-¦- -¦- -¦- 27 -¦- -¦- -¦-

16 2 0
                                    

"Jadi, bukan ngerebutin lo?" tanya Acha dengan wajah curiganya. Masih tidak yakin dengan penjelasan yang Fifi katakan. "Serius?"

Fifi menghela napas lelah. Belum beberapa menit mereka duduk di meja kantin, bukannya menikmati makanan di jam istirahat yang sangat mepet ini. Temannya yang satu ini malah menodongnya dengan seribu pertanyaan soal kejadian kantin kemarin. Ya, setelah kejadian itu dia memang langsung pulang dan setelahnya dia tidak masuk untuk menghadiri lomba. Tidak heran Acha penasaran bukan main. "Iya, bukan. Lagian lo pake logika juga lah. Ngapain mereka berdua ngerebutin gue?" Fifi menujuk wajahnya sendiri. Bahkan sengaja bangun agar lebih menyodorkan wajahnya pada sahabatnya itu. "Lo liat nih muka gue, nih, muka udah kaya areng sate mana mungkin jadi objek rebutan."

Acha mundur risih, mendorong temannya ini jengah. "Dih, cinta mah buta. Kalau emang mereka suka sama lu, mau muka lu kaya areng juga tetep aja bisa direbutin. Apa lagi kalau mereka berdua tukang sate,"

"Elah, capek gue ngomong ama lu." balas Fifi pasrah. Duduk malas-malasan di meja kantin. Menopang dagunya cemberut. "Mereka nggak suka gue."

"Wahyu," sahut Acha. Membuat Fifi mendongak. "Wahyu suka tuh sama lo!" Dia akan anggap itu bukan tebakan lagi. Memang kenyataannya begitu. Wahyu juga sudah mengatakan perasannya bahkan masih menunggu jawaban darinya. Dan Fifi tidak tahu harus membalas apa. "Iya, kan? Gue tahu gelagat dia, kok. Gue nggak sebodoh itu." Fifi hanya melirik sedikit, cepat-cepat membuang wajahnya. Tapi Acha jelas tahu respon itu. Gadis itu tercengang tidak percaya. "Dih, beneran?"

"Apa? Gue nggak ngomong apa-apa?!" balasnya panik.

"Udah si, seakan-akan gue ini gampang dibodohin. Semakin lo tutupin, gelagat lo tuh semakin kelihatan!" desaknya. Agak emosi tapi ikut penasaran bukan main. "Dia udah nembak lo?"

Fifi berdecak kesal ketika Acha terus melototinya yang dia tebak akan terus begitu sampai dirinya membuka mulut, dongkol selalu kalah dalam berdebat. "Ugh, iya-iya,"

Acha menepuk dahinya. Sembari memijit pelipisnya frustasi. "Dimana? Kapan?"

Gadis itu menghela napas. Membalas berbisik. "Habis dari BK. Cuman gue belum kasih jawaban."

"Trus lo mau?" tanya Acha. Tapi Fifi menaikan kedua bahunya, bingung sendiri. "Emang lo nggak suka sama dia?"

"Ya, selama ini juga gue anggap dia, ya, yaudah temen aja. Nggak pernah kepikiran ke sana." katanya.

"Kalau si Dewa?" todong Acha.

Fifi langsung mengerutkan alisnya sensi. "Dih, dia nggak suka sama gue!" ungkapnya. "Gue juga nggak mungkin banget suka sama dia. Eugh, males banget!"

Acha kontan membalas jengkel. "Ye, biasa aja kali. Biasanya yang benci-benci gini malah jadi cinta!"

Fifi menahan dirinya sendiri untuk tidak melayangkan pukulan pada temannya ini. Kesal selalu kalah dan skak mat. Dan sebalnya Acha malah menggunakan itu sebagai kesempatan untuk meledeknya juga mengolok-oloknya. Karena tidak mau dianggap setuju, Fifi terpaksa diam saja dengan semua ledekan itu. Tar juga capek sendiri, pikirnya begitu. Mereka masih asik sendiri mengobrol atau juga saling meledek dan menggosip sampai keduanya merasakan aura lain di antara keduanya. Fifi mendongak, mendapati Wahyu yang berdiri di belakang Acha. Tersenyum tampan padanya.

Fifi membalas dengan canggung, sementara Acha jelas dengan sensi. "Apa? Mau ngapain lo?"

Wahyu melihat pada Acha, membalas santai. "Gue mau ngomong sama Fifi,"

Acha tertawa getir, masa bodo dengan pentolan sekolah itu. Kembali menikmati makanannya, mengabaikan Wahyu. "Yaudah ngomong aja, gitu aja repot."

Fifi menahan tawanya. Sahabatnya ini memang bukan main-main. Mungkin cuman dia yang berani begitu dengan pentolan sekolah. Tapi Wahyu tampaknya sedang tidak ingin bercanda, jadi nadanya langsung berubah. "Gue mau ngomong sama Fifi, Cha. Berdua!"

How To Get YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang