35 | Keberuntungan Terselubung

6 6 2
                                    

"Jujur aja gue tuh suka loh sama buku lo, Tin." Paula bersandar di kursinya setelah menyelesaikan makan malamnya. "Tadi pas wawancara gue sempet kepikiran, gimana ya kalo diadaptasi jadi film? Pasti bagus."

Martin menoleh pada Rachael yang mengangkat bahu dan tersenyum padanya. Ia kembali menatap Paula. "Emangnya ada yang mau bikinin?"

Paula berdecak. "Ah, lo belum sampai dalem masuk dunia industri hiburan sih," celetuknya. Ia menyeruput minumannya sedikit sebelum lanjut bicara. "Sebagai content creator, gue bisa lihat buku lo itu potensinya gede banget. Yah, kaya bukunya Raditya Dika. Malahan awalnya buku-buku dia nggak selaris buku lo sekarang."

Helaan napas diikuti kekehan mengawali ucapan Martin berikutnya. "Gua sih mau-mau aja ya kalo emang ada yang mau adaptasi buku gua jadi film."

"Tapi, dengan syarat nggak ada perubahan yang signifikan," sahut Rachael setelah menjadi yang terakhir menghabiskan makanannya. "Beberapa film adaptasi buku yang gua tonton ngecewain. Banyak elemen yang hilang dan esensi utama di buku jadi nggak ada. Atau karena penggambarannya nggak sesuai."

Paula menjentikkan jarinya. "Setuju banget. Salah satunya yang paling baru, ya tahun lalu banget kan. Itu tuh, Paper Towns. Gue udah baca duluan bukunya. Bagus banget. Tapi, eh filmnya... asli deh, nggak suka gue," dukungnya.

Rachael mengiyakan dengan anggukan. "Amit-amit dah sampai kaya gitu. Kalo beneran ada yang sampai adaptasi film lu ya, Tin, lu sendiri yang mesti kawal penggarapannya," ujarnya mewanti-wanti.

"Ya sama lu lah. Kan lu penanggung jawabnya. Lu yang lebih ngerti seluk beluk industri ini," sahut Martin. Tangan kirinya bersandar pada kursi, badannya sedikit menghadap ke arah sahabatnya.

"Sekalian aja jadi manajer," usul Paula. Telunjuk kirinya mengarah pada Martin. "Makin lu terkenal, makin perlu orang yang bantu urus banyak hal loh. Kaya gue misalnya. Beneran deh, nggak bisa tanpa manajer."

Martin menyentuh bahu Rachael. "Nah, lu mesti fokus urusin gua nanti, Rach," komentarnya.

Rachael menggerakkan bahunya hingga tangan pemuda itu lepas. "Ih, ogah. Lu pikir gua siapa lu suruh fokus ngurusin lu doang? Gua punya kerjaan," tolaknya.

"Lu bisa ambil setengah pendapatan gua deh."

"Mau lu bayar gua seluruh pendapatan lu, tetep aja nggak bisa. Kerjaan gua mau dikemanain, tupai? Dan jangan suruh gua resign. Ogah gua sama lu dua puluh empat jam sehari." Rachael menggeleng-geleng, langsung bisa menebak apa yang akan pemuda itu katakan.

Tawa Paula yang tiba-tiba terdengar itu menghentikan perdebatan sepele mereka. Agaknya ia tak bisa menahan kegelian akibat interaksi pasangan sahabat di depannya.

Martin dan Rachael menghentikan pertunjukan kecil mereka itu dan ikut tertawa.

"Kalo aja ada yang rekam adegan tadi, atau at least ada yang bisa akting tiruin situasi tadi, udah pasti banyak yang nonton," Paula berpendapat. Ia menggeleng geli. "Honestly, gue jealous sama hubungan persahabatan kalian. Bersyukurlah. Nggak semua orang bisa seberuntung kalian."

Martin mengangguk-angguk setuju. "Yup. That's why gua nggak bakalan lepasin dia," celetuknya.

"Lu kata gua peliharaan lu?" Bibir Rachael mengerucut.

"Bukan, bukan. Lebih ke ... tuyul sih." Martin tertawa puas setelah meledek, diikuti suara tawa Paula yang renyah.

Lidah Rachael bergerak mendorong pipi kirinya, disertai tatapan mata datar.

Paula menyentuh perutnya. "Duh ... Kalian ini, bikin gue nggak bisa berhenti ketawa aja," ucapnya. "Udah lah. Kalian ini cocok banget. Mending nikah aja sekalian. Biar tambah nggak terpisahkan, terus jadi pasangan viral." Ia mengusulkan dengan asal.

Itu AkuWhere stories live. Discover now