Ext 4. His Smile is Mine

7.5K 706 12
                                    

Matahari sudah terik ketika gerombolan anak-anak SMA berjalan berbaris ke lapangan. Danisa di sana, ikut berada dalam barisan bersama Samudera. Wajah perempuan itu tertekuk dengan pandangan kesal.

"Aku benci banget pelajaran olahraga," desis Danisa sebal. "Apalagi terik begini."

Samudera terkekeh. Ia berjalan di sebelah Danisa dengan perlahan. Beda jauh dengan Danisa, pelajaran olahraga adalah pelajaran kesukaannya. Sayang seribu sayang, Samudera malah tidak bisa berpartisipasi karena kakinya yang masih belum bisa digunakan.

Walaupun sudah mulai bisa berjalan, langkah Samudera masih agak lambat. Jadi, jangankan melompat, berlari saja, Samudera belum bisa, berjalan saja masih belum benar.

"Jangan manyun gitu dong! Aku justru iri karena pengen ikutan tapi nggak bisa." Samudera akhirnya menjawab.

Danisa meringis kecil. Ia lupa tentang Samudera.

Anak-anak kelas sebelas itu berbaris membentuk dua barisan. Danisa berada sedikit di belakang dengan Samudera di sebelahnya. Seorang guru berseragam olahraga berdiri di hadapan mereka.

"Hari ini jadwal pengambilan nilai sesuai dengan pemberitahuan sebelumnya, ya!" Suara berat itu membuat Danisa meremang.

Pelajaran olahraga di sekolah memang punya jadwal tetap pengambilan nilai yang akan dianggap sebagai nilai ulangan harian. Sebenarnya, tak ada yang peduli juga. Toh, pelajaran olahraga bukan sesuatu yang bisa dipelajari seperti pelajaran lainnya. Hanya saja, hari ini, subyek yang diangkat adalah basket dan sialnya, permainan basket bukan permainan yang dikuasai Danisa sama sekali terlepas dari kekasihnya yang dulu aktif bermain dengan bola oranye tersebut.

"Kalian akan melempar bola di tiga titik. enam kali di one point, empat kali two point, dan dua kali di three point. total dua puluh poin kalau kalian berhasil masuk semua." Si guru lanjut menjelaskan. "Itu artinya, setiap poin akan saya kalikan lima untuk saya konversi menjadi nilai ujian kalian."

Danisa menahan napas. Ini gila. Kepalanya berdenyut luar biasa. Matanya melirik ke arah Samudera yang bersikap tenang.

Jelas tenang, lelaki itu tidak perlu berpartisipasi sama sekali. Dalam pelajaran olahraga, ia hanya akan membuat kliping atau makalah. Biarpun, reaksi Samudera setiap membuat makalah itu selalu misuh dan marah-marah.

Para murid diminta menepi sementara guru mulai memanggil satu per satu nama murid. Danisa memainkan kuku-kukunya tegang setengah mati.

"Kenapa kamu?" tanya Samudera melihat air muka Danisa.

Danisa menarik napas. Ia menunjuk ke arah Amanda, anak perempuan yang jadi murid pertama yang maju. Sejauh ini, ia baru mendapatkan tiga poin.

"Hm? Apaan?" tanya Samudera lagi karena masih gagal paham.

"Kayaknya, aku nggak akan bisa dapet nilai sama sekali," ucap Danisa sambil menahan napas. "This is sucks."

Samudera menengok. Ia diam sejenak. Mungkin, bingung memikirkan apa yang harus ia katakan.

Amanda berakhir dengan skor tujuh point, yang berarti nilainya bahkan cuma tiga puluh lima. TIGA PULUH LIMA! Danisa menahan napas.

"Kamu tahu kalau nilai ini nggak mentah-mentah dikonversi dengan dikali lima, kan?" Samudera berkata santai melihat Danisa yang sudah sepucat kapas.

"Well, aku tahu, tapi nggak tahu. Maksudnya, aku nggak mau berharap dari nilai katrolan. Seenggaknya, aku harus bisa nyetak 14 poin supaya lulus, tapi, gimana caranya?" Danisa merenggut. "This is beyond my limit."

Samudera tertawa. Ia mengacak-acak rambut Danisa pelan. Walaupun Danisa sudah memperingatkan lelaki itu untuk tidak melakukan afeksi publik di sekolah, Samudera tetap melakukannya.

ODDINARYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang