12 | Ada Yang Ngikut

44 11 10
                                    

"Kamu rencana berapa lama di Bali sih, Dylan? Kerjaan nggak papa ditinggal?" Rachael mengaduk teh manisnya lalu menyeruputnya sedikit. "Hmm, manis banget sih ini? Wek." Ia menjulurkan lidah tanda tak suka.

"Kamu sih."

"Hah? Kok aku?"

"Kamu ngelihatin aku terus dari tadi. Jadinya kemanisan tehnya." Dylan mengeluarkan candaannya yang kemudian diikuti tawa keduanya.

Rachael menggeleng-geleng. "Buset, cowok ini ya. Duh. Perasaan waktu masih di Singapore kamu nggak separah ini loh," ujarnya geli. "Kesambet apa di Australia?" Ia mengangkat tangannya, meminta seorang pramusaji untuk datang.

"Kayanya sih sempat ketendang sama kangguru tahun lalu. Jadi gini aku," jawab Dylan dengan candaan lainnya.

Sontak Rachael menyembur dalam tawa.

"Ada yang bisa dibantu?" Meskipun terkejut karena Rachael tiba-tiba tertawa, pria muda itu tetap bersikap profesional.

"Oh iya, sori, sori." Rachael menata napasnya yang agak tersengal karena tertawa. "Uh, ini kemanisan. Tolong satu botol air mineral yang nggak dingin ya."

"Baik. Saya kembali segera," sahut pria itu yang kemudian pergi.

Dylan tampak senang melihat gadis di hadapannya tertawa. Menurutnya, itu berarti Rachael menikmati momen bersamanya. "Gimana? Aku nggak kaku amat kan? Hmm?"

Mata Rachael menyipit ketika masih menyeringai karena geli. "Dalam hal ini sih nggak kaku. Cuman aku wanti-wanti nih. Jangan sampai kebablasan," peringatnya.

"Makanya, kamu perlu ajarin aku." Dylan menyentuh tangan Rachael yang ada di atas meja.

Rachael bereaksi agak terkejut terhadap sentuhan itu. "Oh, iya. Bisa lah," katanya lalu menarik tangan, bertepatan dengan kembalinya sang pramuniaga yang membawa air mineral pesanannya. "Makasih ya, Bli." Ia mengambil minuman itu dan menuangkan setengahnya ke dalam gelas tehnya.

"Ngomong-ngomong, Rach, boleh nggak aku tanya sesuatu?"

"Tanya aja." Rachel meminum tehnya untuk merasakan level kemanisannya.

"Kenapa kamu masih single sampai sekarang?"

Seketika itu juga minuman yang ada di Rachael muncrat keluar. Ia buru-buru mengambil tisu dan mengelap mulutnya serta bagian di meja yang terkena. 

Dylan menyeringai. "Astaga. Sekaget itu kamu?" Ia membantu mengelap juga.

"Ya gimana? Pertanyaanmu itu loh." Rachael kini merasa sedikit canggung.

Namun agaknya Dylan tidak mau pertanyaannya dihiraukan. Ia melanjutkan, "Bukan karena kamu masih berharap sama Martin, kan?"

Rachael mengernyit. "Apa hubungannya sama dia? Single atau enggak kan keputusan pribadi aku," sahutnya. "Lagian ya, saat ini tuh aku lagi perlu fokus sama karir aku. Ibarat selebriti, saat ini aku tuh lagi naik daun. Bahkan aku yakin bentar lagi aku dapet promosi kerjaan. Makanya lebih baik jangan ada penghalang apapun, kan?"

Dylan mengangkat bahunya. "Sebenernya punya pacar bisa jadi bikin kamu tambah semangat loh. Tapi yah, kalau kamu pacaran sama orang yang tepat sih," katanya.

Telunjuk tangan kanan Rachael terangkat. "Nah, itu dia. Nemuin orang yang tepat itu yang nggak gampang," ia menyetujui pernyataan itu. "Buat aku, prinsipnya gini. What is meant for you will not pass you. Istilahnya tuh... kalau Tuhan udah kasih ke kamu, kamu nggak perlu sampai ngejar-ngejar. Kalau kamu sampai ngejar-ngejar, terus nggak dapet-dapet pula, artinya itu bukan untuk kamu."

Senyuman menyamping muncul di wajah Dylan. Ia melipat tangannya di depan dada. "That's a good one," sahutnya. "Terus, yang kamu cari dari pasangan hidupmu?"

Itu AkuWhere stories live. Discover now