38 | Nggak Sengaja!

12 6 7
                                    

"Hei, udah balik aja nih anak mama. Belum juga tiga bulan." Rianna menyambut kedatangan putrinya dan memberikan pelukan hangat lalu berpindah pada Martin yang ada di belakangnya. "Ih, kok makin ganteng aja anaknya Penny ini."

Martin terkekeh geli. "Bisa aja Tante nih. Betewe, aku numpang beberapa jam disini dulu ya, Tan. Nggak tahu papa mama pulang jam berapa," beritahunya. "Bisa-bisanya kunci lupa dititipin padahal udah diingetin."

Rianna berdecak. "Kamu kaya nggak tahu orang kalo udah berumur itu bisa aja lupa. Maklum lah. Tante juga gitu," sahutnya. "Tapi gimana ceritanya kalian disini lagi? Rachael nggak cerita apa-apa tuh."

Rachael yang sudah duduk berselonjor di sofa menjawab, "Iya, nggak sempet, Ma. Tapi, ini loh, Martin bakalan jadi artis."

Mata Rianna membelalak tak percaya. "Hah? Artis? Gimana maksudnya? Ada kabar terbaru apa? Kok nggak bilang-bilang?" Ia menyebelahi sang putri setelah melemparkan pertanyaan demi pertanyaan tersebut.

Martin turut duduk di sofa, berseberangan dengan ibu dan anak itu. "Karena emang baru tiga hari lalu dapet kabarnya, Tan. Terus karena sangking sibuknya rapat ini dan itu, jadi lupa kasih tahu deh. Aku juga belum ngabarin papa mama loh ini, Tan," ucapnya. "Pasti mereka kaget."

"Ya iya lah. Terus? Artis tuh maksudnya, kamu main film gitu, Tin?" Rianna tidak sabaran ingin mendengar lebih.

Martin menggeleng geli. "Rencana awalnya sih aku cuma perlu kawal penggarapan filmnya sebagai penulis. Tapi nggak tahu gimana, eh malah sutradaranya minta aku sendiri yang main," jawabnya.

Rianna langsung berpindah ke sebelah Martin. "Astaga, Tante terharu banget. Nggak nyangka kamu jadi artis," ucapnya bangga sambil menepuk lengan pemuda itu. "Kalo udah terkenal, jangan lupa sama Rachael ya."

"Ish. Mama aneh banget. Ngapain ngomong kaya gitu?" celetuk Rachael risih mendengar perkataan semacam itu.

Berbanding terbalik dengan reaksi sahabatnya, Martin tertawa. "Mana mungkin aku lupa sama Rachael, Tan? Orang dia yang jadi asisten pribadi aku juga," sahutnya.

Rachael melempar bantal sofa di dekatnya pada Martin. "Bukan asisten pribadi, cicak. Manajer," koreksinya tak terima.

"Kan sama aja."

"Beda."

"Sama, Rach."

"Ngeyel banget sih dikasih tahu. Asisten pribadi sama manajer itu beda."

"Buat gua sama. Karena mau sebutannya apapun, itu tetep lu," Martin menjelaskan apa maksudnya.

Rianna menutup kedua telinganya, berlagak seperti tidak mau mendengar. "Kalian ini ya ... mulai deh," keluhnya, tetapi tidak merasa heran sama sekali. "Udah, sana istirahat."

"Istirahat gimana maksud Mama? Kan kamar kita cuma dua," sanggah Rachael.

"Bukannya dulu kalian sering nongkrong di kamar kamu? Lagian ada sofa juga disana kalau Martin mau tidur." Rianna mengingatkan putrinya tentang masa lalu mereka.

Rachael mendesah. "Mama nih lupa kita berdua udah umur berapa? Nggak etis kan cowok masuk kamar cewek?" protesnya.

"Nggak etis? Justru nggak etis kalau Martin di ruang tamu. Lagian, emangnya kalian mau ngapain di kamar?" Rianna ganti menyanggah dengan telak.

Martin yang sedari tadi hanya menonton pun terkekeh. Ia geli melihat sahabatnya tidak bisa membantah lagi.

"Ya... enggak ngapa-ngapain sih. Tapi kan Mama harusnya ngelarang, bukannya malah nyuruh. Gimana sih?"

Rianna tersenyum menyamping. "Sayang, denger ya. Mama tuh kenal Martin nggak cuma dua atau tiga tahun. Tapi dari kecil. Jadi Mama bisa percaya dia nggak akan berbuat macam-macam," jelasnya.

Itu AkuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang