43 | Semakin Kompleks

7 5 8
                                    

Entah apa yang merasuki Martin, yang pasti ia tiba-tiba menjadi seperti seorang manusia biasa yang berubah menjadi seorang pahlawan super dalam semalam. Beberapa hari berikutnya ia berakting dengan sempurna. Jika terjadi kesalahan, itu terjadi dari pihak lawan mainnya, bukan dirinya. Semuanya pun terheran akan perubahan tersebut, terutama Rachael.

Syuting akhirnya selesai, tapi itu bukan berarti Martin bisa beristirahat. la dan Lauren harus melakukan promosi di berbagai media massa, seperti radio, stasiun TV dan media berita digital maupun cetak. Jadwal mereka sudah keluar dan hampir setiap hari selalu ada agenda.

Mau tidak mau, kedekatan kedua pemeran utama film ini menjadi sorotan warga net. Tagar #Mauren, kependekan dari nama Martin dan Lauren, menjadi salah satu top 10 trending topic di Twitter. Mereka digadang-gadang cocok menjadi pasangan di dunia nyata, bahkan sebelum filmnya resmi dirilis.

Oleh karena itulah tim promosi secara khusus meminta Martin untuk bekerjasama dengan Lauren berakting seolah mereka memang sedekat itu selama masa promosi. Sebagai seorang manajer, Rachael merasa itu bukan hal yang buruk pada awalnya. Sampai suatu titik dimana keberadaannya semakin lama semakin tersingkirkan.

"Kenapa kamu, Rach? Cemberut melulu dari tadi." Dylan memperhatikan gadis itu yang sedari tadi hanya memelintir spaghettinya dengan garpu.

Rachael mengangkat wajahnya dengan senyuman lemah. "Hmm, lagi... agak kesel aja," jawabnya.

"Soal apa?"

"Yah, perasaan kerjaanku disini sebagai manajer kan ya tapi kok aku berasa nggak ngapa-ngapain gitu sekarang," keluh Rachael.

Dylan terkekeh.

"Kok malah ketawa sih?"

"Soalnya kamu lucu."

Rachael mengernyit keheranan. "Hah? Dari mananya lucu?"

Senyuman Dylan mengembang, ada ketenangan terpancar di wajahnya. "Kebanyakan orang itu suka loh kalo nggak harus banyak kerja. Giliran kamu, eh justru nggak suka," katanya.

"Hmm, gimana ya?" Rachael mengusap-usap ujung telinganya. "Sekarang tuh Martin pergi promosi kemana-mana sama tim kreatif aja."

Dylan menghela napas pelan, mencoba menelaah permasalahannya. "Aku nggak tahu banyak tentang industri ini Rach. Tapi coba kamu lihat dari sisi lawan mainnya Martin. Siapa namanya?"

"Lauren."

"Ah ya, Lauren. Manajer dia ngikutin dia terus atau sama kaya kamu?"

Kedua alis Rachael naik sambil bibirnya bergerak ke kanan, tersenyum kecut. "Well, sama sih kaya aku," jawabnya.

"Itu artinya... Ini wajar, Rachael. Jadi, jangan ngerasa kalo kamu kaya nggak ada fungsinya. Nikmati aja masa-masa istirahat kamu. Nanti kamu pasti sibuk sama hal-hal lain lagi." Wejangan yang keluar dari mulut Dylan itu terdengar menghangatkan hati. Agaknya ia tahu benar bagaimana untuk mengatasi rasa gundah.

Mendengar ucapan yang masuk akal itu, Rachael berusaha untuk tidak terlalu memikirkannya lagi. Benar apa kata pemuda itu, ia pun perlu istirahat setelah cukup disibukkan satu setengah bulan terakhir. 'Yah, mungkin Dylan bener. Gua mending santai aja dulu,' batinnya. Dihirupnya napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan.

Kafe itu tidak terlalu ramai. Suara musik lo-fi terdengar sayup-sayup. Suasana ini begitu mendukung Rachael untuk mendapatkan ketenangan yang ia perlukan.

"Eh, eh, bukannya ini film adaptasi bukunya Martin Wang ya?" Suara seorang gadis yang hanya berjarak satu meja itu sontak membuat Rachael seperti robot yang baru diaktifkan kembali. "Kapan rilisnya? Nonton bareng yuk."

Itu Akuजहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें