26. JEALOUSY

9.1K 716 26
                                    

Mata Samudera terbuka dengan cepat ketika pagi menjelang. Ia tak pernah  seperti ini sebelumnya. Siapa yang suka bangun pagi di hari Senin? Tidak ada!

Tetapi, jantung yang berdebar membuatnya segar. Seolah-olah, ada sesuatu yang baik menanti hari ini.

Samudera sedikit mengerenyit taktala sesuatu yang aneh terjadi pada dirinya. Tidak! Lebih tepatnya, pada kaki kiri yang sudah lama tak bisa ia gunakan. Ia menggerakan kaki kiri itu pelan.

Tunggu! Kaki kiri itu, bergerak!

Gerakannya tidak terlalu besar. Hanya memutar satu sentimeter. Tetapi, kaki yang selama ini seperti tak ada itu kini mulai bisa ia rasakan.

Samudera buru-buru bangun untuk duduk di tempat tidurnya. Ia membelalak selebar-lebarnya. Ia mencoba sekali lagi menggerakan kakinya. Lagi, kakinya bergerak sedikit.

Samudera hapal betul setiap instruksi Riza, instruktornya di tempat terapi. Hal yang pertama kali harus ia lakukan dan usahakan adalah menekuk jari jemari kakinya.

Jadi, Samudera mencobanya perlahan. Baru tertekuk sedikit, kaki itu sudah kembali ke posisinya. Tetapi, sebuah kegembiraan dan setitik harapan seolah menguasai hati Samudera. Kakinya mulai bisa kembali bergerak!

Lelaki itu mencoba turun dari kasur. Dengan bantuan meja di samping tempat tidurnya, ia berdiri perlahan. Matanya menatap tongkat yang tersampir. Tetapi, ia mengabaikan tongkat itu dan mengepalkan tangannya erat-erat.

Samudera menarik napas. Ia mulai melangkah dengan kaki kanan, lalu kaki kiri, lalu kaki kanan lagi. Matanya membulat. Memang, besar langkah kaki kirinya sangat kecil dibanding kaki kanan. Seolah, kaki kirinya hanya terseret pelan. Mungkin, Samudera masih harus menggunakan tongkat karena jalannya masih sangat lambat.  Tetapi, ini sudah seperti keajaiban.

Samudera lupa kapan ia sudah menyerah akan keadaannya. Mungkin, pertengahan tahun. Empat atau lima bulan lalu, kemajuan Samudera berhenti hingga hanya dapat berdiri saja dengan kaki kiri itu. Walaupun Riza tampak tak ingin menyerah, Samudera tahu, dokter saja sudah berkata bahwa kemungkinan untuk Samudera kembali seperti biasa sangat kecil.

Jadi, Samudera kurangkan intensitas terapinya dari setiap hari menjadi satu minggu satu kali, lalu, sebulan dua kali. Ia sudah tak ingin mendengar kata semangat yang sia-sia.

Tetapi, beberapa minggu terakhir ini, ia memutuskan untuk kembali mengintensifkan terapinya. Tidak tahu apa penyebab utamanya. Sepertinya, setelah melihat orang-orang bermain basket, Samudera jadi kembali terpanggil. Atau, sepertinya, setelah bertemu Danisa?

Samudera menggeleng. Ia tidak tahu.

Lelaki itu mengambil napas sambil berbalik untuk berjalan kembali ke kasur. Ia mengambil ponsel. Danisa adalah orang pertama yang ingin ia hubungi. Tetapi, niat itu ia urungkan rapat-rapat. Daripada memberitahu lewat telepon, bukankah lebih baik dia datang langsung?

Senyum miring tercetak dari bibir Samudera. Ia melakukan panggilan telepon pada Danisa yang untungnya tidak dijawab dengan nada mengantuk.

"Udah bangun lo? Gue pikir masih ngebabi." Bukannya menyapa dengan baik, Samudera malah menyindir. Ia tak punya pilihan kata lain. Sebelumnya, Samudera sudah mempertimbangkan beberapa kalimat sapaan. Dari yang baik hingga tidak. Tetapi, mencoba untuk bersikap manis pada Danisa itu susahnya setengah mati.

Desisan terdengar dari seberang. "Lo pagi-pagi mau ngajakin ribut apa gimana?" balasnya sengit.

Samudera terbahak. Ia bisa membayangkan wajah merenggut Danisa. "Hari ini hari Senin, berarti Daniel latihan futsal pagi, kan? Kalau gitu, gue jemput ya pagi ini. Udah sarapan belum? Cari sarapan yuk sebelum ke sekolah."

ODDINARYWhere stories live. Discover now