[11]Atas Keyakinan

212K 13.9K 753
                                    

"Gue pulang dulu." Ucapku pamit kepada Kena. Gadis yang berada di hadapanku ini hanya menatapku nanar. Banyak sekali yang ingin aku bicarakan dengannya. Pertanyaan yang membusuk di otak memaksaku untuk meminta suatu kejelasan dari jalan yang buntu. 

Kesal ketika aku melihat Arin yang makan durian sampai muntah-muntah, bukankah itu artinya dia mengakui kekalahannya? Dan benar aku hanya sebagai taruhan! Apalagi melihat Kena yang tergelak, seperti tertawa puas atas kemenangannya. Kalau tau aku hanya sebagai objek bukti kekalahan Arin, aku takkan menuruti Kena untuk kerumahnya. Alhasil, tadi aku bukannya tertawa bersama Kena dan menikmati waktu bersama, malah terdiam jemu sepanjang permainan.

"Bola mata lu item banget." Kena menggugam pelan. Jelas masih bisa ku dengar. Semakin aku menatapnya, rasa penasaran semakin menyeruak. Ya, aku harus bertanya langsung, dan mencari sebuah kejujuran yang ia pendam. 

"Gue mau nanya." tanyaku datar. 

"Apa?" Responnya sambil tersenyum, terpaksa. Ada kegugupan di balik sana.

"Kenapa lo jadiin gue bahan taruhan?" To the point, ada perasaan bersalah setelah pertayaan ini terlontar. Wajah Kena memucat, ada kekecewaan mendalam di balik sinarnya. Apakah aku salah bertanya? Aku hanya ingin menanyakan apa yang ada dalam hatiku.

"Gue gak jadiin lo bahan taruhan." Matanya mulai basah dan memerah. Ada luka yang tergores di relung jiwa, membuatku ingin segera minta maaf dan memeluknya. Tapi tidak, meski sakit, aku harus melakukan ini. Untuk menuntaskan apa yang selama ini aku khawatirkan. Aku harus tenang.

"Gue denger perjanjian lo ama Arin. Kalo lo gak jadiin gue bahan taruhan, untuk apa Arin harus mengakui kekalahan dengan makan duren kayak gitu?" kataku dengan nada pelan. Dia menatapku tidak percaya, seakan berkata 'Jadi lo gak percaya ama gue?'

 "Demi Tuhan, gue gak pernah berpikiran untuk menjadikan lo taruhan. Gue emang ngebuat kesepakatan ama Arin, tapi gue gak pernah serius buat ngelakuin itu. Gue juga udah nyuruh Arin buat ngelupain perjanjian kita. Tapi dia kekeuh ngaku kalah. Bahkan gue gak pernah sekalipun berfikir ada yang kalah dan menang." Air matanya mengalir begitu saja, membuatku merasa bagai seorang pecundang karena telah membuat wanita menangis. Ya Tuhan, apa-apaan aku ini! 

"Untuk apa gue ngebiarin hati gue terluka cuma untuk menangin taruhan yang gak ada guna. Kalo cuma buat taruhan aja, gue ga mungkin bisa sejauh ini. Gue pasti udah ngibarin bendera putih dari dulu." Sambungnya membuatku mati berdiri. Prinsipku berhasil ia runtuhkan dengan sekejap. Ketulusan itu bisa aku rasakan dengan nyata. Tapi, masih ada satu pertanyaan mengganjal.

"Apa alasan lo berjuang?" Tak habis pikir saja, gadis ini repot-repot mendekatiku yang selalu mengabaikannya.

"Apa berjuang harus pakai alasan? Apa menyayangi orang harus pakai alasan? Apa perjuangan gue selama ini gak cukup untuk menjadi alasan? Kenapa harus ada alasan jika rasa di hati tumbuh tanpa ada alasan?" Tangisnya benar-benar memecah. Dia meluapkan semua emosinya, memaki diriku, dan sukses menampar hatiku. 

"Sejak kejadian itu, ada rasa di hati gue. Gak peduli sejahat apapun lo dimata orang, tapi gue yakin masih ada rasa hangat dibalik dinginnya elo. Gue coba buat meluluhkan hati lo, walau gue harus ngorbanin perasaan gue. Dan elo gak pernah sedikitpun ngehargain gue. Tapi keyakinan di hati gue selalu menumbuhkan harapan baru. Gue sayang sama elo, dan gue berjuang, sendirian." Isaknya berusaha memperlihatkan isi hati. Sebuah kejujuran menarikku untuk percaya pada apa yang ia katakan. Aku percaya, tangisnya tulus, linangannya sendu. Begitu perih, menyayat hatiku. Seterpuruk itukah? Sesakit itukah?

Aku tertunduk, aku tak bisa berkata apapun. Keegoisan ini telah menutupi kinerja hati yang masih berfungsi. Dan gadis yang menangis ini, dengan susah payah menumpas keegoisan yang aku bangun sendiri. Jadi, begini ya rasanya ditampar secara halus. Menyakitkan, begitu sesak, tapi membuatku sadar, hampir saja aku menyia-nyiakan dia. 

Aku mendekatinya, ku angkat wajahnya yang tertunduk. Ku basuh airmatanya yang mengalir deras.

"Hey, tatap mata gue." kataku. Dengan sesenggukan, mata coklat itu menatapku. Aku tersenyum. 

"Gak ada lagi yang berjuang sendirian. Gak hanya elo, gak hanya gue, tapi kita. Terimakasih, Kenarnya Hechira. Gue sayang elo." Ku belai lembut wajahnya. Dia melotot tak percaya. Ya, aku pun tak percaya aku bisa melakukan hal seperti ini untuk pertama kali. Dia mengagguk dan kembali tersenyum. Sinar yang tadinya redup kini terang kembali. 

"Yaudah, gue duluan ya. Bye." Kataku sambil mengacak-acak rambutnya. 

"Bye Sena! Hati-hati ya!" ujarnya walau agak bindeng, efek habis nangis. Aku melambaikan tangan dan melangkah dengan senyuman mengembang. Hari ini, aku mendapat sebuah pelajaran. Yang namanya rasa sayang itu memang tak butuh alasan. Gadis penggangu itu buktinya, dasar bodoh, dia telah membuat hatiku jatuh padanya.

-------------------------------

Yang ini gimana? Komen kalian akan sangat membantu saya untuk next chap. Thanks :)

Ini udah selesai diperbaiki, baru sampai sini. Biar gak bingung, ada bagian yang saya tarik. Jadi, bacanya sampai sini dulu yaaa tunggu chapt selanjutnya bakal lebih gregetttt  :)

The Coldest Boyfriend[NASIONAL BEST SELLER]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang