oleh musuh. Namun, hanya Archimage tertinggi yang dapat membangunkan monster itu. Monster berbentuk naga air itu pernah menyelamatkan Rainvylle dari ambang kematian. Ia dianggap pahlawan, penjaga, leluhur. Sayangnya, sejak saat itu kehadirannya tidak pernah lagi dibicarakan. Ia hanya berakhir menjadi mitos dan legenda dalam cerita rakyat. Hingga suatu hari, seorang gadis pendongeng dari negeri yang jauh berhasil membangunkan monster itu. Namun, ada yang berbeda. Monster itu menjadi marah karena telah dikhianati oleh warga Rainvylle. Kali ini, ia akan menuntut balas. Nah, Archimage, kau paham maksud ceritaku itu, kan?"

Mata Runefall membelalak. Ia sadar sepenuhnya tentang aksi yang hendak dilakukan Ellie. "Tidak mungkin. Kau tidak akan pernah bisa membangunkan Sea Flumment."

Ellie tertawa kencang. Rasanya kini keadaan sudah berganti. "Sekarang rasakan kemarahan dari makhluk yang kalian anggap mitos, wahai Archimage dan warga Rainvylle!"

Tanpa menunggu apa-apa, Ellie mengaktifkan file tersebut dan suara Runefall yang sedang membaca mantra menyebar ke segala penjuru. Detik itu juga, Oslo memainkan serulingnya. Musik bernada A Field in A Spring, tetapi dalam versi terkena virus.

Tak lama setelahnya, suara guncangan dari kejauhan hadir bersamaan dengan erangan keras. Sea Flumment telah bangun dari tidur panjangnya.

"Selamat datang dalam Opera yang kuciptakan wahai hadirin," Ellie menyeru. "Judulnya, Masquerade of The Guilty."

***

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Aug 23, 2023 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Masquerade of The GuiltyWhere stories live. Discover now