25 | Menantang Badai

12 4 2
                                    

Setelah menahan diri untuk tidak langsung menemui Martin di hari yang sama, akhirnya Rachael menyambangi rumah keluarga Wang di esoknya. Saat itu pukul sembilan, seharusnya orang-orang di rumah sudah bangun. Ia mengetuk pintu rumah mereka yang kecil dibandingkan yang sebelumnya dan menunggu.

Seperti dugaannya, Penny yang datang untuk membukakan pintu. Ia terperanjat mendapati gadis itu ada di hadapannya. "Rachael?"

Dengan senyuman simpul Rachael menyahut, "Pagi, Tante."

"Kenapa kamu disini?" Penny mendesah. Tangannya bersedekap. "Tante kan sudah bilang..." Ia tidak melanjutkan ucapannya saat melihat genangan air mata gadis itu.

Rachael yakin bahwa jika ia langsung bicara, air matanya akan tumpah. Karena itu ia menelan ludah dan mengambil waktu untuk mengatur emosinya.

Sekian lama mengenal sahabat putranya itu membuat Penny tidak tega mengusirnya. Ia kemudian mengajaknya untuk masuk dan duduk lebih dulu. "Maaf, rumahnya nggak senyaman dulu," katanya.

Rachael menggeleng dengan senyuman lemah. Ia mengambil tempat di sofa yang membelakangi jendela.

"Kamu mau minum apa?" Penny menawarkan.

"Nggak perlu, Tante," tolak Rachael pelan. "Aku kesini mau lihat kondisi Martin. Tante pasti tahu itu." Ia langsung memberitahukan tujuannya tanpa berbasa-basi.

Penny melipat bibirnya, mengambil jeda sebelum membalas, "Maaf, Tante nggak ijinin Martin pegang HP selama proses pemulihan. Jadi semua pesan kamu nggak sampai di dia. Tapi Tante harus tegas sama kalian, karena pernikahan ini nggak main-main."

Percikan amarah muncul di dada Rachael. Ia tahu bahwa bicara dengan Penny akan sia-sia. "Tante, kalo emang Martin itu cinta sama Joy, aku nggak akan ngehalangin mereka untuk nikah kok." Suaranya agak bergetar tetapi cukup mampu menunjukkan keseriusannya. "Jadi, ijinin aku untuk ketemu sama dia ya, Tan. Kalo memang ternyata dia punya perasaan sama Joy, aku bakalan pergi dan nggak ikut campur lagi."

Keraguan muncul dalam benak Penny. Membiarkan Rachael bertemu dengan Martin sama saja membiarkan usahanya meyakinkan sang putra sia-sia. Mereka berdua terlalu dekat sehingga yang satu sanggup mempengaruhi yang lain.

"Tan, please. Aku mau memperbaiki kesalahan yang pernah aku bikin ke Martin. Aku nggak ada buat dia waktu dia terpuruk." Rachael lebih tegas meminta.

Sontak Penny mengangkat wajahnya dengan mata sedikit terbelalak. Ia khawatir jika gadis itu sudah mendengar sesuatu dari orang tuanya. "Kamu udah tahu? Papa mamamu cerita?" tebaknya.

"Lebih tepatnya, aku udah tahu sebelum tanya ke mereka." Jawaban Rachael agaknya membuat wanita itu gusar. "Dan itu... karena Martin."

Penny terkesiap, tidak siap mendengar informasi itu. "Dia udah janji nggak akan cerita sama kamu," katanya.

Rachael menggeleng-geleng. "Enggak, Tan. Dia sama sekali nggak cerita sama aku. Nggak secara langsung," sahutnya. Ia memilih untuk tidak memberitahu mengenai sumbernya, takut akan resiko gagalnya peluncuran buku Martin. "Kami udah sahabat lama banget. Kalo ada sesuatu yang nggak beres, aku tahu, Tan. Dia pun bakalan gitu kalo sesuatu yang buruk terjadi sama aku."

Penny memijat bagian tengah dahinya di antara alis. Ia tidak mampu bicara lagi.

"Saya mau ketemu Martin, Tante. Jadi, boleh ya? Please," mohon Rachael, kali ini dengan tekanan lebih.

Tanpa berucap, Penny menggerakkan kepalanya tanda mengijinkan. Ia bangkit dari tempatnya lalu mengajak gadis itu untuk menuju ke kamar Martin.

Lokasinya ada di agak belakang rumah. Meskipun kondisi rumah itu membuatnya sedikit tercengang, Rachael mengesampingkannya dan berfokus untuk menghadapi sahabatnya setelah ini.

Itu AkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang