-¦- -¦- -¦- 21 -¦- -¦- -¦-

47 2 0
                                    

Sejak perbincangan tadi malam, mood Wahyu masih belum kembali. Dia seperti terus dirasuki oleh emosi yang belum terlampiaskan. Dan apapun yang ada di sekitarnya rasanya terlihat menyebalkan. Makanya, wajahnya terus saja dingin juga datar bak es di kutub.

Orang-orang di sekolah menyadari hal itu, makanya saat dia berjalan entah dimanapun itu bersama wajah dinginnya jelas semua orang jadi bergidik ngeri membuka jalan. Tidak mau mendapatkan masalah. Persis seperti saat ini, jam istirahat sudah hampir habis sebentar lagi jadi sang pentolan sekolah dan ketiga ekornya berniat kembali ke kelas. Walaupun beberapa kali, Pendy mengajaknya bercanda atau memaksanya ikut dalam percakapan. Wahyu sama sekali tidak ingin ikut, hanya membalas dengan cuek.

Begitu sampai di kelasnya, bukannya masuk dan duduk di kursinya Wahyu malah berhenti di ambang pintu. Ada sebuah hal yang menghentikannya. Satu sosok yang sebenarnya sudah dia cari sejak pagi ini. Dia pikir akan menemukannya di kantin tapi selama setengah jam dia hanya membuang-buang waktu. Dan sosok itu malah dengan senyuman duduk di kelasnya.

Rizal melirik ke arah mana temannya ini terdiam. Mengerti situasinya. Jadi, dia menepuk pundak Wahyu, menyemangatinya. "Udah samperin dah, daripada lu kepo. Diem aja nggak bakalan tenang,"

"Tahu lu, Yu! Keburu diambil orang," sahut Pendy.

Akmal tertawa geli. "Di ambil gue,"

Rizal jelas langsung membalas Akmal, mengejarnya sampai ke meja. Sementara Pendy, dia mendorong Wahyu untuk cepat pergi. Hal itu jelas membuat Wahyu jadi tertawa geli sendiri. Senang punya ketiga temannya itu.

Dengan gugup, Wahyu berjalan mendekat pada salah satu meja di barisan kedua. Ketiga temannya di meja ujung sana memperhatikan Wahyu dengan antusias. Dia berdiri di belakang salah satu siswi yang sejak tadi sedang sibuk bicara dengan salah satu teman kelasnya. Acha yang menyadari kedatangan Wahyu jelas panik. Memberitahukan temannya tentang hal itu.

"Eng, Fi! Boleh minta waktu lo sebentar?" tanya Wahyu ramah. Dengan senyuman yang sejak pagi ini belum muncul.

Fifi menatap Wahyu, belum sempat dia membalas. Bel sekolah begitu keras berbunyi, artinya pelajaran selanjutnya akan dimulai. Sepertinya kali ini, keberuntungan tidak ada di sisi Wahyu. Anak-anak juga mulai kembali masuk. Gadis itu bangkit, jelas menolak permintaan itu. "Udah bel. Gue ke kelas duluan. Gue duluan, ya, Cha!"

Fifi pergi begitu saja melewati Wahyu tanpa beban. Begitu juga saat keluar. Wahyu berdiri lemas. Rizal, Pendy dan Akmal di ujung sana berdecak iba. Diam-diam meledek. Sementara itu, seseorang sekarang penuh dengan seribu pertanyaan dan juga rasa kesal. Menoleh pada Acha dengan sensi. "Kenapa si, dia?"

Acha menarik salah satu bukunya, mencoba untuk tidak ikut campur. "Kenapa?"

"Lo juga sadar kali, Cha!" ucap Wahyu kesal. Dia sekarang benar-benar berdiri di depan meja Acha. Mengintrogasinya langsung di tempatnya. "Ngapain si Fifi hindarin gue?!"

Acha di tempat duduknya menghela napas, melipat tangannya di dada. "Mendingan lo jujur, dah! Lo suka, ya, sama si Fifi?"

"Nggak usah ganti topik, Cha! Gue tahu lo pasti tahu alasannya, kan? Gue nggak bakalan pergi sebelum lo kasih tahu!" katanya tegas.

Mereka sempat saling tatap sebentar, mungkin di kelas hanya Acha gadis yang berani menghadapi pentolan sekolah. Tapi dia tidak peduli, ini mengenai sahabatnya. Iblis sekalipun akan dia hadapi jika itu merugikan sahabatnya. Namun, saat ini adalah Wahyu. Sekeras apapun dia keras kepala. Laki-laki ini lebih keras kepala daripada dirinya. Makanya dia pasrah buka suara. "Ck. Ok! Mungkin gara-gara masalah dia dipalak!"

"Apa?!" Hardik Wahyu marah.

Jelas semua orang di kelas terkejut bukan main. Itu suara terkeras yang pernah Wahyu keluarkan di kelas. Rizal, Pendy dan Akmal bahkan saling pandang kebingungan. Saat semua orang ketakutan, Acha hanya memutar bola matanya malas. "Nggak usah panik, si Fifi juga seneng dipalak."

How To Get YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang