17 | Tolong Serius

45 11 12
                                    

Selama ini, Rachael hanya tahu dimana letak apartemen Martin. Sayangnya, ia tidak tahu di lantai dan nomor berapa. Ia yakin bahwa pasti akan ada kendala di resepsionis untuk mendapatkan informasi itu. Karena itulah ia menghabiskan beberapa menit lamanya di mobil untuk menyusun bagaimana cara untuk tampak meyakinkan.

Begitu mendapatkan ide, Rachael segera menghampiri resepsionis. "Permisi," katanya.

"Selamat pagi, Bu. Ada yang bisa dibantu?" sapa wanita bersanggul yang tampak manis itu.

"Ada. Saya perlu ketemu sama Martin Wong. Saya takut ada apa-apa sama dia karena dia nggak bisa dihubungi sama sekali," ujar Rachael mengeluarkan jurusnya. Dengan lihainya ia meneteskan air mata. "Tolong bantu saya cek di kamarnya, apa semua baik-baik aja. Karena toh percuma kalau saya ke kamarnya dan dia mungkin tergeletak nggak bisa bukain pintu."

Wanita itu hanya tersenyum. "Ibu namanya Rachael Hutomo ya?" tanyanya membuat sang pemilik nama terkejut.

"K-kok tahu? Martin titip pesan untuk saya? Apa?" Rachael tidak sabaran untuk tahu apa yang sebenarnya terjadi.

"Iya, Bu. Betul. Beliau titip pesan kalau yang namanya Rachael Hutomo datang, bilang suruh pulang saja." Wanita itu menyampaikan pesan tersebut dengan santai.

Rachael pun mendelik. "Hah? Kurang ajar," komentarnya dengan suara lirih. Ekspresi sedihnya tiba-tiba hilang begitu saja. "Berarti artinya dia baik-baik aja? Kapan dia titip pesan?" Ia mendongkol dan merasa penasaran.

"Sekitar satu jam lalu."

Rachael mengepalkan tangannya kesal. 'Oh, jadi lu balas dendam sama gua ceritanya, Tin?'

"Oh ya, lalu beliau juga menitipkan ini." Wanita itu memberikan sepucuk kertas yang terlipat.

Cepat-cepat Rachael membuka kertas itu yang bertuliskan,
[Jangan cari gua. Enjoy aja sama Dylan. Gua lagi nggak kepingin ketemu sama siapa-siapa.]
Sontak emosinya meningkat. Ia tak habis pikir kenapa pemuda itu bisa bertingkah kekanak-kanakan. "Ya udah. Makasih ya," katanya.

"Eh, eh, Bu. Maaf," panggil wanita itu lagi.

Rachael pun berpaling kembali. "Ya?"

"Mmm, apa ibu pacar, tunangan, atau istrinya Pak Martin?" tanya wanita itu. "Karena kalau iya, ada sesuatu yang ibu perlu tahu."

Demi mendapatkan informasi yang kemungkinan penting itu, Rachael mengiyakannya saja.

Wanita itu mengambil kertas dan menuliskan sesuatu disana. Kemudian ia memberikannya pada Rachael. "Tolong dibaca di luar ya, Bu. Saya nggak mau sampai ketahuan memberikan informasi ini," pintanya.

Dengan ekspresi wajah datar, Rachael berkata, "Oke. Makasih ya." Lalu ia melangkah keluar dari gedung dan buru-buru masuk ke dalam mobil.

Sesampainya di mobil, bukannya menyalakan mesin, ia justru mengutamakan untuk membuka lipatan kertas itu.

[Tadi pagi-pagi sekali, saya lihat Pak Martin keluar dengan wajah pucat. Jadi saat ini beliau tidak ada di kamar. Tapi nanti kalau ibu mau cek lagi, kamarnya ada di lantai 3, nomor 316.]

Sekilas Rachael melirik ke arah resepsionis tersebut dan tersenyum. Tentu saja wanita itu tidak akan bisa melihatnya, tetapi ia merasa berterima kasih untuk informasi itu.

"Lu dimana, Tin?" gumamnya. "Kalo lu sakit, kenapa mesti sembunyi sih? Kebiasaan."

Tengah bersiap untuk meluncur pergi dari parkiran apartemen, dering HP Rachael berbunyi. Meskipun belum disimpan, ia ingat bahwa itu adalah nomor telepon Joy.

"Ya, Joy?"

"Gue udah ketemu Martin. Lo nggak usah khawatir. Dia baik-baik aja," Joy menginformasikannya dengan nada santai.

Itu AkuWhere stories live. Discover now