57 | Talkshow (1)

8 5 2
                                    

Seperti yang sudah diprediksikan, panggilan wawancara di stasiun TV berdatangan. Namun masalahnya bukan itu. Rachael yang perannya sebagai manajer berkomunikasi langsung dengan semua pihak yang menghubungi. Ia menjadi kewalahan untuk memilah dan mengatur mana yang bisa diterima, terutama karena ia juga akan turut dipanggil dan masih harus menggantikan peran pemimpin di perusahaan.

Oleh karena itulah, pada akhirnya Gwen ditunjuk untuk mengatur mereka berdua. Pasalnya ia berasal dari Jakarta dan akan memudahkan untuk dirinya jika mendampingi pasangan sahabat ini. Sementara itu pekerjaannya dialihtugaskan selama beberapa waktu kepada staf lainnya.

Setelah membereskan hal-hal di Bali, ketiganya terbang ke Jakarta bersama-sama. Minggu ini ada tiga talkshow yang harus dihadiri dan yang pertama tidak terlalu jauh dari lokasi rumah mereka.

"Mimpi apa lo, Rach, bisa masuk TV," canda Gwen saat ada di ruang tunggu belakang panggung. Ia menyikut lengan koleganya pelan sambil terkekeh.

Rachael berdecak. "Mimpi buruk kayanya," sahutnya, masih merasa enggan untuk tampil di depan publik.

Martin mendesah dan melirik dari sampingnya. "Come on," ucapnya memprotes. "Ini nggak terlalu buruk kali. Kan kita barengan."

Tatapan datar serta alis naik sebelah di wajah Rachael menandakan ketidaksetujuan. Tetapi tidak ada pilihan lain selain maju dan menghadapinya saat ini. Maka dari itulah ia memilih untuk tidak berkomentar lebih lanjut.

"Iya. Berdua lebih baik daripada sendiri kan," sambung Gwen dengan tawa tanpa dosa, masih menggodai gadis itu.

"Ish, nggak membantu lu, Gwen." Rachael balik menyikut sang kolega.

Tidak lama setelahnya, pintu terbuka dan seorang kru TV berpakaian hitam dan ear monitor terpasang muncul. "Kita mulai tiga menit lagi. Martin, Rachael, silakan ikut saya," ajaknya. "Untuk manajer silakan duduk di kursi penonton ya." Ia memandang pada Gwen sebelum membuka pintu lebih lebar, mempersilakan kedua bintang tamu.

Mereka meninggalkan ruang tunggu lalu bergerak ke sisi yang sudah ditetapkan. Sementara itu di tengah set, dua host sudah duduk di sofa, siap untuk memulai.

"Tunggu disini sebentar ya. Nanti yang dipanggil Martin dulu, baru Rachael," instruksi pria tersebut yang ditanggapi dengan anggukan sang bintang tamu.

Suara musik pembuka terdengar, kedua host mulai bercuap-cuap memulai acara. Mereka terdengar sangat riang saat memperkenalkan siapa yang akan hadir di acara talkshow sore itu.

"Eh, Tin, kok lu bisa santai aja sih?" bisik Rachael, lupa bahwa sahabatnya sudah sering menghadiri acara bincang-bincang seperti ini untuk promosi filmnya.

Martin menoleh pada gadis itu dengan tersenyum. "Lu kan tahu jawabannya," katanya. "Nanti lu juga lama-lama terbiasa."

Kru yang berdiri di sebelah mereka menepuk lengan atas Martin dan berkata, "Martin, siap-siap dipanggil ya."

Tidak lama setelah Martin mengangguk, para host memanggil namanya dengan lantang. Ia pun berjalan memasuki area panggung dengan tenang dan mantap.

Pria dan wanita yang lebih pendek darinya itu memberi salam dengan pelukan singkat ala masing-masing.

"Apa kabar, Martin Wang? Wah, gue nyebut namanya aja udah meleleh," ucap Sisca dengan suara bernada tinggi yang khas.

Sebaliknya, Johnny yang bersuara bass dan serak-serak basah menyahut, "Wah, lo belum-belum udah kena sindrom Martinist. Itu nama fanbase lo kan, Tin?" Ia menoleh pada bintang tamunya.

Martin mengangguk. "Iya, betul. Itu mereka sendiri sih yang bikin. Gua setuju-setuju aja. Soalnya lucu," sahutnya.

Kedua host tertawa lalu mempersilakan pemuda itu untuk duduk.

Itu AkuWhere stories live. Discover now