2. NOT INVITED

15K 955 6
                                    

Sejak membaca komik pahlawan super besutan DC Comics, Danisa punya impian sederhana. Ingin jadi wartawan. Pasalnya, hampir semua perempuan di dalam komik pahlawan super yang ia baca punya profesi yang sama. Mulai dari Louis Lane dari Superman, Iris West dari The Flash bahkan Kara Zor El alias Kara Denvers, sang Supergirl juga menjadi wartawan.

Buatnya, wartawan adalah pekerjaan lain yang bisa mengubah dunia. Tulisan yang ditulis seorang wartawan bisa mengubah persepsi banyak orang. Memberitakan kebenaran bahkan bisa membantu orang-orang mendapatkan hak dan menyuarakan pendapatnya.

Media massa adalah raja. Di belahan dunia manapun, dalam medium apapun, media massa adalah kunci dari sebuah kesuksesan atau kegagalan. Mereka bisa membangun atau menghancurkan satu pihak bersamaan.

Tak tahu sial atau beruntung, masuk ke dalam klub jurnalistik tiba-tiba membawa sebuah kesempatan bagi Danisa untuk berinteraksi dengan klub fotografi. Dan tebak siapa ketua klub fotografi sekolahnya? Ya, Kiano!

Lagi-lagi, Danisa berpikir, bagaimana caranya Kiano dengan segala jiwa eksentrisnya bisa bergaul dengan semua orang. Sementara, Danisa malah tertinggal dan dikucilkan seperti orang pesakitan? Entahlah! Danisa belum menemukan jawabannya sampai detik ini.

Bunyi bel membuyarkan lamunan. Beberapa siswa tampak berdiri dan keluar dari kelas untuk makan siang. Sementara, Danisa buru-buru mengambil sebuah flashdisk dari kantong tasnya lalu berjalan ke arah ruang klub fotografi.

Danisa meremas angin dengan gugup sebelum membuka knop pintu klub fotografi. Ia mengulum bibir sambil merapelkan doa dalam hati. Tujuan kedatangan gadis itu tak lebih dari mengembalikan flashdisk berisikan foto-foto acara tujuh belasan sebagai materi pelengkap pada artikel koran sekolah yang terbit minggu depan.

Danisa cukup meletakan benda putih keperakan itu di atas meja Pak Ferdi—pengampu klub fotografi—lalu pergi. Tetapi, ada harapan lebih yang ia tanamkan. Ia berharap ada seseorang di sana. Seseorang yang selalu ia kagumi dalam diam. Walaupun, kemungkinannya kecil, mengingat setelah punya pacar, lelaki yang Danisa kagumi itu lebih banyak menghabiskan waktunya di kantin.

"Permisi," salam Danisa pelan.

"Sasa?"

Danisa terlonjak begitu mendengar suara berat itu dari dalam. Apakah hari ini adalah hari keberuntungannya?

Dari balik lemari, ia melihat sesosok lelaki jangkung yang tengah memegang kamera. Senyum lebar tampak dari tersungging di bibirnya. Kerutan di ujung matanya membuat lelaki itu tampak benar-benar manis.

"Ah, Kak Kiano." Danisa menjawab gugup.

Hening tiba-tiba melanda. Danisa tak tahu harus berkata apa. Lidahnya kelu. Ia masih gugup bahkan ketika Kiano sudah berpacaran dengan perempuan lain nyaris setengah tahun.

"Lo mau ngapain ke sini?" tanya Kiano memecah canggung seraya meletakan kameranya.

"Ah, itu!" Danisa buru-buru merogoh kantong rok seragamnya. Ia mengulurkan flashdisk warna perak ke arah Kiano. "Gue mau balikin ini, Kak."

Kiano mengangkat satu alis sambil mengambil benda itu dari tangan Danisa. Sejenak, Danisa bahkan bisa merasakan setruman kecil ketika tangan mereka bersentuhan.

"Sudah lo pindahin semua?" tanya Kiano yang dijawab anggukan oleh Danisa.

Lagi-lagi, canggung meliputi. Seharusnya, Danisa saat ini pamit lalu keluar dari ruangan itu. Tetapi, Danisa masih ingin berlama-lama. Lagipula, tumben Kak Kiano sendirian. Biasanya...

"Kian! Kamu masih di sini, kan?" Suara nyaring bernada tinggi dari arah pintu membuat Danisa menengok.

 There she is! Danisa menghela napas pelan melihat seorang perempuan berambut gelombang kecokelatan yang amat cantik berdiri di depan pintu. Isabella, namanya. Danisa yakin, gadis itu menghabiskan jutaan rupiah hanya untuk membuat rambutnya tampak berkilau seperti itu. Gadis tadi juga memodifikasi seragamnya dengan rompi rajut warna merah muda. Wajahnya diberi riasan tipis, menonjolkan matanya yang besar dan bibirnya yang tampak penuh.

Bersebelahan dengan Isabella membuat Danisa menjadi seperti upik abu. Dengan mengenakan seragam kebesaran yang polos begitu saja ditambah jaket hitam, ia jadi seperti anak gelandangan. Lebih dari itu, ia tidak ingin merasakan aura dominan yang keluar dari perempuan yang merupakan pentolan pemandu sorak itu.

Di tangan Isabella, tampak beberapa lembar kartu. Danisa tak tahu kartu apa. ia juga tidak berminat bertanya atau mencari tahu.

"Hai, Bel." Kiano menyapa santai ketika perempuan itu mengecup pipinya pelan. "Aku pikir kita bakalan ketemu di kantin."

Danisa menelan ludah. Afeksi yang diberikan Isabella di depan umum terhadap Kiano memang tidak main-main. Sementara, Kiano biasanya hanya diam tak berkutik. Danisa dengar, sudah beberapa kali keduanya dipanggil guru ke ruang bimbingan konseling. Naasnya, kelakuan Isabella masih sama saja! Danisa yakin, diam-diam, Kiano risih. Ya, kan?

 Merasa benar-benar transparan, gadis itu menarik napas panjang. Ia tidak mau merasakan sakit melihat kemesraan mereka.  "Kalau gitu, aku pergi ya, Kak Kiano." Danisa memutar tubuhnya, berencana keluar.

"Tunggu, lo! Adiknya Daniel, kan?" Suara nyaring dan ketus dari Isabella membuat Danisa berbalik.

"Iya, Kak," jawab Danisa takut-takut.

Isabela menghela napas tak suka. Ia mengambil sesuatu dari tasnya lalu menyerahkan selembar karton beraksen emas pada Danisa.

"Ini apa, Kak?" tanya Danisa lagi. Danisa tak bodoh. Ia tahu itu adalah kartu undangan ulang tahun ke delapan belas Isabela karena tertulis jelas di sana. Tetapi, Danisa tak tahu lagi harus merespon gimana.

"Undangan ulang tahun gue!" Isabella menjawab dengan nada ketus. Kaki Isabella melangkah ke arah Kiano lalu dengan sembarangannya duduk di pangkuan Kiano dengan posisi menyamping.

Danisa nyaris muntah. Matanya perih.

"Buat apa, Kak?" Danisa pura-pura bertanya.

Bola mata Isabella berputar. Menyadari Danisa yang pura-pura tidak tahu. "Daniel nggak pernah mau datang kalau lo nggak diundang."

Danisa diam. Ia tahu, Daniel selalu meminta siapapun mengundang adiknya itu ke pesta. Menurut kakaknya, itu akan membantu Danisa. Tetapi percayalah, aksi itu malah membuat semua orang semakin mencibir Danisa. 

Lagipula, Danisa tak suka berada di sana. Kebanyakan perempuan mendekati Danisa hanya untuk menitipkan surat cinta atau mendapatkan hati Daniel. Beberapa laki-laki datang mengira Danisa bisa diajak bersenang-senang dan jelas tak akan mungkin terjadi. Mereka semua tampak palsu dan menyebalkan.

"Tapi, lo nggak pernah datang, kan? Kalau gitu, jangan datang. Cukup bilang gue udah ngundang lo."

Kalimat ketus Isabella yang mengudara terasa cukup untuk mengoyak harga diri Danisa. Ia benci dengan orang-orang itu. Dan pula, kenapa Kiano—cowok paling ramah, lembut dan menawan—yang pernah Danisa kenal harus punya pacar ratu iblis seperti Isabela, sih?

"Bel..." Kiano menegur lembut.

"Aku kan ngomong fakta, Kian! Dia nggak pernah datang dan daripada jadi party pooper, ya kan?" Isabella mengangkat bahu kirinya. "We do win-win solution here."

Win-win solution, katanya. Danisa mendesis tipis sambil mengangguk. "Oke, kalau begitu. Thanks for the invitation. Aku pamit." Tanpa menunggu jawaban dari siapapun, Danisa berbalik dan membanting pintu klub fotografi keras-keras.

ia bergidik jijik. Tak peduli apa yang terjadi di dalam ruangan itu kemudian. Rasanya, ia mual. Di lorong yang sepi itu, tangannya meremas kartu undagan itu lalu melemparnya ke arah tong sampah.

Menyebalkan! Ini benar-benar menyebalkan!

ODDINARYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang