[22]Hanya Sebuah Bayang

254K 8.8K 130
                                    

Aneh adalah ketika kita satu atap satu lantai dengan seseorang tetapi tidak pernah saling bertemu. Ya, itulah yang terjadi antara aku dan Sena. Dia bagai seseorang yang menghilang meski keberadaannya masih bisa aku rasakan. Sudah seminggu lebih aku masuk sekolah tapi tidak pernah bertemu dengannya. Sampai kursi rodaku berganti jadi tongkat ketiak Onemed yang kini aku gunakan untuk membantuku berjalan, namun dia tidak kelihatan juga.

 

Jadi kalau dihitung, terakhir kali aku bertemu dengannya itu hampir sebulan yang lalu, ketika malam kecelakaan. Jangan tanya berapa kali aku menelpon dia, ratusan kali dengan hasil yang sama, tidak aktif. Apalagi sekarang aku disibukkan oleh persiapan ujian nasional yang begitu menyita waktu. Aku jadi tidak punya kesempatan untuk nekat ke kelasnya saat jam pelajaran, kalau istirahat aku tidak pernah bertemu dia. Saat pulang sekolah atau berangkat sekolah juga dia tidak menunjukan batang hidungnya. 

Sena hilang. Benar-benar tanpa jejak. Tapi aku yakin, dia ada di sekolah ini, sedang duduk di bangku kelasnya memperhatikan pelajaran. Walau sepertinya waktu tak mengizinkan kami bertemu, memaksaku untuk menyimpan rindu yang tak berujung. 

"Bengong aja, kerjain woy," tukas Arin membuyarkan lamunanku. Aku hanya mengangguk pelan dan melanjutkan kembali soal yang dari tadi aku lenyapkan keberadaannya. Mungkin hari ini juga tidak bertemu, entah sampai kapan Sena bersembunyi dalam situasi yang tidak aku mengerti.

***

Malam mulai merangkak perlahan, menjadi pengganti sore yang kini sudah tak bersinar. Langit keunguan, matahari berganti jadi bulan yang bulat sempurna. Tidak hujan, tidak pula ada bintang. Hanya langit dan purnama. 

"Ma, kapan aku bisa pakai kaki palsu?" tanyaku ketika aku melihat ibuku di dapur sedang memasak untuk makan malam. 

"Nanti ya sayang, sabar dulu. Kan kamu baru beberapa hari pakai tongkat." Ibuku mematikan kompornya lalu menuangkan masakannya ke dalam mangkuk besar. Aroma sedap langsung menggelitik hidungku, membuatku tak sabar ingin mencicipi hidangan itu. 

"Oh gitu. Ngomong-ngomong, waktu Kena kecelakaan, emang cuma aku dan Sena yang jadi korban?" 

"Enggak kok. Pengendara mobil dan penumpangnya juga ikut jadi korban. Untungnya gak ada korban jiwa, semuanya luka-luka. Tapi, yang paling parah ya kalian." Ibuku menjelaskan sambil menyiapkan makanan di meja makan. Aku langsung berjalan sedikit tertatih karena menggunakan tongkat, setelah itu duduk di kursi. 

"Yang bertanggung jawab atas semua ini siapa?" 

"Semua sudah diurus kepolisian, dan ini murni kecelakaan. Biaya pengobatan dan segala tetek bengeknya juga sudah diurus oleh orang tuanya Sena. Pokoknya semuanya sudah beres deh." Jantungku langsung berhenti mendengar nama 'Sena'. 

"Jadi, Mama udah ketemu orang tuanya Sena?" Ada makna yang sangat berat di balik pertanyaan itu. 

"Udah dong, kan mereka yang biayain administrasi kamu di rumah sakit. Tadinya mereka juga mau biayain pengobatan kamu sampai kamu dapat kaki palsu, tapi mama menolak. Rasanya, biaya rumah sakit aja udah membantu mama banget, takut malah ngebebanin mereka." 

"Senanya sendiri gimana?" Semoga saja ada sedikit petunjuk untukku menemukan jawaban. 

"Sena? Dia kan udah keluar duluan dari rumah sakit sebelum kamu keluar. Padahal kamarnya dia juga gak jauh-jauh banget kok dari kamar kamu." 

DEG! Jadi, selama ini aku berada di rumah sakit yang sama dengan Sena? Jadi, cowok yang di balik pintu itu benar Sena? Tapi kenapa? Kenapa selama ini Sena menghilang? Kenapa dia tidak menampakkan dirinya di hadapanku? Kenapa yang dekat rasanya begitu sulit untuk aku tangkap?

"Loh, kok kamu bengong? Emang kamu gak dikasih tau Sena?" Ibuku sudah duduk di sampingku. Apa yang harus aku jawab? Tidak mungkin aku mengatakan bahwa semenjak aku sadar dia sudah menghilang. Hingga sekarang, dia terus bersembunyi, memaksaku untuk terus mencari karena tuntutan hati.  

***

Argh! Kenapa aku bisa ketiduran di taman belakang sih?! Lagian Arin kemana sih, kok dia gak bangunin aku?! Jadinya sekarang aku tergopoh-gopoh gini deh menuju ruang kelas. 

Dengan langkah gusar aku melompat-lompat kecil dengan satu kaki. Tongkat yang aku apit di ketiak menjadi pengganti kaki kiriku agar seimbang. Tertatih aku menyusuri lorong kelas yang gelap, rasanya lama sekali aku terseok-seok begini, seketika lorong itu seperti memanjang sementara aku tak kunjung menemukan belokan ke kelas. 

Sedang berusaha untuk mempercepat langkah, mataku tertumbuk pada sosok lelaki yang berjalan di depanku. Dia tidak melihat ke arahku, kakinya berbelok menuju ruang guru. 

"Se-na?" Aku bergeming, tubuhku kaku dan nafasku berhenti di tenggorokan. Benar kah itu? Aku mengedip beberapa kali walau sosoknya sudah menghilang dari pandangan. Dengan sekuat tenaga aku mengejar dia walau dengan tongkat yang sedikit aku seret. Aku harus cepat, aku harus menemukannya. 

Tapi sampai di belokan, tidak ada siapapun. Kosong. Hanya koridor kelas yang kosong. Aku tidak menemukan jejaknya atau tanda-tanda dia lewat sini. Apakah tadi halusinasi? Tidak, itu terlalu nyata untuk ukuran sebuah ilusi. Aku yakin itu dia. Jantungku berdetak cepat, nafasku tersengal akibat kelelahan mengejarnya, apalah daya aku telat. Lagi-lagi hanya rasa sesak yang aku dapat, dia sudah menghilang. Nyatakah tadi? Atau itu hanya sebuah bayangan semu? 

----------------------------------------------------

To Be Continue...

The Coldest Boyfriend[NASIONAL BEST SELLER]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang