-¦- -¦- -¦- 17 -¦- -¦- -¦-

25 2 0
                                    

Bel istirahat sudah berbunyi lima menit yang lalu, anak-anak di kelas 2 IPA 3 juga sudah menghilang menyisakan beberapa anak-anak. Termasuk Dewa yang tengah berdiri di depan meja guru. Wali kelasnya yang hari ini menjadi guru matematika menahannya sebentar, entah untuk apa.

"Kenapa ya, Bu?" tanya Dewa akhirnya. Karena sejak tadi, Bu Ratna A.K.A wali kelasnya masih sibuk dengan buku nilai di sana. Melupakannya yang berdiri tepat dihadapannya.

Bu Ratna melirik bersama kacamata yang bertengger di hidungnya. Melanjutkan menulis di sana. "Kamu sudah masuk ekstrakurikuler?"

Dewa tertawa canggung. Mengusap telungkupnya. "Ehe, belom, Bu."

"Di sekolah ini peraturannya wajib masuk ekstrakurikuler walaupun hanya satu. Untuk nilai kamu juga, kan?" kata Bu Ratna. Dewa hanya menganguk. Tidak tahu aslinya dia menggerutu dongkol. Jelas dia tidak punya dorongan lebih untuk bergabung ke dalam sebuah ekstrakurikuler. "Minggu ini terakhir, ya. Senin harus sudah punya, sudah menjadi anggota di ekstrakurikuler sekolah. Atau nanti kamu dapat hukumannya. Mengerti, Dewa?"

"Iya, Bu. Paham!" balasnya.

Bu Ratna melepaskan kacamatanya. Tampak ingin merapihkan barang-barangnya. Menunjuk tumpukan buku anak-anak kelas juga buku lainnya yang cukup menggunung. "Sebelum itu, Ibu minta tolong sama kamu bawa semua buku-buku Ibu ke kelas 2 IPS 7. Habis istirahat Ibu ngajar di sana."

Belum ada balasan sigap dari Dewa, malah garukan di kepalanya. "Eng, tapi saya nggak tahu dimana kelasnya, Bu!"

Bu Ratna menghela napas, dia mengerling mencari target lain. Dan matanya telah menangkap satu korban lainnya. "Fifiana! Kesini sebentar."

Dewa? Dia mengeluh. Sebenarnya memang di kelas hanya tersisa cewek itu, jadi harusnya dia tidak mengeluh. Sudah jam istirahatnya berkurang dia juga diminta untuk mengantarkan tumpukan buku, bersama gadis gila itu pula. Jelas dia mengeluh. Gadis yang sebelumnya tengah sibuk menyantap sepotong roti sigap mendekat. Bahkan masih sibuk mengunyah roti yang sudah di dalam. "Iya, Bu. Kenapa?"

"Ibu minta tolong. Ini bukunya banyak banget. Kamu sama Dewa taro di kelas 2 IPS 7, Ibu mau ngajar di sana habis istirahat." perintahnya. "Sama bilangin, kalau Ibu belom dateng suruh kerjain soal halaman 56 dan jangan berisik. Terutama si Pendy itu, ya!"

Fifi melirik Dewa sebentar, laki-laki itu membuang muka padanya. Dan dia juga tidak bisa menolak perintah guru. "Baik, Bu. Nanti saya anter ke sana semuanya,"

"Yasudah, Ibu titip ke kalian." Bu Ratna merapihkan beberapa barang yang dia akan bawa sendiri di tasnya. Langsung pamit pergi.

Ketika Bu Ratna sudah menghilang, Fifi menghabiskan langsung sisa roti miliknya dengan brutal, sembari merapihkan buku-buku yang akan di antar. Tapi kemudian Dewa ikut membantu bersama usiran ketusnya itu. "Udah gue aja sendiri. Bukannya tangan lo masih sakit?" katanya. Mengambil tumpukan besar buku di sana. "Gue bisa sendiri,"

"Kawaya gga au!" Gumam Fifi tidak jelas, itu karena roti dimulutnya. Dia mengambil sisa buku di atas meja, lalu merebut beberapa dari Dewa. Kemudian meninggalkan cowok itu. "Ao, epet!" pekiknya.

Dewa? Dia berdecak kesal. Terpaksa menurut, mengejar Fifi untuk mengekori gadis itu. Berjalan disampingnya. "Heh, gue udah bilangin lo, ya! Kalau tangan lo makin parah jangan salahin gue."

Fifi menelan makannya cukup sulit. Membalas dengan tenang. "Santai, tangan gue udah diurut." lapornya. "Mendingan cepetan taro ini buku, gue belom selesai makan. Lo juga belom makan, kan?"

Setelah itu tidak ada percakapan lagi. Dan Dewa juga tidak mau berdebat. Toh, dia sudah memperingati. Lelah adu kata dengan gadis keras kepala. Mereka menyusuri beberapa kelas, menghindari beberapa anak yang melintas juga menyapa beberapa pelajar. Tidak bisa bohong kalau Dewa tidak mencuri pandang pada gadis itu. Melihat senyuman manisnya ketika tengah menyapa temannya di jalan. Tapi dia buru-buru mengeleng untuk menolak sesuatu di dalam kepala juga hatinya.

How To Get YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang