[20]Amarah

188K 9K 118
                                    

"Permisi, ada titipan untuk nyonya Kena." Seorang gadis muncul dari balik pintu dengan sebuah bingkisan di tangannya. 

"Arin?!" Mata Kena berbinar melihat sahabatnya yang kini masuk ke kamar lalu memeluknya erat. 

"Uuuu... gue kira lu belum sadar, miss you Ken," tutur Arin yang belum melepas pelukan Kena. 

"Woy lepasin kali badan gue masih sakit nih." Mendengar perkataan Kena, Arin spontan melepas pelukannya.

"Sorry, hehehe. Seneng banget gue. Sakit sebelah mananya?" Arin menarik bangku agar ia bisa duduk di sisi ranjang. 

"Semuanya. Sekujur tubuh gue lecet-lecet, kening gue juga luka, lalu........" Perkataan Kena menggantung ragu. Dia menggigit bibirnya, enggan melanjutnya kalimat setelahnya. 

"Lalu...?" kata Arin mencoba meminta kejelasan. Wajah Kena tertunduk lesu, hatinya begitu berat mengizinkan bibir yang hampir berucap. Dia memainkan jari tangannya untuk mengalihkan kesedihan yang mulai menelusup. 

"Gue lumpuh," kata Kena begitu pelan, bahkan hampir seperti gumaman. Arin masih bisa mendengar itu, dia langsung menyampirkan rambut Kena ke belakang telinganya untuk melihat wajah Kena yang kini dihias air mata. 

"Gue tau, bahkan sebelum lo sadar." Mata Kena terbelalak mendengar perkataan Arin. Dia menatap Arin yang kini sedang memandang ke luar jendela. Mulutnya hampir terbuka tapi Arin lebih dulu memberi penjelasan. 

"Ketika kecelakaan itu sampai ke telinga gue, gue langsung ke sini. Gue selalu nunggu lo sadar, gue gak bisa tidur ketika lo selesai diamputasi. Sampai tadi gue nanya kabar lo ke nyokap lo, dan dia bilang elo udah sadar dari semalam, yaudah gue langsung ke sini." 

"Jadi, lo juga tau keadaan Sena?" tanya Kena yang membuat Arin mengerutkan kening. 

"Kok Sena sih? Gak nyambung deh lo!" Arin sewot. Hatinya bergemuruh dan matanya memicing tajam. Ada sebuah kekesalan besar yang tersembunyi di balik sana. 

"Ya, semenjak gue sadar, gue belum dapat kabar tentang Sena." Kena menggigit bibir bawahnya. 

"Gue juga gak tau soal dia." Respon Arin seadanya.

"Sebenernya kenapa kaki gue bisa ampe diamputasi dehh?" 

"Lu kelindes mobil," jawab Arin sambil berjalan ke arah jendela. Disibaknya gorden putih yang menutupi kamar, terpampanglah pemandangan kota dari lantai 9 pada sore hari. Sinar matahari menembus kaca, membuat kedua gadis itu memicingkan mata karena silaunya. 

"Nah kan kalo kaya gini enak, kena sinar matahari nih kamar," gumam Arin pada dirinya sendiri. 

"Ceritain coba kejadiannya, gue gak bisa inget apa-apa," pinta Kena memelas. Arin yang berdiri di depan jendela hanya bisa menghela nafas panjang dan duduk di samping Kena. 

"Jadi gini, gue juga dapet info ini dari saksi mata. 

Motor Sena bertabrakan dengan mobil dari arah yang berlawanan. Bagian depan mobil hancur, begitupun dengan motornya Sena. Sena dan elo kepental, Sena terlempar ke depan, dan elo terlempar jauh ke belakang. Tubuh Sena mendarat di kaca mobil lalu jatuh ke aspal. Sedangkan tubuh lo terpental jauh dan berguling beberapa kali di aspal. Ketika lo tegeletak di jalanan, ada mobil juga yang melaju kencang ke arah elo. Mungkin karena hujan dan penerangan yang minim, dia gak sadar ada elo yang terkapar di tengah jalan. Ketika mobilnya deket, dia baru sadar ada elo dan langsung ngerem mendadak lalu banting setir untuk menghindari elo. Tapi sedikit telat, jadi mobilnya ngelindes satu kaki lo. Untung bukan seluruh badan lo." Arin menjelaskan sesekali tangannya ikut bergerak. 

Setiap kata yang keluar dari mulut Arin begitu jelas di telinga Kena, dicernanya kata demi kata untuk memperjelas rentetan peristiwa yang begitu mengganjar pikirannya. Dia menghela nafas panjang, kepalanya berdenyut tak karuan. 

The Coldest Boyfriend[NASIONAL BEST SELLER]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang