[10]Jawaban dari Hati

240K 15.1K 385
                                    

"Uweeekkk... Uweekk." Aku terkekeh melihat wajah Arin yang merah matang. 

"Udah belum muntahnya?" Aku mengelus-elus tengkuk Arin. Mencoba menolong sahabatku itu sekaligus terkikik geli. Rasanya senang sekali melihat Arin menderita. *ups

"Sialan lo ye.." maki Arin sambil mengelap bibirnya dengan tisu.

"Ehhh durennya belum abis nih!" teriak Rio yang berdiri dekat kolam, tangannya sibuk membelah durian segar.

"Persetan lo Yo!" bentak Arin kesal. Sedangkan Rio itu hanya cengengesan lebar.

Sore ini, tepatnya sepulang sekolah, aku, Sena, Arin, dan Rio, bermain ke rumahku. Arin ingin melunaskan sumpahnya waktu itu. Ya, aku jadian dengan Sena! Aku saja sudah lupa kalau Arin pernah bersumpah kayak gitu. Bahkan aku sudah bilang untuk melupakan hal tersebut, tapi ia kekeuh untuk tetap menjalani sumpahnya. 

Arin langsung ke kamar mandi untuk merapihkan bajunya. Aku dan Rio hanya tertawa lebar melihat penderitaan Arin yang phobia durian. Namun, dia tetap menajalankan janjinya hingga memaksakan diri untuk memakan buah itu. Baru dua biji, bibir dan perutnya sudah menolak, dan akhirnya muntah.

Di saung, aku melihat Sena yang membaca buku dengan tenang. Dia seperti tak terganggu akan tawa kami, mungkin lebih tepatnya dia meniadakan keberadaan kami. Aku menghampiri dan duduk di sampingnya.

"Lo suka duren gak?" tanyaku. 1 detik, 2 detik, tidak ada jawaban. Aku tau, Sena akan lebih memilih membaca buku daripada mengobrol denganku. Baru kemarin jadian, aku udah dicuekin lagi.

"Eh Senaa..." rengekku sambil menarik-narik kaos yang di pakai Sena. Cowok itu menengok, lalu mengangkat alisnya sebelah tanda bertanya. Tatapannya tidak menyiratkan dia tertarik denganku. Aku hanya cemberut dan menggelang pelan.

"Gak jadi deh." jawabku sebal.

"Kenapa?" Sena bertanya datar. Belum sempat aku menjawab, Rio sudah berdiri di hapadapan kami.

"Ngapain lu kesini?! Ganggu aje!" ketusku bercanda.

"Gak boleh berdua-duaan." Dia langsung naik ke saung tanpa di perintah dan duduk sambil menikmati durian. Arin juga datang dengan baju yang sudah di ganti.

"Sialan lo pada!" keluh Arin dan kini mereka berempat sudah berkumpul di saung.

"Sena kok lo bisa jadian ama Kena sihhh??" Tanya Arin langsung kepada Sena.

"Kepo." balasnya singkat, padat, nyelekit.

"Kurang ajar lo ama atasan!" Arin menjitak Sena yang tidak dibalas apa-apa olehnya. Mereka teman satu ekskul Mading di sekolah. Aku tergelak, Sena itu kalo diapa-apain pasrah aja.

"Ceritain dong jadiannya gimana kemaren!" seru Rio sambil mengemut biji durian.

"Jorok banget lo Yo!" Arin tampak jijik.

"Saya tidak berbicara dengan Anda. Saya berbicara dengan Mr. Sena dan Mrs. Kena. Let's tell me about both of you." dengan berlagak sok ganteng Rio berbicara.

"Rio kepooo!!" ledekku.

"Kepo." Timpal Sena menusuk.

"Jahaha mampus di buat sekut lu ama temen sebangku!!!!" cela Arin, dan mereka pun lagi-lagi bertengkar kecil main cela-celaan. Sesekali aku ikut menimpali, dan menyadari bahwa Sena hanya diam tanpa memperdulikan kami.

***

"Gue pulang dulu." ujar Sena ketika hanya tinggal kami berdua di depan gerbang. Langit sudah menampakkan mega merah yang membentang. Walau tadi siang mendung tetapi tidak turun hujan, dan sekarang adalah sore cerah dengan burung-burung yang berterbangan.

Mataku menatap Sena yang kini berdiri di depan. Sangking hitamnya mata Sena, aku tidak melihat pantulan diriku di bola matanya.

"Bola mata lu item banget." gumamku sendu. Sena tidak bereaksi apapun. Lagi-lagi detik terasa seperti tahun, dan waktu melambat di antara kami. Hanya saling menatap tanpa ada yang berkata. Apa yang sebenarnya Sena pikirkan?

"Gue mau nanya." Jantungku berpacu lebih cepat mendengar  Sena berkata. 

"Apa?" balasku ramah, membohongi diri yang kian menciut. Takut jika saja pertanyaannya benar-benar membunuhku.

"Kenapa lo jadiin gue bahan taruhan?" 

JDAR! Bagai petir yang menyambar hatiku hingga berkeping-keping. Begitu menancap di dada, sesak pun tak bisa aku hindarkan. 

"Gue gak jadiin lo bahan taruhan." Ada yang mendesak dari dalam mata, perih dan membuat basah.

"Gue denger perjanjian lo ama Arin. Kalo lo gak jadiin gue bahan taruhan, untuk apa Arin harus mengakui kekalahan dengan makan duren kayak gitu." Ujarnya menyudutkanku dalam tanduk kesengsaraan. Ingin sekali aku mencabut hatiku agar dia melihat bagaimana kondisinya sekarang. Lebih baik dia bertanya pada hatiku langsung untuk mendapat sebuah kejujuran. Tak pernah terbesit dipikiranku untuk menjadikannya bahan taruhan. Aku mencintainya, tulus.

"Demi Tuhan, gue gak pernah berpikiran untuk menjadikan lo taruhan. Gue emang ngebuat kesepakatan ama Arin, tapi gue gak pernah serius buat ngelakuin itu. Gue juga udah nyuruh Arin buat ngelupain itu. Tapi dia kekeuh ngaku kalah. Bahkan gue gak pernah sekalipun berfikir ada yang kalah dan menang." Ku rasakan ada yang mengalir menyusuri pipi. 

"Untuk apa gue ngebiarin hati gue terluka cuma untuk menangin taruhan yang gak ada guna. Kalo cuma buat taruhan aja, gue ga mungkin bisa sejauh ini. Gue pasti udah ngibarin bendera putih dari dulu." Tak bisa terbendung lagi, badanku bergetar. Aku menunduk agar isak tangisku tak semakin memecah.

"Apa alasan lo berjuang?" Pertanyaannya membuatku bungkam. 

"Apa berjuang harus pakai alasan? Apa menyayangi orang harus pakai alasan? Apa perjuangan gue selama ini gak cukup untuk menjadi alasan? Kenapa harus ada alasan jika rasa di hati tumbuh tanpa ada alasan?" Bibirku bergetar, nadaku naik satu octav. Disela tangis aku memaki, aku meluapkan semua emosi yang kian tak bisa ku tahan. 


———————————————————————————————————————-

Thanks untuk bintang, cerita ini aku dedikasi untuk kamu. Maaf kalau jelek ya heheheeee!!

Gimana ceritanya ? Saran lagi dongggg sarannnnn... Next-next-next chapter perjuangan Kena dimulai!!!

Thanks for reading -itsfiyawn



The Coldest Boyfriend[NASIONAL BEST SELLER]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang